-
Logo Koperasi Dekopin
Untuk Logo Koperasi Indonesia "Tulisan Dekopin"nya dihilangkan, Ok
-
Lowongan Design Graphis
Tuk para kawula muda yang saya hormati, barang kali ada kawan-kawan yang mau ikut gabung untuk posisi Design Graphis baik freelance maupun tetap hubungi saya via chatbox di blog saya. Sertakan Alamat email dan hasil karya. Diharuskan benar-benar sudah terbiasa mengerjakan majalah dan aneka produk cetakan. Mahir Adobe Photoshop, Coreldraw, Adobe Ilustrator, Adobe Indesign, sedikit mengerti untuk guard virus. Secepatnya...ya, soalnya saya mau resign (mengundurkan diri dengan hormat). Saya harap keberadaan kawan-kawan yang serius tidak membawa efek tidak bagus buat saya. Karena saya ingin yang menggantikan saya standarnya mengerti komputer PC dan MAC. Thank's
-
Koperasi Peternak Bandung Selatan-KPBS Pangalengan
Sepanjang 38 tahun kiprahnya, KPBS Pangalengan telah berhasil memancangkan tonggak-tonggak pencapaian yang mengagumkan. Memiliki IPS, akan dipancangkan menjadi target berikutnya, sebagai pencapaian tertinggi.
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), boleh jadi merupakan contoh konkret dari wujud peran koperasi sebagai sokoguru perekonomian setempat. Koperasi ini memainkan peran yang cukup dominan dalam menggerakkan roda perekonomian di daerah yang menjadi wilayah kerjanya. Selain Kecamatan Pangalengan, wilayah kerja KPBS juga menembus dua kecamatan lain, yaitu Kertasari dan Pacet. Semuanya masih dalam wilayah Kabupaten Bandung.
Penduduk di tiga kecamatan tersebut, memang banyak yang berprofesi sebagai peternak sapi perah. Maklum, sejak jaman kolonial Belanda, wilayah ini dijadikan sebagai basis peternakan sapi perah. Ketika itu, di sana ada empat perusahaan Belanda yang menguasai peternakan sekaligus sebagai prosesing susu, yaitu De Friesche Terp, Almanak, Van Der Els dan Big Man. Untuk pemasarannya, digarap oleh sebuah perusahaan bernama Bandungche Melk Center (BMC).
Kejayaan perusahaan-perusahaan Belanda itu mendadak luruh, ketika era kolonial Belanda berganti dengan pendudukan Jepang. Saat itu, semua sapi-sapinya dibiarkan dipelihara oleh penduduk setempat, sebagai usaha keluarga. Tapi, usaha itu cenderung berjalan apa adanya.
Lantas, para peternak berpikir untuk mengembangkan usahanya, hingga berkelanjutan. Dari sinilah muncul ide untuk membentuk koperasi. Maka, pada November 1949 berdirilah sebuah koperasi yang diberi nama Gappsip (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan).
Dengan berkoperasi, para peternak merasakan manfaat yang sebelumnya tidak diperoleh, karena banyak kegiatan yang bisa dilakukan secara bersama, sehingga lebih efisien. Namun, keadaan ekonomi dan politik nasional yang labil saat itu, kerap mengguncang usaha para peternak, yang sudah tentu berimbas pada Gappsip.
Puncaknya, pada 1961, Gappsip lempar handuk lantaran tak kuasa lagi menahan guncangan. Akibatnya, tataniaga persusuan di Bandung Selatan yang dingin, sebagian besar diambil alih oleh kolektor alias tengkulak. Tentu saja, keadaan ini membikin usaha peternak “menggigil”.
Mereka banyak menelan kerugian, lantaran harus pasrah menerima harga yang ditetapkan si tengkulak. Bahkan, tak sedikit yang harus gigit jari, karena susu yang sudah disetor cuma dibayar dengan janji kosong.
Keadaan yang nyaris mematikan usaha peternakan sapi di Pangalengan dan sekitarnya tersebut, berlangsung hingga 1963. Gappsip pun dibiarkan meregang nyawa. Tapi, bukan berarti para peternak lantas hilang kepercayaannya pada koperasi. Pada 22 Maret 1969, sejumlah tokoh masya¬rakat dan peternak, sepakat untuk membentuk koperasi baru. Namanya, Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS).
Belajar dari pengalaman dengan Gappsip dan sadar akan keterbatasan, kali ini para pengurus KPBS giat mela¬kukan lobi ke berbagai pihat terkait, untuk mendapatkan dukungan. Hasil¬nya, dukungan penuh bukan cuma da¬tang dari Pemerintah Daerah Tingkat II Bandung, Gubernur Jawa Barat, tetapi juga Dirjen Peternakan bahkan lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), UNICEF.
Namun, dukungan tersebut umumnya masih terbatas pada pembinaan di bidang produksi. Sedangkan pemasarannya, masih bergantung pada Industri Pengolah Susu (IPS). Di sini, lagi-lagi persoalan pelik datang meng¬hadang. IPS menetapkan jadwal ketat untuk penerimaan susu, yang hanya berlangsung pada hari kerja. Padahal, yang namanya kegiatan memerah susu sapi, tak mengenal hari libur. Peternak dan sapinya, sudah tentu tidak bekerja seperti orang kantoran.
Setelah menetapkan jadwal yang oleh peternak dirasa ganjil, IPS kemudian malah melansir aturan baru yang bikin pusing. Susu yang diterima masuk pabrik, hanya yang sudah melalui proses pendinginan atawa pasteurisasi. Nah, alat untuk proses itu masih sangat terbatas dimiliki koperasi.
Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, KPBS berusaha untuk mendorong peternak un¬tuk keluar dari zona ketergantungan pada IPS. Caranya, dengan menjual sebagian susu murni ke konsumen secara langsung. Tapi, terobosan mulia ini tidak berjalan mulus. Selain kualitas susu yang tidak stabil, lebih mengenaskan lagi, kerap terjadi praktik curang oleh pengecer untuk menangguk untung sesaat, yaitu mengoplos susu dengan air, atau dengan susu kualitas yang lebih jelek.
Tapi, kali ini, koperasi dan para peternak yang menjadi anggotanya, tidak sudi lagi mengibarkan bendera putih. Dalam rapat anggota yang berlangsung pada 1976, diputuskan untuk memasang target tinggi: Mendirikan milk treatment (MT), semacam pabrik yang memiliki mesin untuk memproses susu. Jika MT sudah berdiri, KPBS bisa menyerap susu peter¬nak kapan saja, tidak perlu bergantung pada jadwal IPS. Tingkat kerusakan susu di tingkat peternak dan koperasi pun, bisa diminimalisir.
Pengurus KPBS pun melakukan berbagai langkah konkret, untuk menggapai target tinggi tersebut. Salah satunya yang paling penting, adalah melakukan pendekatan pada IPS, dalam hal ini PT Ultra Jaya. Dalam proposal yang diajukan disebutkan, PT Ultra Jaya diminta membantu biaya pem¬ba¬ngunan MT, yang pengembaliannya diangsur selama lima tahun.
Setelah melewati perundingan alot, akhirnya proposal tersebut diterima. Lagi pula, dengan adanya MT, pihak Ultra Jaya sendiri diuntungkan, karena bakal menerima pasokan susu yang kualitasnya terjamin. Di samping tidak perlu lagi pusing meladeni komplain peternak soal jadwal penerimaan susu.
Pada 1979, MT yang dibangun bekerja sama dengan Ultra Jaya itu pun, sudah siap dan mulai dioperasikan. Pada 1982, terjadi peralihan manajemen MT dari Ultra Jaya, sehingga 100 persen dikelola oleh KPBS. Bahkan setahun kemudian, pinjaman dari Ultra Jaya sudah bisa dilunasi.
Dengan MT yang sudah dimiliki dan dikelola secara penuh, KPBS dapat mendongkrak tingkat pelayanannya pada anggota. Bahkan, koperasi ini juga dapat membantu menerima susu dari koperasi/KUD susu di Jawa Barat.
Terobosan yang lain dilakukan KPBS, adalah dalam soal pengadaan sapi. Pada 1988, dengan bantuan kredit ringan dari pemerintah, berhasil didatangkan sapi perah dari New Zealand, Australia dan Amerika Serikat. Pinjaman yang berjangka waktu tujuh tahun, bisa dilunasi lebih cepat, lima tahun.
Selanjutnya, pengadaan sapi dari luar negeri, dapat dilakukan secara mandiri. Misalnya, pada 1994, KPBS mampu mendapatkan 2.400 sapi dara bunting dan 1 ekor pejantan unggul.
Aspek pemasaran, juga tak lepas dari sasaran terobosan. Pada 1997, KPBS merintis pemasaran susu langsung ke konsumen, berupa susu hasil pasteurisasi dalam kemasan cup dan bantal. Merek yang digunakan, “KPBS Pangalengan”. Saat ini, produksi susu KPBS Pangalengan rata-rata mencapai 10 ribu liter per hari, yang dihasilkan oleh 18 ribu ekor sapi milik anggota.
Setelah cukup berhasil dengan beberapa terobosannya, pengurus KPBS yang dipimpin Tavip Danu¬widjaja, lantas menancapkan target tertinggi, yaitu memiliki IPS sendiri, seperti yang sudah berhasil dilakukan oleh koperasi sejenis di sejumlah negara, antara lain India. “Mereka bisa, mengapa kita tidak?” ujar Tavip.
Namun, jalan untuk mencapai target itu, memang masih terjal. Tingkat produksi yang dihasilkan, misalnya, masih belum memenuhi skala ekonomi sebuah IPS. Lain halnya jika koperasi-koperasi susu di seluruh Indonesia, mempunyai target yang sama, dan mau bersatu untuk mewujudkannya.
KPBS bukan lagi koperasi yang cuma menghimpun susu sapi dari anggotanya, untuk disetor pada Industri Pengolah Susu (IPS). Koperasi yang masa kejayaan awalnya dihela oleh (alm) Daman Danuwidjaja ini, sekarang telah menjelma menjadi badan usaha yang bergerak dari hulu hingga hilir, dalam pola agribisnis.
Secara garis besar, pola agribisnis KPBS bergerak dalam empat bidang, yaitu pra-budidaya, proses budidaya, pemasaran hasil budidaya, dan penunjang usaha. Kegiatan dalam pra-budidaya meliputi penyediaan bibit, pakan ternak, peralatan dan obat-obatan.
Sedangkan proses budidaya meliputi manajemen koperasi, manajemen beternak sapi perah, penyetoran susu ke Tempat Pelayanan Koperasi (TPK), pelaporan keadaan sapi (sakit, berahi, kelahiran, mutasi, dsb), penampungan susu dan pngolahan susu. Sedangkan untuk pemasarannya, sebagian disetor ke IPS, sebagian lagi dijual langsung ke konsumen. Namun penjualan ke IPS masih dominan.
Adapun usaha penunjang, antara lain meliputi pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan terhadap peternak, pelayanan kesehatan peternak sekaligus ternaknya, asuransi, pelayanan usaha dan kebutuhan anggota, operasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sampai pariwisata. “BPR KPBS pernah tercatat sebagai yang terbaik di Jawa Barat,” cetus Tavip Danuwidjaja, Ketua KPBS.
Kegiatan yang masuk dalam kategori penunjang, memang tidak semuanya dilakukan secara penuh oleh koperasi. Sebagian dikelola lewat kerja sama dengan pihak lain yang berkompeten. Untuk bidang lain yang ditangani secara langsung pun, KPBS berusaha melibatkan pihak lain yang berkompeten, antara lain dihimpun dalam tim konsultan.
Tampaknya, KPBS berusaha untuk menjalankan setiap bidang usahanya, secara profesional.
-
Pusat Koperasi Unit Desa Jabar-Puskud Jabar
Jika memang benar-benar dikelola sesuai kaidah bisnis, usaha koperasi tak akan kalah dengan pelaku usaha lainnya. Walau dalam perjalannya Pusat KUD Jabar tanpa dukungan fasilitas maupun program usaha Pusat KUD, buktinya Pusat KUD Jawa Barat, hingga kini tetap eksis. Padahal kebijakan penyaluran pupuk, penyaluran komoditi Bulog dan tata niaga cengkeh, sudah lama dicabut. Tentunya hal ini menujukkan, betapa koperasi kalau dikelola sengguh-sungguh, tak kalah dengan pelaku usaha lainnya.
Tak sulit untuk membuktikan, eksisnya bisnis Pusat KUD Jabar. Sebagai misal, amati saja tongkrongan kantornya, selain besar juga megah. Penampilan kantor yang berada di jalan Sorkarno Hatta No. 641 Bandung ini, setidaknya bisa memberikan legitimasi akan kebonafitannya. Sekadar diketahui, lokasi kantor ini, juga dikenal dengan nama By Pass, yang merupakan jalan raya terpanjang dan terbesar di kota Bandung, melintang dari barat perbatasan Cimahi hingga ke Cibiru di perbatasan Sumedang.
Boleh jadi, gedung berlantai dua ni adalah juga kantor terbesar yang pernah dimiliki koperasi di kota Bandung. Saking besarnya, tak urung tiga koperasi lainnya juga menompang berkantor di kota Bandung. Saking besarnya, tiga koperasi lainnya tak urung turut menompang berkantor di sana, yaitu Perwakilan Inkopti Jakarta, Puskopwan Jabar dan Koperasi Penjamin Kredit Koperasi.
Masih kurang. Di jalan yang sama, tak jauh dari sana masih ada dua bangunan terpisah lainnya yang dimiliki Pusat KUD Jabar. Satu digunakan sebagai kantor khusus operasional Direktorat Simpan Pinjam, dan lainnya berupa toko Swalayan “Citra Utama”. Itu belum termasuk dua unit toko, yaitu “Citra Fokus dan Citra Salawa serta satu show room yang berada ditempat lainnya. Dengan semua fenomena ini, jelaslah sudah bisnis Pusat KUD Jabar masih berbunga-bunga.
Tanpa bermaksud membanding-bandingkan dengan Pusat KUD lain, boleh jadi Pusat KUD yang satu ini memang memiliki kelebihan tersendiri. Paling tidak kelebihan itu tercermin dari kemampuannya menambah timbunan kekayaannya. Sebab tak rahasia, bhawa tak sedikit diantara Pusat KUD, jangankan bertambah hartanya, mempertahankan asset yang adapun bersusah payah. Jadi tak heran, bila Wahyudi Basuki SH, Sekretaris Induk KUD, menilai Pusat KUD Jabar masih tetap yang terbaik. “Banyak sudah RAT Pusat KUD yang saya hadiri, tapi suasananya di Bandung ini sedikit lain, sejuk serta menggairahkan. Semangat ber-RAT dari KUD-KUD masih tampak begitu bergairah. Dengan gambaran ini, serta ditaqmbah dengan keberhasilan mengelola usaha, saya nilai Pusat KUD Jabar masih yang terbaik” ujar Wahyudi dalam sabutannya pada RAT koperasi ini bulan Juni lalu.
Penilaian yang sama juga diutarakan oleh Remi Tjahari, SE, MPIA, Kepala Dinas Koperasi UKM Jabar. Bahwa, laporan tahun buku 2003, khususnya bidang keuangan Pusat KUD Jabar sangat mantap. Likuiditasnya yaitu perbandingan aktiva lancar kewajiban lancar mencapai nilai 499, atau sangat likuid. Begitu pula solvabilitasnya, yakni perbandingan antara aktiva dengan kewajiban sangat tinggi, angkanya 751 %. “Bayangkan aktivanya 42,8 miliar, sedang kewajibannya cuma Rp. 5,7 miliar. Itu artinya sangat-sangat bisa memenuhi kewajiban” kata Remi Tjahari.
Pusat KUD Jabar dalam perjalanannya yang sudah memasuki usia 30 tahun, memang tidak sekalipun pernah merugi. Setiap tahun selalu mampu menyisihkan SHU. Tahun 2003 misalnya, tercatat Rp. 634 juta dan tahun 2002 Rp. 780,4 juta. Dengan tambahan perolehan SHU ini, maka modal sendiri yang kini dimiliki koperasi ini tak kurang dari Rp. 36,9 miliar. Itu belum termasuk dalam bentuk kekayaan lainnya, berupa tanah, gedung, kenderaan, mesin-mesin senilai Rp. 10 miliar lebih.
Lantas, di mana sesungguhnya kiat sukses koperasi ini? Ternyata, kiatnya berada pada mantapnya pengelolaan manajemennya. Sebagai misal dalam pengelolaan bisnis, tidak dicapur aduk satu dengan lainnya. “Kita pilah-pilah secara otonom dan ditangani secara profesional” ujar Atang Sumpena, Ketua Umum Pusat KUD Jabar.
Diakui Atang Sumpena, solidnya kinerja sesama pengurus maupun dengan Manager serta karyawan, juga tak bisa dipisahkan dari keberhasilan ini. Sebagai misal kata dia, sekecil apapun, problema yang dihadapi senantiasa disikapi dengan bijaksana. Pembagian tugas kerja di koperasi ini, memang sudah ditata sedemikian rupa.
Bicara tentang usaha yang ditangani, sesungguhnya, tidak jauh berbeda dengan yang dulu-dulu, ketika masih zaman kemudahan. Core bisnisnya tetap mengarah pada sektor pertanian dan selalu terkaita dengan kepentingan anggota. Kalaupuan ada yang bertambah misalnya penyaluran semen dan batu bara, itupun tetap terkait dengan kebutuhan sejumlah KUD.
Tapi jangan lupa, lanjut Atang Sumperna. Meskipun ada kemiripan usaha dengan yang dulu, jangan dikira masih berbau program. “Pupuk misalnya, meskipun tetap kita tangani, itu dibeli dari pabrikan sebagaimana layaknya transaksi bisnis murni. Kita memang telah ditunjuk sebagai salah satu Distributor dari pupuk Kujang. Begitu pula dengan sembako, gula serta terigu yang ada di perkulakan, tidak ada hubungannya dengan urusan Bulog, semua didapat di pasar bebas. “Sekarang kan tidak ada lagi yang namanya program-programan” kilah Atang Sumpena, seakan memberikan gambaran, tanpa kemudahan pun, Pusat KUD Jabar tetap mampu berdiri tegak.
Tahun 2003, tak kurang dari 38.259 ton pupuk yang diperdagangkan oleh koperasi ini dengan volume usaha Rp. 50 miliar lebih. Pupuk itu disalurkan kepada KUD anggotanya melalui lima Koordinator Daerah (Korda) yang, masing-masing dipimpin oleh seorang manager.
Ada belasan unit usaha yang ditangani oleh koperasi ini, dan semuannya mampu memberikan kontribusi pada kocek Pusat KUD. Unit usaha itu dibagi dalam empat devisi kegiatan, yaitu devisi simpan pinjam, devisi agri bisnis, devisi perdagangan, dan devisi perkulakan. Devisi agri bisnis (menglola pabrik beras di Karawang dan Indramayu, kemudian jasa angkutan pupuk, angkutan Sub Dolog, angkutan matrial dan angkutan umum), devisi perdagangan (mengelola pemasaran pupuk, semen dan sayur mayur), devisi perkulakan (mengelola swalayan Citra Utama, toko Citra Fokus, toko Citra Salawa, penyaluran sembako dan usaha show room).
Simpan pinjam boleh dikatakan merupakan bisnis andalan dari Pusat KUD Jabar. Bahkan juga menjadi usaha yang paling banyak terkait dalam melayani kebutuhan anggota. Maklum, unit ini sengaja dibentuk, khusus untuk melayani permodalan KUD. “Tidak sepeserpun dari Rp. 8 miliar dana yang dikelola unit ini memnaglir selain ke KUD” kata Amin Ruhendi, Direktur Direktorat Simpan Pinjam.
Pada tahun buku 2003, unit ini mengucurkan dana sekitar Rp. 7 miliar lebih, dan itu diberikan kepada 197 KUD. Kemudian dari perputaran usaha ini, diperoleh SHU Rp. 455,7 juta. Bandingkan dengan SHU keseluruhan, Rp. 634 juta, itu berarti sebagaian besar pendapatan Pusat KUD dipasok unit ini.
Ada yang menarik dari pola penyaluran yang dianut simpan pinjam ini. Transaksinya, berlangsung antara Devisi Simpan Pinjam Pusat KUD dengan Unit Simpan Pinjam KUD. Jadi KUD yang tak memiliki unit simpan pinjam, jangan diharap bisa mendapat kucuran kredit dari Pusat KUD. Sistim ini dimaksudkan, selaian agar penempatan dana cukup jelas, juga sekaligus jadi ajang pembinaan terhadap USP dimasud. Besarnya pinjaman ke masing-masing KUD, tergantung kebutuhan. Tapi berkisar antara Rp. 10 hingga Rp. 100 juta. “Sesungguhnya tahun 2003 kita mentargetkan bisa melayani KUD 268 KUD. Tapi akibat dana yang tak cukup, hanya terkayani 197 KUD.” Aku Amin Ruhendi.
Subscribe to:
Posts (Atom)