• Usaha Kerajinan Gerabah Bantul-Yogyakarta

    Gerabah memang sudah tidak populer lagi. Namun, bukan berarti produk warisan budaya ini sepi peminat. Bahkan, berkat kreativitas Walijoko, bisnis gerabah berbahan glassir tetap berprospek cerah.

    Digerus modernisasi zaman, tidak lantas membuat karya kerajinan tradisional seperti gerabah sirna begitu saja dari bumi Nusantara. Bahkan, gejolak modernisasi kian melecut tantangan banyak perajin gerabah untuk mengembangkan karya warisan budaya bangsa ini.

    Berkat kegigihan dan kreativitas para perajin, maka produk kerajinan tradisional seperti gerabah mampu tampil elegan dan menjadi incaran konsumen sebagai barang koleksi yang bernilai seni tinggi.

    Kerajinan gerabah selama ini di­kenal berbahan dasar terakota atau campuran tanah merah dan tanah liat. Namun, Walijoko, seorang perajin gerabah di Bantul, Yogyakarta, berha­sil memodifikasi gerabahnya dengan menggunakan tanah putih atau biasa disebut glassir.

    Berawal tahun 1995, dengan modal awal sekitar Rp 600 ribu hasil pinjaman dari sebuah koperasi, Walijoko melanjutkan usaha gerabah warisan orangtuanya, dengan mengubahnya menjadi usaha keramik glassir.

    Sebagai pemilik Sanggar Loro Blonyo, Walijoko memutuskan untuk membuat gerabah dari tanah putih. “Ini namanya keramik, dulu kita memproduksi gerabah dari terakota, tetapi karena udah enggak laku, jadi kita modif pakai glassir,” kata Walijoko. Dia mengaku, dengan memakai bahan dasar glassir, prospek bisnis pun bisa semakin terlihat kemajuannya, karena yang dicari pembeli sekarang memang barang kerajinan modern.

    Semula, Sanggar Loro Blonyo ha­nya membuat barang kerajinan gerabah sebatas pada pembuatan perlengkapan dapur, seperti tungku, kwali, gentong, layah dan alat-alat rumah tangga lainnya, tetapi seiring berjalannya waktu, Walijoko melahirkan ide kreatif membuat gerabah keramik. “Kami ingin konsumen puas, maka itu kami menyesuaikan keramik buatan Sanggar Loro Blonyo agar tidak ketinggalan zaman,” ujar pria kelahiran Yogyakarta ini.

    Tentang pemasaran, Walijoko me­ngaku pemasaran hanya dilakukan lewat gerainya yang berada di Kasongan RT 06 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, selain lewat pameran-pameran yang berlangsung setiap tahun, seperti Inacraft yang biasanya diadakan di Jakarta Convention Centre (JCC).

    Dibantu 30 karyawan, Walijoko mampu membuat berbagai macam keramik. Dari keramik yang mudah pembuatannya sampai keramik yang sangat sulit. Konsumen juga bisa memesan bentuk keramik sesuai dengan keinginannya. “Biasanya yang memesan keramik aneh-aneh, ada yang mudah dan ada yang susah. Keramik yang detailnya harus benar-benar sama seperti pesanan adalah keramik yang kesulitannya cukup tinggi,” papar Walijoko kepada PIP baru-baru ini.

    Namun, Walijoko tidak menyerah begitu saja. Dengan sikapnya yang gigih, dia selalu bisa menyelesaikan permintaan pelanggannya dengan hasil yang memuaskan. Contohnya, patung setinggi dua meter yang dipesan Hotel Sheraton Yogyakarta. “Itu adalah patung yang paling tinggi yang pernah saya buat” kata dia mengenang.

    Proses Produksi
    Beraneka macam keramik buat­an Sanggar Loro Blonyo, diproduksi dengan proses yang relatif sederhana, mulai dari cetak padat, pembuatan patungnya dan finishing dengan pembakaran, pengeringan, dan terakhir pewarnaan. Semula keramik Sanggar Loro Blonyo adalah handmade alias buatan tangan, yang dicetak hanya body atau badan dari patung itu sen­diri, tetapi jika detail-detail patung seperti tangan, mata, rambut, bibir dan lain-lain adalah murni buatan ta­ngan dari perajin Sanggar Loro Blonyo.

    Tentang harga tidak kalah bersaing dengan toko-toko gerabah lainnya yang ada di sentra gerabah Kasongan, Bantul. Walijoko menawarkan harga cukup relatif tergantung ukuran dan kesulitan dari pembuatan keramik itu sendiri. Keramik termurah seharga Rp 25 ribu dan paling mahal Rp 65 juta per buah. “Kami tidak mematok harga, itu semua tergantung dari kesulitan dan ukuran keramik,” seloroh bapak dengan dua anak ini.

    Akibat ketatnya persaingan, menjadikan omset usaha Walijoko tidak menentu. Dia mengaku omset dari berjualan keramik naik turun. Apa­lagi jika dikaitkan dengan peristiwa gempa bumi di kawasan Yogyakarta tahun 2006 silam. Bukannya untung, tapi kerugian yang lumayan besar. “Kami tidak menghitung kerugian, yang kami tahu showroom Sanggar Loro Blonyo hancur dan rumah produksi keramik retak-retak din­dingnya,” cerita Walijoko.

    Hanya saja Walijoko tidak larut dalam kesedihan. Dia bersama para karyawannya membangun kembali usaha yang telah dirintisnya susah payah tersebut. Meskipun banyak yang memiliki usaha yang sama dengan Walijoko, tetapi dia tidak pernah kehilangan pelanggannya. “Pelanggan tetap Sanggar Loro Blonyo berasal dari seluruh Indonesia dan tidak terkecuali dari luar negeri, seperti Malaysia. “Bia­sanya mereka membeli barang-barang fungsional, seperti mangkuk, asbak, dan tempat lilin,” ujar dia lagi.

    Tidak hanya dari Malaysia, konsumen juga datang dari Prancis. “Kalau pembeli dari Prancis, tidak selalu rutin tapi lumayan sering walaupun sedikit,” kata pria 42 tahun ini.

    Kiat usaha sukses Walijoko dalam menjalankan usahanya adalah jujur terhadap pelanggan, menjaga kualitas keramik, dan yang terakhir adalah tepat waktu. “Jika kita tepat waktu dalam membuat pesanan, maka pelanggan akan puas,” papar dia.

    Harapan tentang usaha Walijoko ke depan adalah semakin maju dan usaha keramik menjadi yang terdepan di Indonesia. “Kan sayang usaha tradisional kita jika sampai dilupakan. Maka itu, sebagai pelaku bisnis saya menginginkan usaha ini khususnya dan usa­ha keramik pada umumnya menjadi lebih maju,” papar Walijoko. Dengan begitu produk warisan budaya Indonesia tetap eksis, dan tidak diakui oleh negara lain.

    Related Posts :



1 komentar:

  1. pameran says:

    bisnis gerabah masih sangat tinggi peminatnya,,
    apalagi bagi wisatawan domestik maupun luarnegeri yang menginginkan koleksi aneka gerabah,..
    sukses terus,,

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post