• Novel Kaori Cari Lelaki

    Majid Hamidi Nanlohy

    Malang sekali nasib Kaori. Sejak kecil dia yatim piatu. Menyumpal hidup pada segenap sanak saudara yang secara bergantian “terpaksa’ menampungnya. Setelah dewasa, dia hidup kesepian melajang dengan karir buntu tak berkesudahan. Meski wajahnya tidak dapat dikatakan pas-pasan, tetapi sosok Kaori memang tidak dapat dikatakan menggoda apalagi menggairahkan. Sehingga memang dia bahkan tidak dapat menceritakan, bagaimana rasanya dilirik atau ditegur pria di tengah jalan. Kaori pun tidak tahu bagaimana itu yang namanya jatuh cinta.

    Kalau urusan jatuh sih sering, tetapi cinta? Kaori seakan benar-benar tidak dapat menyentuhnya. Meski segala daya upaya ditempuhnya, mulai dari mengisi formulir kontak jodoh hingga menggelar jasa mak comblang segala. Hingga suatu hari malaikat cinta iba juga padanya. Hanya sayangnya, panah asmara sang malaikat salah tancap nampaknya. Kaori memang akhirnya benar-benar merasakan jatuh cinta. Tetapi sayangnya, orang yang membuatnya jatuh cinta itu justru sudah tak lagi bernyawa. Lalu, benarkah Kaori tidak akan mampu menemukan pangeran hatinya?

    Namaku Kaori
    Namaku Kaori. Maaf, ini tak ada hubungannya dengan Jepang. Nama itu juga bukan sesuatu yang special ketika kudapatkan. Kakek memberikan nama itu secara kebetulan, atau kalau tidak lebih kasar kubilang karena tergesa-gesa. Sebulan setelah aku dilahirkan, nama buatku tak kunjung diberikan. Maka, ketika salah satu sepupuku juga kemudian lahir dan diberi nama Auri (karena bapaknya anggota AURI) maka aku pun mendadak mendapat sebutan menjadi “Kakaknya Auri”. Lambat laun setelah nama si Auri diubah lebih imut jadi si Ori (karena sebelumnya lidah ortunya sering “keserimpet” memanggilnya), maka namaku pun berubah menjadi Kakak Ori. Lalu demi efisiensi akhirnya menjadi hanya Kaori saja. Dan sampai proses pembuatan akte kelahiranku, kakek merasa cukup puas untuk mensyahkan keputusan pemberian nama itu. Suatu nama yang menurutku jauh dari literatur secara harfiah, tidak ada duanya dan aku yakin pasti juga tidak tercantum dalam buku daftar nama-nama bayi “Sesuai Selera dan Doa” yang sempat jadi bestseller diberbagai klinik bersalin itu.

    Mungkin, kalau orang tuaku masih hidup aku pasti diberikan nama yang jauh lebih bermakna. Tetapi ayahku meninggal jauh sebelum aku dilahirkan. Karena sakit bengek. Lalu ibuku menyusul kemudian, setelah beberapa saat aku dilahirkan karena pendarahan hebat. Dan memang pada tahap awal, pengasuhan pertamaku dibebankan kepada kakek dan nenekku yang sudah tua dan sakit payah itu. Kakek hanya pensiunan tentara berpangkat rendah, sementara nenek dari dulu karirnya murni ibu rumah tangga biasa. Anak-anak mereka ada enam dan sudah pada kawin semua. Hidup para anak yang sudah beranak pinak ini juga tidak dapat dikatakan berlimpah bahkan boleh dikatakan agak lebih condong ke susah. Sehingga wajar, mereka tidak punya cukup kemampuan (atau keberanian?) untuk mengadopsi bayi kecil yang merupakan anak dari saudara bungsu mereka.

    Tetapi sudahlah. Toh, kakek dan nenek membesarkan aku dengan susah payah. Itu bukti rasa kasih sayang mereka yang tak terhingga. Tetapi nasib buruk tampaknya terus menerpa. Saat baru memasuki jenjang SMP, tiba-tiba kakek meninggal karena serangan jantung. Uang pensiun yang diambilnya di bank ternyata dicopet orang dijalan. Si copet tak berperasaan inilah yang memberikan kontribusi yang cukup besar atas kematian kakekku. Mungkin karena rasa dendam yang tak terkira terhadap oknum copet sialan ini, sampai aku dewasa pun aku memang tetap memusuhi apa pun yang bergelar tukang copet ini. Sering aku menantikan saat-saat dimana tukang copet tertangkap basah dan dikerubuti masa. Bukan hanya menonton, aku pun kerap menyumbang dua atau tiga pukulan berbahaya. Bahkan pernah aku sampai harus dipegangi polisi dan warga karena memukuli copet secara membabi buta.

    “Sudah mbak, sudah! Copetnya sudah pingsan” kata mereka sambil terus memegangi tanganku yang erat memegang sebelah sepatu highheels . Wujud sepatu bagian kananku yang tadinya panjang dan runcing itu sudah tak karuan lagi. Bukan karena sepatu itu berkualitas rendah karena kubeli di pasar kaki lima, tetapi karena sepatu itulah yang kupergunakan dengan ganas untuk menyerang si copet tadi. Salah sendiri kenapa mencopet ibu-ibu di pasar, pas siang bolong, dimana aku baru saja ditolak saat melamar pekerjaan? Cari penyakit namanya! Biar pun sejumlah polisi mengkuliahi aku untuk mengurangi nafsu main hakim sendiri, tetapi yang namanya emosi memang terkadang sulit terkendali. Coba, apa mereka pernah merasakan bagaimana rasanya kalau kakeknya mati karena abis kecopetan?

    Apalagi sepeninggal kakek, kehidupanku seakan kian melorot saja. Nenek semakin parah penyakitnya, dan kami harus hidup dengan uang pensiun janda tentara yang menyedihkan jumlahnya. Masa SMP adalah masa yang benar-benar membuatku merana. Tak pernah ada uang jajan, sekolah berkilo-kilo meter harus kutempuh dengan jalan dan banyak buku-buku pelajaran yang tak mampu kubeli karena kemahalan. Menjelang kelas tiga SMP, nenekku pun berpulang. Sebelumnya beliau kena stroke, lalu koma hampir dua minggu lamanya dan meninggalkan duka yang semakin menganga.

    Aku, Nek Ijah dan Cerita Cinta
    Hidup tanpa nenek selanjutnya menciptakan siklus “pengembaraan” dalam kehidupanku. Karena kemudian secara bergantian, mulai dari uwak, paman atau bibi akhirnya bertanggung jawab mengurusku. Kalau masa terakhir SMP aku dirumah paman, lalu SMA aku di rumah uwak, kemudian pas kuliah aku numpang ke rumah bibi. Perjalanan pendidikanku memang menyedihkan, atau dapat dikatakan menyakitkan. Karena belas kasihan dari saudara-saudara orang tuaku, akhirnya aku dapat meraih gelar diploma dengan susah payah. Meski banyak menampung jasa, tetapi rupanya nasibku tidak juga berubah. Sehingga aku tidak juga mampu membalas kebaikan orang-orang yang pernah begitu terbebani atas kehidupanku itu.

    Padahal aku ingin sekali membuat mereka itu tidak menyesal pernah membantuku. Tetapi lagi-lagi takdir hidup ini memang susah dimengerti. Sekeras itu ingin berubah, sekeras itu pula cobaan mendatangi kita. Perjuangan mencari kerja merupakan pertarungan luar biasa. Bekerja dari satu tempat yang biasa, ke tempat yang jauh lebih biasa dalam kehidupanku justru bukan suatu hal yang luar biasa. Sampai akhirnya, aku berhasil mendapat pekerjaan sebagai tenaga administrasi bagian gudang di sebuah perusahaan supplier bahan kain untuk industri pakaian jadi. Perusahaan yang baru berkembang ini milik suami istri warga keturunan. Dulunya si engkoh (yang punya usaha), merupakan sales bahan kain yang menawarkan dagangannya ke toko-toko kain. Setelah memiliki pinjaman modal, dia lalu mendirikan usaha sendiri bersama istrinya yang biasa kita panggil si encik itu.

    Sebagai tenaga administrasi gudang, kerjaanku tentu tidak ribet-ribet amat tetapi sangat membutuhkan ketelitian. Pagi hari tepat jam 9 pagi, aku sudah sibuk dengan segenap kwitansi, buku laporan barang masuk dan keluar serta melakukan pengecekan gudang. Lalu dengan buku dan pena ditangan, aku kemudian mendatangi truk atau mobil box yang membawa kain pesanan dari Bandung. Kain yang dikeluarkan dan diangkut para kuli panggul harus kuhitung dengan cermat. Karenanya, terkadang aku harus melompat masuk ke dalam mobil box atau bergantungan dipinggir truk untuk memastikan dengan benar penghitunganku. Apalagi jenis kain beraneka macam dan kuli pangggul bergerak cepat mengangkut ke gudang. Sebab salah hitung sedikit, gajiku bisa tekor.

    Jika belum ada truk atau mobil box yang datang, maka aku harus segera mengerjakan buku laporan bulanan gudang. Karena biasanya, akan banyak tugas lain menyusul berikutnya seperti membuat sample kain bagi pelanggan, juga mengecek pemesanan atau barang yang dikembalikan di Bandung. Atau mengeluarkan barang-barang dari gudang untuk dikirim ke pelanggan, dimana aku juga harus kembali menghitung barang-barang yang akan masuk ke mobil box.

    Itulah sebagian pekerjaan rutinku. Sehingga wajar jika aku tidak punya kesempatan untuk sedikit “merapikan” diri selayaknya wanita sejati. Kostum wajibku hanya kaos dan celana jeans. Teman-teman kerjaku kebanyakan kuli panggul dan sopir truk atau mobil box antar kota itu. Tak ada perbincangan lain diantara kami selain biaya hidup, hutang di warung atau badan sakit karena capek. Meski demikian, kami selalu akrab. Setiap makan siang, dengan nasi dan lauk seadanya kami berkumpul dan makan dengan lahap. Entah itu di atas truk, di dekat kotak sampah atau di dekat dapur tepat di sebelah gudang. Sesekali jika mereka mengantar barang dari Bandung, para sopir ini kerap membawakanku oleh-oleh ringan. Entah itu peuyeum atau buah-buahan. Bersama mereka, aku terkadang melupakan pahitnya kehidupan. Karena mereka selalu tertawa dan itu sangat menghiburku.

    Tetapi ketika kembali ke tempat kostku yang sunyi senyap itu, aku kembali merasakan kesendirianku. Ya, sejak memiliki pekerjaan aku pun memberanikan diri untuk mandiri. Tidak tergantung atas belas kasihan para saudara lagi. Meski gajiku tak seberapa, tapi aku bertekad untuk melawan hidup ini sendiri saja. Karenanya aku hanya mampu tinggal di kawasan kumuh. Setelah bertahun-tahun hidup sendiri,dan kerap berpindah kost, akhirnya aku menemukan lokasi strategis sesuai dengan nasibku yang selalu sunyi dan sepi diusia yang hampir menuju kepala tiga ini. Dan jangan lupa, harga kost ditempat terakhir ini juga lumayan murah. Sesuai untuk ukuran karyawan rendahan seperti aku.

    Aku kost di sebuah rumah tua milik seorang nenek tua renta. Nek Ijah, nama ibu kostku itu. Meski anaknya banyak, tetapi nenek ini ternyata hidup sendiri. Entah pengen mandiri atau anak-anaknya tak peduli. Yang jelas, aku memang tak pernah melihat anak-anaknya berkunjung apalagi sampai menginap berhari-hari.

    Dari sosok Nek Ijah, aku pun menuai ketauladanan atas merdekanya hidup “berkesendirian”. Meski salah satu kaki nenek ini dipotong, karena sang nenek penderita diabetes, tetapi sang nenek tidak pernah tergantung dengan orang lain. Dia mencuci dan memasak sendiri. Kaki kirinya yang terpotong itu diikat kuat dengan banyak kain agar tidak sakit saat melangkah. Nek Ijah tidak pernah tahu berapa umurnya. Tetapi dari tubuhnya yang renta, aku yakin usia nenek ini sudah diatas 70 tahun. Meski posturnya kecil dan bongkok, dengan rambut putih dan gigi ompong, tetapi Nek Ijah selalu ceria. Kami kerap ngobrol bersama kalau dia kebetulan membuka pintu pembatas antara rumah dan kamar kostku itu. Atau kami sering duduk-duduk di depan rumahnya sambil memandangi pohon rambutan yang tak kunjung berbuah juga.

    Nek Ijah, sangat senang menceritakan masa lalunya. Tentang berapa kali dia menikah, bagaimana dia dulu banyak dipuja pria hingga rahasia kecantikanya di masa lalu yang tentu sulit terlacak sisa-sisanya di masa kini. Bahkan saat pertama kali bertemu, aku hampir pingsan melihat parasnya. Sosoknya mengingatkan aku akan film-film bergenre horor Indonesia. Tetapi menurut Nek Ijah, sosoknya yang sekarang jauh jika dibandingkan dengan sosoknya di zaman dahulu kala. Sebab katanya, dulu beliau sempat menjadi idola di masanya. Entah itu tahun berapa, yang jelas kata Nek Ijah masih pas zaman Belanda dan Jepang ada. Konon, banyak pria yang takluk dihadapan Nek Ijah karena tidak kuat melihat kecantikannya. Bahkan ada yang rela menungguinya berjam-jam menumbuk padi demi mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hati. Aih…

    Karena terlalu banyak yang ingin mendapatkan Nek Ijah ini, pertarungan diantara sesama pria juga tidak dapat terelakkan lagi. Meski tidak terjadi pertumpahan darah, tetapi (lagi-lagi) menurut versi Nek Ijah, sudah banyak korban atas kecantikannya itu. Minimal ada cowok yang mukanya bonyok, giginya rontok atau bibirnya montok karena adu jotos di arena tanding liar atas nama cinta itu. Karena sosoknya yang laku keras ini, makanya Nek Ijah mengaku sudah pernah menghadap penghulu sampai tujuh kali! Meski rata-rata pernikahan itu berakhir dengan kasus kawin cerai layaknya selebriti. Abis, kata sang nenek, para suami yang mendapatkannya dengan susah payah itu punya penyakit sama. Suka cemburuan! Karena nggak mau capek hati, akhirnya Nek Ijah sering pindah ke lain hati.

    Baru pada suami terakhirlah, Nek Ijah bertahan sampai sang suami mati. Bukan karena di bunuh, tetapi karena udah tua. Sejak itu Nek Ijah juga nggak pernah menikah lagi. Ya, mungkin itu, karena sudah tua juga. Meski rajin menikah dan rajin punya anak, tetapi Nek Ijah tidak dekat dengan anak-anaknya. Yang jelas kata dia, wajah anaknya berbeda-beda sesuai wajah bapaknya masing-masing. Karena terlalu cantik dan terlalu asyik kawin cerai, Nek Ijah sampai terlalu lupa untuk menjadi ibu yang sebenarnya. Semua anak-anak dari rahimnya itu hidup bersama bapak mereka masing-masing. Mereka lebih mengenal rasa kebapakkan ketimbang keibuan. Sehingga dalam masa tuanya, tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang berusaha mencari apalagi kembali kepelukan Nek Ijah.

    Lalu, menyesalkah Nek Ijah terlahir sebagai wanita cantik tiada tara? Oh, no! Lebih jauh dituturkan Nek Ijah, jika suatu saat diberi kesempatan Gusti Allah kembali lahir ke bumi, dia justru tetap ingin lahir sebagai wanita cantik sejati. Bahkan kalau boleh nambah, katanya, sekalian juga bertubuh tinggi bak peragawati. Bila perlu tinggi banget kayak pohon kelapa! Sebab menurut Nek Ijah ini, tubuhnya meski seksi, semok, aduhai, bohay dan sensual, tetapi tingginya jauh dari batas normal standar ukuran catwalk. Kondisi ini yang membuatnya minder untuk pacaran dengan pihak kompeni, karena bule Belanda kan tubuhnya di atas rata-rata orang Indonesia. Sementara pacaran dengan penjajah Jepang Nek Ijah juga ogah, karena katanya sama aja kayak pacaran dengan engkoh bermata sipit pemilik toko sembako di kampungnya. Hasilnya memang mantan Nek Ijah hanya dari kalangan Pendekar (pendek dan kekar) semua. Akibatnya dapat dimaklumi, keturunan Nek Ijah nggak ada yang bisa masuk ke kancah dunia selebriti. Kenyataan inilah yang sungguh disesalkannya sampai saat ini.

    Meski kerap mengumbar cerita masa lalunya yang fantastis dan luar biasa, tetapi Nek Ijah juga tak lupa berbagi rahasia resep kecantikannya. Seperti, mandi pas malam bulan purnama, banyak puasa mutih (hanya makan nasi putih) dan pisang emas atau minum air kunyit campur asem. Serta melumuri rambut dengan ramuan khusus minyak cem-ceman, berupa campuran minyak kelapa dengan aneka bunga dan daun pandan yang dikukus sampai harum baunya, mengolesi bibir dengan madu, mengolesi ketiak dengan kapur sirih, membedaki diri dengan bedak tradisional berupa campuran tepung beras dan daun pandan, serta luluran tepung beras campur sari bengkoang.

    Resep-resep tradisional ini sering digembar-gemborkannya sebagai sarana mutlak untuk menciptakan dan menjaga kelestarian kecantikan tersebut. Pada awalnya aku menganggap itu hanya refleksi kebanggaannya saja di masa lalu. Namun lama kelamaan, aku semakin merasakan jika upaya mengungkap resep tradisional itu jadi lebih mirip semacam hasutan. Agar aku terbakar dan meniru kedigjayaannya di masa lalu itu. Apalagi beliau sering mempertanyakan kesendirianku. Mengapa aku tiap malam minggu sendiri saja? Kenapa belum pernah ada pria main ke rumah meski aku sudah ngekost berbulan-bulan lamanya? Atau kenapa Nek Ijah tidak pernah dititipi salam buat aku dari pemuda-pemuda kampung yang sering nongkrong di tikungan jalan itu? Dan sebagainya, dan seterusnya.

    “Kalau nenek muda dulu, waduh! Jangankan nenek lewat di depan para pria. Nenek berdiri nggak jauh dari mereka saja udah pada ngejar semua. Ibaratnya, mencium bau nenek saja mereka sudah kelojotan semua. Nah ini, kamu? Udah tiga kali nenek ke pasar naik becak, tapi belum pernah disetopi para pemuda kampung. Kan di rumah nenek ada perawan yang setiap malam minggu selalu sendiri sampe manyun? Kok ya nggak ada yang mencoba menanyakan atau sekedar menitip salam? Makanya neng, cepat dijalankan program kecantikan nenek di masa lalu itu. Mutakhir, eh, mujarab lho!”

    Itu mungkin salah satu ungkapan Nek Ijah yang terdalam dan sulit kulupakan. Meski begitu pedas, tetapi aku merasakan bagaimana rasa sayang dan perhatiannya dia kepadaku. Seseorang yang di masa lalunya sangat tergantung terhadap pria, tiba-tiba di masa tuanya menemukan gadis yang kehidupannya berbanding 180 derajat dengannya. Mungkin Nek Ijah tidak dapat memahami, mengapa ada perempuan yang tidak mampu memberikan daya pikat terhadap pria mana pun di dunia. Bahkan kepada sekumpulan pemuda pengangguran di ujung jalan itu sekalipun! Padahal mereka ini adalah kelompok yang menjadi batas minimalis tolak ukur seberapa parahnya wujud seorang perempuan. Ibarat kata, bebek montok lewat aja digodai. Nah ini? Gadis, yang kata Nek Ijah meski tidak secantik parasnya selagi muda,tapi ada nilai jualnya, kok ya jauh dari incaran pria?

    Maka dengan segenap rasa hormat, aku pun menjalankan ritual ala Nek Ijah. Tetapi dugaanku ternyata benar. Masa lalu mungkin bagus pas zaman dulu. Tetapi kini? Oho! Mandi pas malam bulan purnama membuat aku masuk angin, kegiatan puasa mutih membuat aku sakit dan terkapar serta terpaksa tidak dapat bekerja sampai berhari-hari. Makan pisang emas membuat aku lebih mirip monyet. Minyak cem-ceman yang dibuatkan Nek Ijah untuk ritual di kepala membuat para penumpang angkot yang kunaiki pada muntah-muntah, karena merasa begitu aneh dengan aromanya. Apalagi kuketahui kemudian, Nek Ijah pada proses pembuatannya memang kehabisan minyak kelapa sehingga terpaksa menggunakan minyak jelantah.

    Kemudian kegiatan mengolesi madu di bibir membuatku dikerubungi semut merah. Boro-boro jadi seksi kayak bibirnya Angelina Jolie, ini bibir jadi bonyok kayak habis nabrak terali besi. Kapur sirih diketiak pun ternyata tidak sanggup membendung kucuran keringatku. Akibatnya kapur sirih di ketek malah jadi luntur, kemudian membuat noda di baju dan tentu saja malah menambah berantakannya penampilanku. Bedak tepung beras yang begitu putih tebal dimuka juga malah menambah masalah baru. Saat melihatku memakai bedak itu, salah satu anak tetangga nangis jejeritan karena ketakutan. Sementara luluran tepung beras plus bengkoang, malah membuat tubuhku gatal-gatal karena alergi. Karena lagi-lagi, Nek Ijah salah mengkombinasikan ramuan, tepung beras yang digunakan merupakan tepung sisa dari proses pembuatan gorengan.

    Okelah, mungkin Nek Ijah sukses dengan resep itu pada zaman dulu. Dimana para pria yang melihat, langsung berlari mengejarnya. Atau baru mencium aroma Nek Ijah, para pria itu langsung kelojotan dibuatnya. Tetapi kadang aku berpikir, Nek Ijah ini dulunya wanita cantik atau maling sih? Kok pake dikejar-kejar segala! Terus kalo para pria ini jadi kelojotan setelah mencium bau Nek Ijah, masalahnya terletak dimana? Apakah karena Nek Ijah ini memiliki daya listrik berkekuatan tinggi atau penggemar Nek Ijah sebenarnya punya penyakit ayan semua?

    Tetapi yang jelas, sejak tidak sukses menjalankan ritual kuno tersebut aku menjadi lebih memikirkan arah hidup. Benar juga kata Nek Ijah. Usiaku sebentar lagi 30 tahun. Orang yang setiap harinya pake make-up aja tidak akan luput dari kerutan dan kekeriputan, apalagi aku yang malas dandan? Aku yang muda belia aja tidak pernah mampu meluluhkan hati pria, apalagi aku yang sudah tua? Waduh, bisa tambah parah!

    Jodohku Mana Ya?
    Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu tujuanku mencari pria. Buat apa? Kata orang sih, buat dinikahi, punya anak, jadi teman hidup atau apalah. Okelah! Tetapi sebegitu pentingkah? Mengapa aku berpikiran begitu, karena aku merasa lain kalau tidak berpikir begitu. Di sekelilingku orang pada menikah dan berkeluarga serta muncul anak-anaknya. Sementara kesendirianku ini justru membuat aku tidak normal jadinya. Sering aku malu bila bertemu di acara pesta keluargaku. Saudara-saudara sepupu yang sebaya denganku sudah pada gendong anak semua. Si Ori, yang menjadi inspirasi tunggal untuk cikal bakal namaku itu, bahkan anaknya sudah masuk TK. Kemarin, pas adiknya Ori yaitu si Aura atau Ora kawin, aku juga melihat perut Ori sudah menggelembung lagi. Kata Ori, dia ngotot menambah momongan karena usia. Ibarat sinetron stripping yang kejar tayang, Ori berpendapat jumlah anak adalah target memuaskan.

    Lalu, hal lain yang membuat aku merindukan kehadiran pria adalah timbulnya sisi kecemburuan. Aku iri si anu diapeli cowoknya, jalan bareng yayangnya, dilamar tunangannya atau menikah dengan pria pujaannya. Karena di dunia ini, yang mampu menggaet lawan jenis itu gelarnya: laku! Ibarat barang, manusia diakui keberadaannya jika sudah sampai mampu dipuja seseorang, diajak kawin, lalu punya anak, terus cucu dan seterusnya… Kalau sudah begitu, artinya manusia itu disebut eksis di dunia! Kemudian aku, yang masuk golongan sendiri, sebatang kara, melayang tiada arah ini, dianggap masyarakat perlu dikasihani. Karena belum menunjukkan kontribusi terhadap laju pertambahan penduduk. Suatu pikiran picik yang dulu sangat kubenci.

    Tetapi kini, aku terpaksa “bersahabat” dengan pikiran picik itu. Dulu aku sangat memuja ungkapan tentang “jodoh ditangan Tuhan”. Karena aku memang tetap berharap untuk menikah sebenarnya, karena atas pikiran (kembali) mau dianggap normal tadi. Selain juga jatuh cinta tampaknya menyenangkan. Apalagi mendapat balasan untuk dicintai. Cuma masalahnya, cinta yang kuharapkan itu tidak kunjung menghampiri. Itu saja. Mau membicarakan masalah ini kepada orang lain rasanya malu. Kesannya norak dan pecicilan gitu. Nggak diomongi juga rasanya berat. Susah!

    Maka, ketika suatu kali aku melihat forum kontak jodoh disebuah tabloid wanita, dengan penuh semangat aku mengikutinya. Segala bentuk persyaratan dan administrasi kujalani. Bahkan pertemuan-pertemuan rutin untuk mencari pasangan juga kulakoni. Tapi hasilnya? Nol! Meski foto yang kukirimkan berupa hasil editing designer graphis, toh, tetap tidak membuat para pria bersemangat untuk menghubungiku demi sebuah kencan romantis. Pertemuan rutin kaum jomblo juga tak membuat aku benar-benar bertemu dengan pria senasib denganku.

    Usaha lain akhirnya juga terpaksa kulakukan. Setelah dengan sangat menahan rasa malu, akhirnya aku bercerita dengan para rekan kerjaku. Para sopir dan kuli angkut itu. Aku pikir mereka tertawa, tetapi rupanya mereka mendukung upayaku untuk mengakhiri masa kesendirianku.

    “Kami pikir dulu mbak ini pilih-pilih pria. Lha, kalo taunya ngebet cari calon suami begini ya kita akan bantu usahakan” kata mereka kompak.

    Dan mulailah aku menjalani kegiatan kencan buta hasil rekayasa para mak comblang dadakan ini. Mungkin, karena rekan kerjaku para sopir, kenek atau kuli panggul, maka calon yang diajukan kepadaku juga tidak jauh-jauh dari lingkungan mereka. Ada sopir taksi, tukang ojek, pedagang kaki lima, tukang kredit panci sampai preman pasar. Semua kandidat lalu kami sortir mana yang layak dan tidak layak untuk dikencani. Kegiatan yang bersifat rahasia ini kami lakukan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Terutama saat sedang makan siang bersama. Setelah dilakukan rapat yang diiringi debat, maka akhirnya terpilih beberapa nama calon kandidat terbaik. Meski hatiku berat menerimanya, karena tidak sesuai dengan harapan, tetapi aku pun mulai menjalani kencan buta berantai itu.

    Kencanku pertama, seorang pengelola warteg milik ibunya. Namanya, Ferdy. Kami bertemu di mal dan berniat ingin makan bakso sekaligus nonton. Dia merupakan calon yang diajukan salah satu kernet truk, karena si kernet ini sering makan di warteg tersebut. Ferdy anaknya lumayan ganteng, nampak pemalu dan usianya jauh lebih muda dariku. Tapi yang menyebalkan, dia selalu menelepon ibunya. Kami akhirnya tidak jadi makan bakso dan nonton, gara-gara ibunya bilang ditelepon: hari sudah agak malam. Kami berpisah di depan mal dan sejak itu aku tidak melihatnya lagi.

    Kencan kedua, juga berakhir tak kalah tragis. Si Ando, seorang pekerja las karbit yang merupakan teman akrab salah satu kuli panggul rekanku, kutemui di warung Pujasera (Pusat Jajanan Serba Ada). Menurutku, si Ando ini orangnya sih biasa saja. Tetapi yang tidak biasa adalah sikapnya. Tampaknya si Ando ini belum bisa melupakan mantan kekasihnya yang kini sudah jadi istri orang. Setiap kali, dia selalu bercerita dan memuji-muji sang mantan tersebut. Ibaratnya, liat sendok ingat dia, liat piring tambah ingat dia. Tampak sekali jiwa pemuda ini terganggu gara-gara kehilangan gadis impian itu. Sampai detik perpisahan kami menuju kediaman masing-masing, si Ando ini terus-terusan saja melempar pujian dan kenangan masa lalu itu. Jauh di dalam hati aku tidak mau lagi bertemu pemuda itu. Dan memang, kata si kuli panggul yang menjodohkan aku, si Ando memang tidak berniat melanjutkan kencan denganku.

    Kencan selanjutnya, sekaligus yang terakhir, sebenarnya sedikit menampakkan titik terang. Nama pemuda itu Ryan. Anak tetangga sopir mobil box rekanku. Kami memang berbeda usia hampir dua tahun. Tetapi menurutku, Ryan ini merupakan kandidat yang jauh lebih baik dari calon-calon lain sebelumnya. Untuk urusan wajah dan penampilan lumayan, sikapnya juga menunjukkan kalau dia orang yang sopan. Sayangnya, pemuda ini baru saja kehilangan pekerjaan alias sedang menganggur. Meski demikian, ada sekitar tujuh kali kami melakukan pertemuan. Entah itu nonton, jalan ke kebon binatang sampai ngeceng di mal kayak remaja gaul sekarang. Karena dia bekerja dan tidak punya uang, maka biaya pertemuan tentu saja aku yang menanggung.

    Meski begitu, aku sangat senang menjalin hubungan dengannya. Jujur, Ryan itu lumayan romantis. Kadang dia rajin nelpon atau sms, bahkan dia pernah menjemput aku pulang kerja dan mengantar aku ke kost-an. Suatu hal yang membuat ibu kostku girang bukan kepalang. Tetapi itu tadi, nasib kayaknya belum berpihak padaku. Walau belum ada cinta diantara kami, tetapi rupanya takdir memang berkehendak lain. Mendadak, Ryan mendapat pekerjaan jauh di pedalaman Kalimantan.

    Satu dua kali, dia masih telpon. Masih juga ada banyak sms yang nyasar ke handphone-ku darinya. Tetapi selanjutnya? Tiba-tiba terputus disitu saja. Satu bulan kemudian aku mendapatkan sms darinya, kalau dia menganggap aku hanya teman biasa. Karena ternyata dia lebih tertarik dengan wanita lain di lokasi tempatnya bekerja. Dua bulan kemudian, dari sopir mobil box kuperoleh kabar, kedua orang tua Ryan berangkat ke Kalimantan untuk melamar gadis dari suku pedalaman daerah tersebut. Anehnya, aku tidak sedih sama sekali. Mungkin karena aku juga belum sempat jatuh cinta padanya. Aku hanya kehilangan seseorang yang pernah mengisi kehidupanku menjadi sedikit lebih “normal”.

    Tuhan, Kirim Aku Malaikat Cinta Itu…
    Setelah usai cerita tentang Ryan, aku juga mengakhiri masa kontrak “joint venture” dengan para mak comblang itu. Meski mereka sendiri merasa keputusanku ini terlalu berat sebelah dan didasari atas kekecewaan yang berlebihan saja, tetapi aku tetap bertekad menyudahinya. Sejujurnya, aku bukan memikirkan seberapa parahnya aku di mata kaum pria. Tetapi, betapa kasihannya orang-orang yang mencoba menjodohkan aku. Itu saja. Kalau soal jodohku sih, dapat nggak dapat ya aku juga tidak terlalu percaya diri. Meski memang kuakui, terkadang aku tak mampu melepas doa-doa di tengah sujudku kepada-Nya. Demi soal yang satu itu. Selanjutnya aku mencoba tawakal saja. Ada jodoh, hayo! Nggak ada jodoh? Ya, sudah.

    Pemikiran untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan kuperoleh dari rekan kerjaku, bernama Pak Topi. Beliau kuli panggul yang masuk golongan sudah berumur. Tetapi semangatnya begitu menyala untuk mencari penghidupan bagi keluarganya. Nama Pak Topi merupakan pemberian dariku, karena dia memang selalu memakai topi lebar dari pandan saat bekerja. Tetapi yang lebih aku sukai dari Pak Topi, adalah keramahan dan kebijaksanaannya. Di Jakarta Pak Topi tinggal sendiri, menumpang di mess kantor. Keluarganya di kampung kerap ditemuinya antara dua atau tiga bulan sekali. Karena pada masa itu, kantung Pak Topi cukup penuh dengan uang upah dari menjadi kuli.

    Kalau pulang kampung, Pak Topi selalu membawa oleh-oleh untuk keluarganya. Entah itu celana pendek untuk bocah lelakinya yang katanya pintar ngaji itu, selop merah jambu buat gadis kecilnya yang masih TK, atau kerudung dan kain buat si istri tercinta. Sementara buat Pak Topi sendiri, selama bertahun-tahun aku hanya melihat pakaiannya yang itu-itu saja. Kaos lengan panjang putih yang kini warnanya sudah kekuning-kuningan dan kemeja kotak-kotak yang penuh jahitan. Celana Pak Topi juga kulihat hanya satu, warna coklat berukuran panjang yang penuh tambalan. Jika sedang tidak bekerja, Pak Topi hanya memakai kaus dalam rombeng dan berkain sarung butut.

    Tak ada harta berlebih dari Pak Topi, selain kebahagiaan bersama keluarga. Satu-satunya tujuan hidupnya selain beribadah, ya, tentu saja keluarganya itu. Dan selama aku mengenalnya, aku tidak pernah mendengar dia mengeluh.

    “Hidup ini akan terasa lebih kalau kita tidak pernah merasa kekurangan. Apa yang telah Allah berikan kepada kita, syukurilah. Jangan pernah meminta lebih dari apa yang telah digariskan. Sebab di balik segala cobaan, Allah punya rahasia yang begitu indah untuk dilukiskan. Maut, jodoh dan rezeki di tangan Tuhan” katanya suatu kali.

    Maut, jodoh dan rezeki ditangan Tuhan. Perlahan-lahan, kalimat itu kubenamkan di hati. Aku berharap hatiku yang sedang bergeming itu mau memahami. Betapa tidak baiknya untuk mempertanyakan sesuatu kepada DIA yang selalu memberikan yang terbaik kepada kita. Aku berusaha untuk merasa “cukup” dengan segala kesendirian ini. Lagi pula aku sudah berusaha, seberusaha-berusahanya. Jika memang sang jodoh itu tak kunjung menghampiri, mungkin memang belum saatnya. Atau kalau memang tidak di dunia, pasti Allah telah memilihkan pasangan terbaik untukku di akherat sana. Aku yakin itu.

    Keyakinan kuat itu akhirnya melatarbelakangi hidupku selanjutnya. Kini, saat bergerak, berjalan, berlari dan bernafas pun keyakinan itu selalu hidup di hati. Karenanya, jika melihat ada pasangan bergandengan tangan, pergi kondangan ke pesta kawinan atau mendengar teman sekerja bertunangan, aku tidak perlu gelisah lagi. Aku selalu tersenyum dengan penuh keyakinan diri. Seyakin bahwa si pangeran hati itu memang pasti ada dan merupakan pilihan Illahi Robbi.

    Maut, jodoh dan rezeki ditangan Tuhan. Kabar itu membuat suatu perubahan besar. Adik engkoh, bosku, tiba-tiba tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Masih muda, ganteng, mahasiswa cerdas, mana baik hati lagi. Pokoknya bukan hanya keluarga si bos yang jungkir balik menangisi sang adik tersayang. Tetapi kami, karyawan abangnya yang juga sempat mengenal pribadinya juga dibuat kehilangan. Terutama para karyawati bagian staf kantor yang jomblo dan memang diam-diam mengagumi kharisma adik bos yang satu ini. Karenanya wajar, jika saat proses pemakaman adik bos ini, banyak karyawati yang bertangisan melebihi batas kemampuan. Bahkan ada yang pingsan. Karena banyaknya jumlah karyawati staf kantor yang bergelimpangan inilah yang membuat tugas kami (para karyawati yang baik-baik saja) jadi repot dibuatnya.

    Salah satunya tentu aku, karyawati bagian staf gudang. Dari yang semula tugasku cuma memegangi keranjang bunga untuk penaburan, tiba-tiba jadi merangkap ke yang lain-lain. Membantu mengangkat karyawati pingsan, mijetin kepala, sampai mengipasi mereka. Ribet! Tetapi dari tugas ganda inilah aku jadi bertemu: dia.

    Prosesi pemakaman adik si engkoh memang cukup lama. Maklum, keluarga engkoh memang masih memegang adat kebudayaan leluhurnya. Segala perabotan yang menyerupai kebutuhan duniawi dibuat dan dibakar. Konon, barang-barang tersebut akan dipergunakan arwah di akherat sana. Semua anggota keluarga memakai pakaian putih, memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah. Suatu ritual unik yang baru kutemui, tetapi tidak dapat kuperhatikan secara lebih gara-gara banyak korban pingsan dari para karyawati yang merasa sok kehilangan ini.

    Karena mobil-mobil penuh dengan karyawati yang pingsan, maka karyawati-karyawati yang pingsannya belakangan terpaksa harus puas hanya ditidurkan di atas makam-makam. Tetapi makam-makam disitu juga tidak seseram makam-makam kebanyakan. Bahkan ada makam yang bentuknya menyerupai istana. Ada air mancurnya, rumah bertingkatnya, bahkan patung malaikat kecilnya. Suatu hal yang membuat aku geleng-geleng kepala. Sementara makam-makam lain, biar pun sederhana, tetapi tidak kalah indah. Rumputnya hijau dipotong rapi, gundukannya rata, ada keramiknya, juga ada banyak bunga bahkan foto pemilik makamnya!

    Gara-gara foto pemilik makam inilah, hidupku berubah. Awalnya, kami-kami (karyawan-karyawati) yang tidak pingsan itu iseng memperhatikan foto-foto itu. Ada yang berseloroh bahwa foto-foto itu cakep juga. Bahkan ada yang mengaku naksir dengan salah satu foto di makam itu. Aku sih sesungguhnya tidak terlalu tertarik untuk memperhatikannya. Tetapi entah mengapa, tiba-tiba foto salah satu pemilik makam itu begitu menggetarkan jantungku. Foto seorang pemuda tampan. Ya, aku yakin semasa hidup si pemilik foto pasti tampan sekali. Matanya nampak begitu tajam menusuk hatiku. Sepasang mata laki-laki yang jika dia masih hidup pasti sangat kugilai. Kubaca namanya: Michael. Lahir, Jakarta, 1 Januari 1977. Meninggal, 1 Januari 2009.

    Gila! Aku mengumpat dalam hati. Berarti, si Michael ini belum lama matinya. Baru awal tahun kemarin. Kenapa saat dia hidup aku nggak sempat bertemu makhluk seganteng ini, ya? Aduh, kalau saja…Tetapi keluhan hatiku berakhir disitu saja. Lagi pula si Michael itu sudah mati. Ngapain naksir orang mati? Apa aku juga mau kayak para karyawati stres yang hobi pingsan itu? Pacar bukan, saudara bukan. Kok ya adik bos meninggal, bisa-bisanya pada rame-rame pingsan. Tapi itu cuma ungkapan sesaat. Ketika prosesi pemakaman adik si engkoh usai, tiba-tiba aku seakan dikuasai “kerinduan” untuk sekedar melemparkan pandang ke arah foto di makam Michael. Aneh, aku merasa foto itu tersenyum padaku. Dan sepasang mata itu, seakan menyorot kian dalam ke dasar hatiku. Waduh!

    Sejak saat itu, aku tak mampu melupakan foto Michael. Seakan-akan, foto di makam ini memiliki daya magnet tersendiri, yang menyeret aku untuk selalu pergi mengunjunginya. Tuhan, pada awalnya aku merasa ada yang tidak beres dengan alam pikiranku. Terang saja, masa sih naksir orang mati? Tetapi makin kutekan perasaan itu, tiba-tiba aku semakin merasa bahwa kerinduanku terhadap foto itu semakin tak terbendung. Maka dengan perasaan campur aduk, di suatu hari minggu yang indah, aku benar-benar kembali mengunjungi makam itu.

    Tuhan…sepertinya aku merasa benar-benar sudah terganggu jiwa. Tiba-tiba aku merasa begitu senang mengunjungi makamnya. Aku menatap fotonya, membawakannya bunga dan memberikan doa terbaik untuknya. Dan semua itu kulakukan dengan sadar! Seakan aku sudah begitu lama mengenalinya. Seakan dia bagian dari masa lalu yang sulit kuhapus begitu saja. Dan dari kunjungan ke makam itu, aku kemudian rutin terus mengunjunginya. Serutin aku mengunjungi makam kedua orang tua atau kakek dan nenekku. Tetapi di makam Michael, aku merasakan sesuatu yang beda. Ada sensasi tersendiri yang membuatku seakan mabuk dibuatnya.

    Setiap aku menatap fotonya, aku seakan benar-benar berbincang-bincang dengannya. Maka dari kunjungan-kunjunganku itu, aku merasa memiliki teman baru. Tempat aku berbagi cerita, tentang pekerjaan, mimpi dan tentu saja jodoh yang tak kunjung datang itu. Dan dari seringnya aku datang ke makam Michael itu, aku juga baru tahu jika ternyata ada orang lain yang juga sering mengunjunginya. Orang itu juga sering membawakannya bunga. Bunga yang sama dengan yang selalu aku bawa. Setangkai mawar merah! Tetapi anehnya, aku belum pernah bertemu dengan orang yang mengunjungi makam Michael ini. Siapa si pengunjung makam Michael ini? Mantan istrinya, pacarnya, emaknya, neneknya, apa pembokatnya? Namun rasa penasaran yang begitu menyergap, membuat aku akhirnya berani juga menanyakan keberadaan keluarga Michael pada pihak penjaga makam.

    Dari pihak penjaga makam inilah aku mendapat informasi tentang Michael. Rupanya, alamat keluarga Michael tak begitu jauh dari lokasi makam. Menurut penjaga makam tersebut, makam Michael memang jarang dikunjungi keluarganya. Tapi selalu ada pria yang datang ke makam itu untuk mengantarkannya setangkai bunga. Apa! Ada seorang pria yang datang ke makam Michael hanya untuk mengantarkan setangkai bunga mawar merah? Apakah itu tidak berlebihan untuk seorang saudara atau anggota keluarga lainnya? Mengapa setangkai mawar merah? Bukankah Michael itu laki-laki, dan yang memberi bunga ini wujudnya juga laki-laki?

    Tetapi akhirnya pertanyaan itu terjawab sudah. Saat itu, di suatu minggu sore yang cerah. Aku memilihkan setangkai mawar merah tercantik untuknya. Seperti biasa, aku duduk di sebelah makamnya. Bercerita tentang kegiatanku hari itu. Aku membelai fotonya dan aku juga mencabuti rumput liar yang lebih tinggi dari rumput lainnya. Tetapi ketika aku ingin meninggalkan makamnya, tiba-tiba aku melihat sosok seorang laki-laki berdiri tepat di belakangku. Diam mematung. Dan ditangannya, amboi…ada setangkai mawar merah!

    “Jadi kamu yang juga selalu membawakannya setangkai mawar merah?” kata laki-laki itu, dingin tanpa ekspresi. Seraya membuka kaca mata hitamnya. Ups! Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Entah kenapa, aku seperti pernah melihat sepasang mata itu. Sepasang mata elang yang menyorot tajam. Tapi aku lupa pernah melihatnya dimana.

    Aku memperhatikan lagi sosoknya. Tidak kalah tampan dari fotonya Michael. Aku taksir usianya pasti tidak begitu jauh dariku. Tapi jika kubandingkan dengan fotonya Michael di makam itu, tak ada sedikit pun kemiripan di wajah lelaki ini. Aku yakin, mereka bukan bersaudara. Minimal, kalau pun memang bersaudara pasti merupakan saudara yang sangat jauh. Tetapi anehnya, aku merasa mengenal sepasang mata milik laki-laki itu. Dan aku yakin hal ini bukan kebetulan belaka.

    “Maaf, anda saudaranya Michael?” tanyaku ramah. Atau lebih tepat meramah-ramahkan diri.

    “Anda sendiri siapanya Michael?” dia balik tanya.

    Tiba-tiba aku terhenyak. Aku ini ada hubungan apa ya dengan Michael? Apa pula urusanku mengunjungi makamnya? Apa aku mau dibilang sakit jiwa, jika aku bilang pada laki-laki ini: Aku naksir si Michael gara-gara terpukau dengan fotonya di makam itu? Tidak! Tak akan ada orang yang percaya dengan omong kosong seperti itu. Maka dengan takut aku mundur perlahan-lahan, sebelum akhirnya melesat menjauh dari tempat itu. Aku masih mendengar laki-laki itu memanggilku, tetapi kakiku seakan tak mampu berhenti. Seperti bibirku yang tak mampu kuhentikan untuk terus menyuarakan suara hati, kepada DIA, Illahi Robbi…

    Tuhan…kenapa kau kirim malaikat cinta yang belum pintar menggunakan panah? Sehingga membuat aku jatuh cinta pada pria yang telah punah? Terima kasih Ya Allah, Engkau mendengarkan doa-doaku. Terima kasih telah mengirimkan malaikat cinta yang mungkin masih junior atau dalam tahap magang di surga-Mu. Terima Kasih juga kepada malaikat cinta, yang sudah iba dan sesungguhnya berniat baik terhadapku. Tapi, Ya, Allah… Boleh nggak kasih kesempatan malaikat cinta yang belum pengalaman itu untuk mengarahkan kembali panah cintanya. Siapa tahu kali ini nggak nyasar ke kuburan lagi? Please, help me…Ya..Allah!

    Izinkan Aku Mengenalmu
    Sejak bertemu sosok laki-laki itu di makam Michael, aku jadi takut untuk kembali ke makamnya. Entahlah, apa yang kutakutkan sebenarnya. Takut jika dianggap gila, atau takut yang lainnya. Namun jujur, aku sulit melupakan foto Michael. Kerinduan yang terpendam itu akhirnya menggiring aku untuk mencari alamat keluarga Michael, yang kuperoleh dari penjaga makam tersebut. Bak detektif swasta, diam-diam aku mencoba menyelediki tentang sosoknya di masa lalu.

    Dari tukang ojek yang tidak jauh dari rumahnya, aku mendapat informasi jika Michael merupakan anak keluarga berada. Pria tampan itu bahkan mampu bersekolah di Amerika. Konon, dia merupakan harapan orang tuanya untuk melanjutkan bisnis keluarga. Karena dia merupakan anak lelaki satu-satunya. Sementara dua kakak perempuannya sudah menikah dan melebarkan sayap bisnis di bidang lain dengan suami masing-masing. Sayang, pada masa sekolah di Amerika itu Michael mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya lumpuh total. Sepanjang hidupnya, Michael hanya menghabiskan waktu di kursi roda sambil terus mendalami kegiatan melukis.

    Berbekal informasi ini, aku akhirnya memberanikan diri mengunjungi keluarga Michael. Aku berharap dapat dipercaya saat berpura-pura menjadi salah satu temannya dari masa lalu. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Tetapi sungguh, kerinduan akan Michael seakan menghilangkan akal sehatku. Dan yang lebih mengagetkan aku, adalah sambutan dari keluarga Michael. Aku tidak membayangkan jika akhirnya bisa seperti itu.

    “Jadi kamu itu memang ada? Kamu benar-benar teman Michael?” tanya ibunya Michael, saat pertama kali melihatku. Suatu pertanyaan aneh yang membingungkanku. “Kami pikir Michael saat itu dalam keadaan tertekan dengan kondisinya. Jadi dia berhayal memiliki seorang teman baru. Dia bilang temannya perempuan, dan dia selalu menjadikan teman perempuannya itu sebagai subjek lukisannya. Kami jelas tidak percaya, karena dia memang tidak pernah keluar rumah. Bagaimana mungkin dia memiliki teman baru? ” lanjutnya lirih.

    Mendengar itu kepalaku mendadak pening. Tetapi aku tidak menolak untuk mengikuti ibunya menuju ruang pribadi Michael. Ada banyak lukisan disitu. Dan aku hampir mati berdiri melihatnya. Ya, Tuhan! Ini benar-benar kebetulan atau keajaiban? Kenapa wajah-wajah dalam lukisan tersebut begitu mirip aku? Saat melihatnya, aku seperti sedang berhadapan dengan cermin saja. Asli, mirip aku banget! Ini kebetulan atau karena aku hanya sedang mimpi kesiangan?

    Dan dari ibu Michael, aku akhirnya memperoleh kisah yang hampir tidak masuk akal ini. Menurut ibunya, Michael memang gemar melukis perempuan yang wajahnya mirip aku itu setahun sebelum kematiannya. Suatu hal yang agak sulit dimengerti, mengingat selama bertahun-tahun Michael tidak pernah mengenal teman baru. Sejak kecelakaan dan menjadi lumpuh, Michael malu untuk bertemu orang lain. Entah dari mana dia memiliki ide untuk melukis perempuan yang mirip aku itu.

    “Kalau ibu tanya, dia selalu bilang bahwa perempuan yang dilukisnya itu adalah temannya. Entah teman dari mana. Tapi setahun menjelang kematiannya, dia memang bertingkah aneh. Dia seakan tahu jika maut akan menjemputnya. Bahkan sebelum meninggal, dia minta diizinkan bertemu dengan sahabatnya Elang. Elang ini sahabatnya waktu bersekolah di Amerika, cuma keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas di sana. Jika Michael lumpuh, maka Elang menjadi buta. Dan kepada sahabatnya ini, Michael mempersembahkan sepasang matanya ..”

    Akhirnya semua terjawab sudah. Hari itu, aku bertekad kembali mengunjungi makamnya. Tak ada setangkai mawar. Tak ada. Aku cuma ingin bertemu dengannya, memandangi sorot matanya. Itulah sisa hidup Michael yang tersisa. Pria lumpuh yang kehilangan semangat hidupnya, tetapi dibimbing Yang Kuasa untuk menemukan “jodohnya”. Akulah jodoh pria lumpuh yang tampan itu. Tuhan telah memilihkan aku untuknya melalui mimpi terindah menjelang akhir hayatnya. Tetapi Tuhan telah memanggilnya sebelum aku sempat mengenalnya. Apa sesungguhnya rahasia Tuhan ini?

    Aku berlari bagai kesurupan, ketika aku melihat sosok yang sedang berdiri mematung tepat di depan makam itu. Aku menarik dagunya, dan menatap dalam-dalam sepasang mata itu. Mata yang seharusnya kumiliki sejak bertahun-tahun sebelumnya. Sebelum si pemiliknya rebah selamanya di balik makam itu.

    “Apa yang dikatakannya sebelum dia menyerahkan sepasang mata ini padamu?” tanyaku padanya dengan terbata-bata. Tak kuasa menahan emosi, atas dasar kenyataan yang begitu mengejutkan dan membingungkan aku.

    Dia diam sesaat. Memandangku begitu dalam, seakan mengikat lekat tatapanku. Kemudian dia menghela nafas panjang.”Michael bilang, aku harus mencari perempuan dalam mimpinya itu. Perempuan yang mencintainya setelah dia mati. Perempuan yang dapat kulihat melalui sepasang matanya ini. Dan jika aku bertemu dia nanti, maka aku harus memberikannya ini…”

    Aku melihat setangkai mawar merah itu berdiri lurus digenggamannya, dan kemudian berpindah digenggaman tanganku. Perlahan-lahan air mataku jatuh.

    Aku Menemukan Jodohku
    Pesta pernikahan itu mungkin sederhana. Tetapi merupakan pesta terindah yang terekam dalam kepalaku. Bagaimana tidak? Di usiaku yang tepat kepala tiga, akhirnya aku berhasil menemukan yang namanya jodoh itu. Meski dengan cara yang sangat aneh, janggal dan tidak masuk diakal. Tetapi itulah rahasia Tuhan. Doa-doa yang kukirim di tengah malam buta selama ini ternyata sudah dijawab-NYA. Seorang pria terbaik pilihan- NYA, melamarku bak putri raja. Dan aku tak pernah bisa melupakan kalimat-kalimatnya yang indah.

    “Michael menemukan cintanya dalam mimpi yang tak mampu diwujudkannya sampai mati. Tetapi sebagian dari hidup Michael ada dalam diriku. Tepatnya dikedua bola mataku ini. Dan kau tahu, Kaori? Jika Michael mencintaimu sebelum bertemu denganmu, maka aku mencintaimu ketika pertama kali melihatmu di makam itu. Seorang perempuan aneh yang tertarik dengan orang yang telah mati. Aku tidak menganggapmu gila. Aku justru merasa kau seorang pecinta sejati. Yang tidak pernah mengharapkan pamrih ketika memberikan sebuah hati. Kaori, kaulah perempuan yang kucari. Maukah kau menikah dengan lelaki yang pernah buta ini?”

    Oh, Tuhan. Gila aja kalau aku sampai menolaknya. Dialah laki-laki pertama yang melamarku. Sosok laki-laki yang kuidamkan selama ini. Meski dia bukan cinta pertamaku, ya, karena cintaku yang pertama itu keburu nyasar ke makam Michael. Tetapi aku bahagia akhirnya menemukan pasangan cinta yang sesungguhnya. Aku jadi tidak berpikir lagi bahwa Tuhan telah salah kirim malaikat cinta. Atau sang malaikat cinta itu telah salah mengarahkan panah asmara.

    Jika dulu aku berharap dikirim seorang lelaki dalam hidupku, kini aku malah dapat bonus satu. Michael dan Elang adalah dua lelaki terbaik yang memberikan cerita terindah dalam hidupku. Meskipun aku belum sempat mengenal sosok seorang Michael, tetapi aku dapat memuaskan “kerinduanku” dengan menatap sepasang biji matanya yang kini ada pada Elang. Dan setahun setelah pernikahanku dengan Elang itu, Michael kecil pun lahir. Di kemudian hari, kami sering membawa bocah kecil gendut itu ke makam Michael. Makam malaikat cinta yang telah mempertemukan aku dengan pasangan hidupku dengan cara yang begitu luar biasa. (Mei 2009/Sri Widya)

    Penulis:
    Sri Widya Burlian
    (special to my baby Rudysta Dihyah Al-Kalabi)

    Riwayat Penulis
    Nama Lengkap : Sri Widiya Putri Burlian Aqieb
    Nama Popular : Widya Burlian
    Lahir : Palembang, 24 Agustus 1978
    Anak : Rudysta Dihyah Al-Kalabi
    Alumnus Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang, Jurusan Administrasi Niaga. Sebelum menjadi penulis novel, lebih banyak aktif berkarir di dunia jurnalistik, diantaranya pernah menjadi wartawan di Koran Harian Transparan Palembang, wartawan di Majalah Komoditas Jakarta dan sekarang masih bergabung di MATAPENA SINERGI, perusahaan yang bergerak di bidang media cetak dan elektronik, diantaranya menjadi Konsultan Bulletin Berjangka BAPPEBTI dan pendiri Tabloid Margin dan marginTV.com (pionir media khusus Perdagangan Berjangka).

    Contact Person
    HP : 088210318775
    Office : 021-8860384
    Email : widya_sri@yahoo.com

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post