Showing posts with label Usaha dan Bisnis. Show all posts
Showing posts with label Usaha dan Bisnis. Show all posts
  • Flex Poin, Rajanya Kebutuhan Kostum Unik Usaha kostum karakter terbilang langka. Karena itu, Wibowo bisa melenggang di bisnis ini, tanpa banyak pesaing. Selain mendatangkan kepuasan tersendiri, bisnis ini juga banyak menghasilkan fulus.

    Perayaan karnaval, identik dengan berbagai kostum menarik dan lucu-lucu, bahkan ada juga kostum yang tidak lazim alias aneh. Karnaval di Indonesia masih jarang dilakukan. Kebanyakan perayaan-perayaan seperti itu dilakukan oleh negara-negara Eropa. Tetapi mulai 2008 kemarin, kota Yogyakarta melakukan karnaval dalam rangka mempromosikan program Visit Indonesia 2008.

    Terlepas dari acara karnaval, kostum-kostum yang dipakai tentu tidak terlepas dari tangan dingin pembuatnya. Adapun pembuat kostum karakter di Indonesia ialah Wibowo. Pria 49 tahun ini sudah memulai usahanya sejak akhir tahun 1979. Bermula dari sanggar tari kepunyaannya yang berlabel Flex Poin, Bowo, panggilan akrabnya, mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan kostum penarinya. “Saya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan kostum-kostum para penari saya, apalagi jika kos­tumnya harus sesuai dengan karakter pementasan,” kata Bowo. Keasyikan dengan usaha pembuat­an
    kostum karakter, membuat sanggar tari pimpinannya sudah tidak berjalan lagi. “Sanggar tari saya sudah tidak beroperasi lagi sejak tujuh tahun lalu mbak,” paparnya.

    Dengan Rp 500 ribu sebagai modal awal, Bowo memberanikan diri untuk menggeluti usaha ini. “Gaji yang saya dapat hanya Rp 500 ribu. Dengan uang segitu tahun 1979 kan sudah sangat banyak, jadi modalnya cukup untuk membangun bisnis ini,” ungkap Bowo ramah.

    Pria yang pernah bekerja pada pabrik tekstil di daerah Pintu Kecil Jakarta Pusat ini, memang terbi­lang nekat dalam menekuni bisnisnya, karena sebelum usahanya besar seperti sekarang, Bowo sempat mendapat kritikan pedas dari keluarganya. “Mana mungkin bisa hidup dari usaha kaya gini,” kenang Bowo. Tetapi dengan ketekunan, keuletan dan disertai dengan usaha yang keras, maka usaha kostum karakter yang juga bernama Flex Poin ini sudah maju pesat.

    Dibantu oleh 12 karyawan, Bowo mampu membuat kostum karakter yang sulit sekalipun. Menurutnya, tidak ada satu pun kostum yang sulit, karena dia bekerja sesuai de­ngan kebisaan dan kesenangan. Jadi apa yang dijalankannya sekarang adalah pekerjaan yang mendatangkan kebahagiaan dan juga mendatangkan rejeki. Proses pembuatan kostumnya dilakukan terpisah, mulai dari pemolaan bahan, penjahitan, pembordiran, dan juga proses pa­yet pada kostum buatannya

    Berbagai Kostum Unik
    Bisnis yang sudah dirintis 27 tahun silam ini, memang khusus menyediakan kostum-kostum yang unik, mulai dari kostum karakter, seperti kostum putri salju, batman, putri duyung, spiderman, sailorman, bahkan kostum-kostum yang dipenuhi oleh bulu-bulu juga tersedia di sini.

    Pemasaran yang dilakukan Bowo hanya dari mulut ke mulut saja, khususnya dari penari sanggarnya ke penari sanggar lain. Tetapi se­iring dengan berjalannya waktu, peminat kostum karakter buatannya semakin membludak. Kini bukan hanya perorangan saja yang datang ke workshopnya di Jalan RS. Fatmawati 15L Blok A, Jakarta Selatan, melainkan perusahaan-perusahaan besar pun datang untuk memesan kostum-kostum yang unik. “Biasanya perusahaan memesan untuk private party, dan biasa­nya mereka memakai tema ma­sing-masing,” papar Bowo. “Kos­tum bu­atan saya juga pernah dipakai dalam iklan Gulaku,” tambahnya, berpromosi.

    Kini, Bowo memiliki ribuan kostum di dalam workshopnya untuk di jual maupun di sewakan. Biasa­nya penyewa satu buah kostum buatannya dikenakan biaya 150 sampai 350 ribu rupiah dan ada juga biaya sewa kostum sampai Rp 500 ribu. “Itu tergantung me­minjamnya lengkap atau engga,” seloroh pria asli Magelang tersebut. Sedangkan untuk lama waktu penyewaannya, tiga hari terhitung mulai dari hari peminjaman, hari pemakaian dan hari pengembalian. Berkisar satu juta sampai dua juta rupiah untuk harga jual satu buah kostum buatannya, memang agak mahal ketimbang harga sewa, tergantung kesulitan dan material kostum yang akan dibuatnya.

    Memesan kostum karakter yang diinginkan juga bisa sesuai de­ngan keinginan konsumen. Mereka memesan kostum berdasarkan gambar, baik gambar yang dibuat sendiri maupun gambar- gambar yang sudah ada. “Tokoh kartun yang paling laris dipesan oleh anak-anak,” kata Bowo tersenyum.

    Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan kostum-kostum yang unik untuk private party dan semacamnya, bisnis yang digeluti Bowo semakin maju. Omset yang didapat Bowo pun tidak sedikit. Rp 2,5 juta bisa diraupnya dalam waktu sehari saja. Bowo mengaku, tidak ada kendala yang berarti yang dia hadapi selama menekuni usaha kostum karakter ini.

    Kiat usaha sukses menurut pria yang pernah kuliah di Universitas Atmajaya ini, harus tekun dalam menjalankan suatu usaha, jangan takut untuk mencoba. Tetapi jangan sering-sering mencoba juga. “Tuhan sudah memberikan rejekinya masing-masing. Jadi jangan takut, pasti jika kita berusaha, rejeki akan datang pada kita,” ungkapnya bijak.

    Harapan Bowo ke depan untuk usaha kostum karakternya, tidak muluk-muluk. Dia hanya menginginkan usahanya tetap eksis, walaupun krisis global mengancam pada tahun 2009, Bowo merasa hal tersebut adalah sebagai tantang­an untuknya dalam menjalankan usaha agar lebih maju lagi, dan dia juga mengharapkan usaha­nya tetap berjalan mulus dan tidak ada suatu hambatan apapun.

    more
  • Sroto Banyumas Ada saja jalan yang bisa membuat seseorang menghasilkan keuntungan berlipat. Contohnya, Suripto Wahyudi, yang menjalankan bisnis kuliner Sroto Banyumas sejak 2003, disamping usaha lainnya.

    Mendengar nama sroto, rasa-rasanya kok aneh dan tidak lazim untuk diucapkan. Padahal sroto sama dengan nama-nama makanan sejenis lainnya, seperti soto dan coto. Jika soto terkenal di kalangan umum, lain lagi dengan coto yang terkenal di kota Makasar, sedangkan sroto adalah makanan jagoan yang berasal dari Banyumas.

    Tempat makan khas suatu daerah bukan hanya menjadi pelepas kerinduan terhadap daerah asalnya, tetapi juga sebagai tempat bertemunya para perantau. Hal inilah yang lalu dilakukan oleh Suripto Wahyudi sebagai owner dari restoran yang bernama Sroto Banyumas. Keinginan yang kuat untuk melestarikan makanan khas Banyumas diwujudkannya dengan mendirikan bisnis restoran sroto Banyumas. Suripto memang menginginkan makanan khas dari daerahnya mudah ditemui oleh orang-orang pecinta sroto Banyumas, baik dari Banyumas itu sendiri maupun dari daerah-daerah lain.

    Ketika Sroto Banyumas baru berdiri, bertempat di daerah Jagakarsa, Lenteng Agung, karena tempat yang kurang strategis dan bisnis srotonya mulai mengalami krisis, maka Suripto memutuskan untuk pindah ke Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, selain cukup strategis, juga letaknya yang berdekatan dengan sejumlah kampus di sekitarnya, sehingga memudahkan mahasiswa yang memang hobi “berburu” makanan, mendapatkan menu yang menarik dengan harga yang se­suai dengan budget anak kuliahan.

    Nama sroto yang diambil oleh Suripto, agar berbeda dari soto. “Saya ingin menampilkan soto menjadi sroto, padahal untuk rasa sama, tetapi yang membedakan sroto kita dari soto adalah sambelnya yang terbuat dari kacang,” ungkap Suripto.

    Bapak dua orang anak ini memulai bisnisnya hanya dengan bermodalkan uang berkisar Rp 100 juta, dengan dana tersebut disertai dengan niat yang kuat, Suripto mampu mendirikan bisnisnya dengan mulai membeli perlengkapan peralatan yang memang diperlukan untuk menjalani usaha sroto Banyumas. “Kurang lebih modal awal saya sekitar Rp 100 juta, dan saya niat sekali untuk menjalankan bisnis ini,” paparnya.

    Dibantu oleh 10 karyawan, Suripto bisa menjalankan bisnisnya dengan tenang karena untuk menjaga keaslian resep dari menu andalan di restorannya, dia mempekerjakan koki yang sudah berpengalaman dalam membuat sroto Banyumas. “Jadi, mbak maupun orang-orang yang datang kesini enggak perlu khawatir, karena sroto buat­an kami resepnya memang asli dan dijamin enak,” tuturnya ramah.

    Mempunyai bisnis restoran yang cukup terkenal, tidak membuat Bapak 38 tahun ini berhenti menjajal bisnis lain, selain memiliki usaha sroto Banyumas, ternyata Suripto juga mempunyai laboratorium bahasa untuk sekolah yang berlabel Educio. Bahkan Educio duluan berdiri ketimbang sroto Banyumas. “Sebenarnya, bisnis saya yang paling utama adalah laboratorium ba­hasa, tetapi karena keinginan saya memperkenalkan serta melestarikan makanan khas dari daerah saya, yang membuat saya membuka bisnis sam­pingan,” jelasnya kepada PIP.

    Perpaduan Unik
    Bisnis sampingan yang dijalankan oleh Suripto tidak hanya menekankan pada keunikan dari namanya, melain­kan keunikan keseluruhan packaging dari restoran sroto Banyumas. Hal ini dibuktikan dengan adanya perpaduan yang memang sangat bertabrakan, maksudnya bertabrakan disini adalah menunya yang mencampuradukan antara menu tradisional dan internasional.

    Contohnya, selain menu sroto Banyumas, tempe mendoan dan me­nu-menu tradisional lainnya, ter­nyata ada juga menu internasional seperti spaghetti, steak, dan lain-lain. Usut punya usut ternyata sang pemilik memang menginginkan hal-hal yang tidak kepikiran oleh orang lain, dan ingin menjadikannya sesuatu yang menjual.

    Pelanggan yang datang ke restoran ini berasa dari sejumlah daerah, dan biasanya memang berasal dari Banyumas. Ketika ditemui Ibu Sujono, salah satu pelanggan sroto Banyumas, sengaja datang ke restoran ini hanya untuk mencoba makanan khas daerahnya. “Kan jarang ada restoran sroto Banyumas, jadi saya mampir dan ternyata rasanya tidak mengecewakan,” paparnya.

    Bisnis yang dijalankan pria lulusan ITS Surabaya ini memang belum membuka cabang, alasannya karena bisnis ini hanya usaha sampingan saja. “Karena saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang lainnya, jadi saya belum ada niat membuka cabang, dan bisnis sroto ini juga hanya bisnis sampingan, tetapi bisnis sampingan yang me­nguntungkan,” tutur Suripto.

    Wisata kuliner memang sedang menjadi tren sekarang. Hal itu dimanfaatkan oleh Suripto untuk memperbaharui menu-menu yang dijual di restorannya, dan karena hal tersebut pula banyak pengunjung yang tertarik untuk mencoba menu-menu baru apa yang tersedia di sroto Banyumas.

    Keuntungan ganda juga didapat oleh Suripto, antara lain semakin dikenalnya Sroto Banyumas, dan semakin banyaknya profit yang didapat. Jika sedang ramai omset per bulan mencapai Rp 35-40 juta.

    Suripto mengaku, walaupun keuntungan yang diraupnya terbilang sangat cepat dan mudah, namun hal tersebut tidak bisa menutupi kendala-kendala yang dihadapinya selama menjalankan usaha ini. Mulai dari kendala tempat yang memang sudah cukup strategis untuk menjalankan usahanya, tetapi dari posisi restoran yang letaknya menjorok ke dalam yang membuat banyak pelanggannya kelewatan jika ingin singgah ke restorannya. “Pelanggan kita kan kebanyakan yang membawa kendaraan sendiri, jadi susah jika sudah kelewatan dan lagipula tempat untuk memutar kendaraan sangat jauh,” selorohnya. Kendala lain yang dihadapi Suripto, yaitu kurangnya sumber daya manusia (SDM) untuk menjalani usahanya.

    Jika ditanya tentang koperasi, pria yang juga bekerja di PT Astalia Milenia Educatindo, mengungkapkan, sebenarnya dia sangat familiar dengan koperasi, sebut saja, Suripto tahu tentang perkataan Bung Hatta yaitu Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian. “Saya tahu sedikit tentang koperasi karena dulu pas saya SMP pernah diajarkan tentang koperasi,” katanya. Tapi, dia kini ingin mengetahui bagaimana cara mendirikan koperasi.

    Harapan ke depan, Suripto ingin memperbaiki dan menaikkan kualitas dari sroto buatannya supaya usaha sroto Banyumas yang dikelolanya makin maju dan usahanya untuk melestarikan makanan khas Banyumas tidak sia-sia.

    more
  • Kerajinan Genderang Bisnis Alat Marching Band Usaha pembuatan alat-alat marching band saat ini masih belum marak. Jeli melihat pangsa pasar, dan meraih hasil manis, itulah yang kini dirasakan Joko Purnomo melalui usaha berbendera Wasito Putera.

    Marching band identik dengan perayaan-perayaan resmi, seperti hari kemerdekaan nasional, dan hari-hari penting lainnya. Konon, marching band lahir pasca Perang Dunia II.

    Kini Marching Band kian berkembang dan menjadi kegiatan yang digandrungi anak-anak muda, serta tidak terbatas pada kegiatan parade saja. Marching band sudah merupakan sejenis hiburan atau acara musik yang kaya warna, baik musikal maupun visual. Marching band tidak terbatas pula memainkan lagu-lagu mars, tapi sudah merambah aneka lagu berirama pop, jazz, atau klasik.

    Seolah berpacu dengan maraknya kegiatan marching band, bisnis berhubungan dengan peralatan marching band yang ditekuni Joko Purnomo tidak kalah pula maraknya. Usaha peng­rajin dan distributor perlengkap­an musik, drum band, dan marching band ini sudah berlangsung sejak 1960. Usaha ini didirikan oleh keluarga Joko. “Awalnya saya hanya bekerja menjadi sales untuk membantu orang tua,” paparnya kepada PIP baru-baru ini.
    Setelah mengabdi selama 10 tahun, akhirnya Joko memutuskan untuk mandiri dengan membuat usaha yang sama seperti orang tuanya. “Tadinya saya enggak diizinkan oleh orangtua,” kata Joko. Namun, dengan modal nekat dan semangat, akhirnya dia diizinkan oleh orangtua dan jadilah Wasito Putera generasi dua berdiri. “Pokoknya babat alas,” ujar Joko de­ngan logat Jawa yang kental.

    Asal muasal usaha marching band ini, yaitu ketika pihak Keraton Yogyakarta menyervis alat tiup sangsakala kepada orang tua Joko Purnomo. Se­telah sangsakala tersebut berfungsi, kembali orangtuanya mendapat order serupa dari orang lain, termasuk mereparasi alat musik tambur.

    Dari sanalah kemudian ide membuat usaha peralatan marching band tercipta. Dengan berbekal keahlian membetulkan alat-alat musik, Prapto Joyo Wasito, selaku generasi pertama dari Wasito Putera, memberanikan diri dengan terlebih dahulu membuat alat musik drum band, setelah itu berkembang dengan membuat alat-alat musik marching band.
    Dengan berbekal modal melanjutkan dari orangtua, Joko meneruskan usaha pembuatan alat-alat marching band pada 1993. “Saya sudah mandiri sekitar tahun 70-an,” kata Joko.

    Joko menjadikan rumahnya di Jalan Pangeran Wirosobo UH VI/651 Yogyakarta sekaligus sebagai bengkel kerja (workshop) untuk pembuatan alat-alat marching band. Dibantu sebanyak 10 karyawan, Joko setiap hari mampu membuat alat-alat marching band satu atau dua unit. Selain membuat alat musik drum band, dia juga membuat berbagai kostum marching band. Semua karyawan mempunyai tugas sesuai dengan bidang masing-masing. “Kesepuluh karyawan sudah bisa me­ngerjakan semua tugas, saling melengkapi, dan semua harus bisa,” ujar bapak dengan dua orang anak ini. Namun, ketika pesanan membludak, Joko merekrut sejumlah pekerja kontrak di Wasito Putera.

    Tak Kalah dari Impor
    Urutan pembuatan drum band pun tidak terlalu rumit. Pertama yang harus dilakukan adalah body drum dilapisi dengan kayu lapis pilihan, digulung lalu dilapisi satu persatu secara berulang-ulang, sehingga menghasilkan body drum yang kuat. Setelah itu di press menggunakan ring besi, diberi warna, diberi ring yang telah jadi, diberi drumhead dari luar negeri, lalu stem dan finishing.

    Tentang drumhead buatan luar negeri, Joko menjelaskan, drumhead impor kualitasnya bagus dan tidak cepat rusak. “Saya bisa membuat drum band dengan drumhead buatan lokal, tapi kualitasnya kurang bagus dan cepat rusak, jadi terserah pelanggan saja,” katanya ramah.

    Walaupun drumhead dari luar negeri berkualitas, tapi kualitas alat marching band buatan Joko juga tidak kalah, dan tetap diutamakan. Tidak heran, produksi Wasito Putera telah melanglang dari Sabang sampai Merauke alias merambah pasar nasional. “Untuk pemasaran produk, saya biasanya bekerja sama dengan pelatih-pelatih marching band,” ungkapnya.

    Harga yang dipatok pun tidak terlalu mahal. Misalnya, satu unit drum band untuk tingkat taman kanak-kanak (TK) dihargai sekitar Rp 4 juta-Rp 6,5 juta, untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) Rp 7,5 juta sampai Rp 15 juta, dan untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Harga yang disebutkan tadi hanya patokan standar dari harga yang Joko berikan, tetapi harga dari 1 unit drum band juga tergantung dari keinginan pemesan juga, jadi Joko hanya meng­ikuti saja. “Kalau bahasanya sekarang jemput bola, yang penting gol dan bisa melayani dari segi harga dan terutama kualitas,” tuturnya.

    Seiring dengan kebutuhan akan alat-alat marching band untuk perayaan-perayaan hari-hari besar, maka pesanan untuk Wasito Putera pun semakin membludak. Omset yang didapat juga lumayan. Untuk omset pada bulan-bulan bagus seperti Juni, Juli dan Agustus, Joko beserta kar­yawannya membuat 10 unit drum band dan bisa meraup untung Rp 100 juta per bulan, tetapi pada hari biasa Joko mendapat omset sebesar Rp 20 juta per bulan “Biasanya bulan yang banyak pesanan itu bulan Juni, Juli dan Agustus, karena akan dipakai pada hari kemerdekaan,” papar Joko.

    Kiat usaha sukses menurut pria kelahiran tahun 1975 ini adalah, carilah harta sebanyak-banyaknya untuk ber­ibadah, untuk tujuan di akhirat bukan di dunia. Jika ditanya kendala, menurut Joko semua usaha pasti ada kendala, salah satunya adalah persaingan dari harga. Semua pengrajin alat-alat marching band di Yogyakarta, sekarang sedang berlomba menurunkan harga jual, tetapi tidak dengan Wasito Putera. “Harga jual alat drum band kita tidak diturunkan, tetapi kualitas kita tingkatkan,” kata Joko. Selain kualitas, pelayanan juga ditingkatkan dari waktu ke waktu.

    Ke depan Joko berharap bisnisnya membuat alat-alat marching band bertambah luas dengan membuka toko alat-alat musik. Hal itu turut membuka lapangan kerja, sekaligus beribadah. Semoga.

    more
  • Kerajinan Lampion Benang Pendekor Ruangan Kreatifitas yang tidak terbatas mampu membuat suatu hal yang mustahil menjadi mungkin. Apakah Anda tahu benang bisa dibuat menjadi lampu cantik? Penasaran? Yuk, kita intip cara pembuatannya.

    Usaha pembuatan berbagai ma­cam produk kerajinan tangan mulai dirintis oleh Nina Yulianti sejak tahun 2005 silam. Bermula dari ketidakpuasan atas tudung saji miliknya, maka perempuan mungil yang akrab disapa Nina itu secara spontan mengubah tudung saji yang tadinya sudah rusak itu menjadi layak digunakan.

    “Tadinya hanya iseng lho mbak. Agar kembali layak pakai, tudung itu akhirnya saya preteli dan dibuat semenarik mungkin dengan bahan seadanya. Eh yang terjadi tudung be­rubah menjadi cantik dan bisa digunakan,” kata Nina kepada PIP di kediamannya, Komplek Perumahan Sarana Indah Permai, Ciputat, Tange­rang Selatan, pertengahan April lalu.

    Lama kelamaan beberapa teman yang datang kerumah Nina langsung jatuh hati melihat tudung saji buatannya. Dari sanalah, Nina lalu memberanikan diri memproduksi tudung saji lebih banyak lagi.

    Dari beberapa order yang datang belum bisa membuat nyali ibu dengan satu orang puteri ini berani mendirikan usaha kerajinan tangan. “Bermula dari sa­ya menitipkan barang di bazar salah satu mal di Jakarta. Setelah itu saya memberanikan diri menerima pe­sanan yang lebih ba­nyak,” ujarnya.

    Kendati usaha yang berlabel Zahra Kemilau Handycraft itu berjalan, Nina tetap tidak puas dengan kerajin­an produksinya. Pasalnya, ke­rajinan tudung saji menjadi lebih terkenal dan banyak yang meniru. Merasa mendapat tantangan dari PT Krakatau Steel yang menjadi mitra pembina, maka Nina serius untuk mengembangkan usaha yang telah berjalan selama 5 tahun itu ke arah yang lebih maju.

    Nina pun bersama suami lalu mendapat ide untuk membuat lam­pion. Sebenarnya usaha pembuatan lampion sudah menjamur di mana-mana, tetapi karena sifatnya yang pantang menyerah, Nina menginginkan lampion buatannya lain dari yang lain. “Saya bersama suami terus memikirkan bahan dan cara pembuatan lampion buatan kami,” tutur Nina.
    Pasangan suami-istri ini memang ulet dalam memikirkan ide-ide baru untuk mengembangkan usahanya. Terbukti, usaha mereka pun tidak sia-sia. Benang yang umumnya untuk menjahit baju atau dirajut menjadi kain, ternyata mampu dikreasikan menjadi sebuah lampu lampion yang cantik dan serba guna.

    Tanpa Cetakan
    Pembuatan lampion-lampion nan cantik buatan Zahra Kemilau Handycraft ternyata tidak menggunakan cetakan, melainkan balon tiup. Di tangan Nina, balon tiup yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain atau mendekorasi ruangan pada acara tertentu, menjadi cetakan yang sangat berguna untuk pembuatan lampion. “Caranya, balon ditiup, dan besar-kecilnya sesuai dengan yang kita inginkan. Setelah itu balon diolesi lem dan dililiti benang-benang,” ujar Nina, membuka rahasia produksinya.

    Semula, Nina dan suaminya me­ngaku bingung dalam membuat lampion. “Tadinya kita memakai bola plastik, tapi setelah kering dan jadi, saya bingung bagaimana cara mengeluarkannya, Namun, dengan niat dan usaha yang kuat akhirnya kami menemukan suatu cara,” tambahnya.

    Berkat kreativitas dan usaha dalam produksi lampion dari benang tersebut, Nina dengan benderanya Zahra Kemilau Handycraft berhasil memperoleh penghargaan PKBL BUMN Award 2009 untuk nominasi Mitra Teladan. “Alhamdulillah, saya senang sekali dan ingin membuat kerajinan tangan yang lebih unik,” kata Nina, bangga.

    Berbagai pameran pun telah dia ikuti demi kemajuan dan sebagai ajang promosi kerajinan tangan khas buatan Indonesia, antara lain pada Maret 2009 Zahra Kemilau Handycraft mengikuti pameran pro­duk kerajinan yang digelar Dewan Kerajinan Na­sional (Dekranas), Gelar PKBL, dan yang terbaru pameran Inacraft di Jakarta Convention Centre, akhir April lalu.

    Modal Tidak Besar
    Menurut Nina, modal awal yang diperlukan untuk usaha awalnya, kerajinan tudung saji, tidak begitu me­nguras kantong. Anak ketiga dari empat bersaudara ini mengaku hanya menyiapkan modal Rp 500 ribu. Uang ini dipakai untuk modal membuat kerangka tudung saji yang terbuat dari besi dan membutuhkan keahlian tersendiri. Maka itu ia menyewa tukang las untuk membuat kerangkanya. Sedangkan sisi modal digunakan untuk membeli bahan-bahan sebagai penutup tudung saji.

    Tudung saji buatan wanita kela­hiran Jakarta ini sangat alami, karena menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Misalnya, untuk hiasan, digunakan bunga-bunga kering dan biji-bijian, juga menggunakan kertas daur ulang yang sudah dilinting-linting.

    Sementara itu, harga produk tudung saji produksi Nina cukup beragam. Untuk sebuah tudung saji cantik, harganya relatif murah. Sedangkan harga lampion gantung dipatok mulai Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu per buah. “Itu untuk harga eceran. Jika belinya banyak, saya bisa memberi harga lebih murah,” paparnya.

    Tetapi untuk lampion duduk, harga yang ditawarkan sedikit lebih tinggi ketimbang lampion gantung, karena memakai alas duduk yang terbuat dari kayu. Harga produk ini mulai Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu per buah.

    Dengan bantuan empat tenaga ahli dan beberapa karyawan honorer, usaha Nina mampu memproduksi satu buah lampion gantung dalam tempo 15 menit. Benang yang dipakai pun beragam jumlahnya, biasanya untuk sebuah lampion kecil dibu­tuhkan 20 gulung benang ber­ukuran kecil.

    Saat ini usaha kerajinan yang dijalankan Nina bersama suaminya itu mampu membukukan omset berkisar Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per bulan. Namun, omset dipastikan meningkat jika ada order besar untuk event tertentu, sehingga keuntungan pun turut membengkak.

    Sejauh ini terbersit keinginan Nina untuk dapat mengekspor barang-ba­rang kerajinan hasil produksinya. Ha­nya saja, ia masih menghadapi se­jumlah kendala yang umumnya diha­dapi industri kerajinan berskala kecil. “Selain kendala pemasaran, yang paling umum bagi usaha saya adalah ken­dala cuaca. Jika musim hujan, saya tidak bisa membuat banyak lampion karena mengeringkannya susah,” ujar Nina.

    Perempuan 33 tahun ini mengaku tidak memiliki kiat-kiat khusus dalam menjalankan usahanya. Melainkan prin­sip usaha yang terbilang simpel, yakni jangan malu dan takut gagal untuk mencoba suatu usaha, juga jangan menyerah sampai niat untuk membuat sebuah kerajinan tangan terwujud.

    Tentang harapan ke depan, Nina me­­nyebut sebuah keinginan yang umumnya dikehendaki oleh pengusaha produk kerajinan, yakni agar usaha lebih maju dan dikenal masyarakat luas. Hanya bedanya, ia senantiasa berharap dapat menemukan pembeli yang T, O, P, B, G, T alias top banget. (Chindya CM)

    more
  • Bisnis Sekolah Sulap Magic Mania Ini bukan sulap tapi sungguhan. Menjalankan usaha sekolah sulap, ternyata cukup menjanjikan keuntungan. Bahkan, di tangan Abdul Muhaimin Yusrie, bisnis sekolah sulap menjadi mudah dan lebih menyenangkan ketimbang bisnis-bisnis lain.

    Dedy Corbuzier, Damian atau yang terbaru, Joe Sandy dan Linbad. Itulah nama-nama pesulap popular saat ini. Profesi yang kerap dianggap menggunakan ilmu sihir atau magic oleh sebagian masyarakat itu kini semakin diminati. Ternyata, mempelajari sulap itu mudah, asal ada keinginan kuat. Nah, belajar sulap itu mudah, begi­tulah semboyan Sekolah Sulap Magic Ma­nia pimpinan Abdul Muhaimin Yusrie.

    Ditemui di sekolah sulapnya di lantai 3 Mall WTC Matahari Serpong, Tangerang, pria yang akrab disapa Imin ini mengaku, berbagai kalangan datang ke sekolahnya untuk mempelajari teknik sulap. “Yang datang beragam usia, mulai anak umur delapan tahun sampai 80 ta­hunan,” katanya kepada PIP pertengah­an Mei lalu.

    Maraknya acara sulap di televisi nasional membuat peminat sulap semakin tinggi. “Dulu boro-boro bisa belajar di sekolah khusus sulap, acara sulap di televisi pun jarang, pesulapnya juga bisa dihitung pakai jari,” ujar Imin.
    Imin sudah mempelajari teknik-teknik seni sulap sejak kecil. Kini pria yang menyebut dirinya Magic Entertainer mempunyai 70 murid dengan 3 pengajar ahli dan komunitas sulap lebih dari 100 anggota.

    Mengusung nama Magic Mania, Imin memulai usaha sekolah sulap sejak 2007. Sebelum sekolah ini berdiri pada 2006, dia hanya mempunyai sebuah toko kecil khusus menjual alat-alat sulap saja. Seiring minat sulap semakin banyak, Imin memutuskan membuka sekolah sulap. “Dulu enggak ada niat untuk membuka sekolah sulap, karena repot masalah trik sulap yang sedikit dan grafik untuk sebuah sekolah kan harus naik dan tidak boleh turun,” papar Imin. Tetapi, setelah didukung oleh banyak pihak, jadilah ia mendirikan Sekolah Sulap.

    Modal untuk memulai usaha sulap tidak besar, hanya sekitar Rp 200 ribu, yang dipakai untuk membeli peralatan sulap. “Awalnya saya hanya beli beberapa boks kartu, lalu dimodifikasi untuk bermacam trik. Jika ada yang tertarik ingin mempelajari, saya ajarkan dan dikenai biaya per trik pula,” paparnya.

    Untuk menjaring minat, Sekolah Sulap Magic Mania awalnya promosi ke sesama pesulap, dan mengikuti ajang-ajang sulap. Sekarang sekolah milik sarjana tamatan UI ini sudah diakui masyarakat, selain sering mendapatkan award dari kompetisi sulap, juga Magic Mania mempunyai koneksi langsung dengan majalah Magic di Las Vegas dan menjadi salah satu distributor majalah Magic di Indonesia plus bagian dari International Brotherhood Magician.

    Menurut Imin, masyarakat sekarang sudah menyukai sulap. Tetapi akhir-akhir ini ada sulap yang mengangkat tentang hal-hal klenik atau mistik, sehingga banyak yang menyangka sulap sejalan de­ngan paranormal atau dukun. Akibatnya, banyak orang tua yang tidak mengijinkan anaknya mempelajari sulap. “Sebenarnya pesulap atau paranormal, menggunakan trik yang sama cuma bedanya kami menggunakan media yang berbeda,” tuturnya.

    Tak Sekadar Belajar Sulap
    Berdirinya Magic Mania mempu­nyai misi khusus yang patut ditiru, selain sekolah untuk belajar seni sulap, juga sebagai pembelajaran tentang agama dan akhlak. Mereka juga belajar menghargai sesama karena , diberi wawasan mengenai agama yang mereka anut.
    Bukan itu saja, Magic Mania selalu mengadakan pertemuan setiap tiga bulan sekali untuk mempererat tali silaturahmi antara alumni dan yang baru masuk juga sebagai ajang pertukaran trik-trik sulap baru antar pesulap.

    Niat mulia Imin yang mempunyai stage name Imin D’Masalles tidak ber­akhir sampai disitu, dia menginginkan sekolah sulap binaannya menjadi ajang amal bagi anak-anak Indonesia yang putus sekolah dan ingin melanjutkan sekolah diberikan beasiswa.
    Namun, papar pria kelahiran Makassar ini memberikan beberapa persyaratan kepada yang menginginkan beasiswa dari sekolah sulapnya.

    Untuk biaya tidak terlalu menguras kantong, cukup Rp 350 ribu per bulan, Anda bisa belajar sulap di Magic Mania. Kurikulumnya lengkap sehingga sekolah sulap Magic Mania beda dari sekolah sulap lainnya. “Kami mempunyai kurikulum yang khusus kami buat sendiri, jadi pembelajarannya jelas,” kata pria yang mahir bahasa Belanda ini.
    Bagi yang tidak tertarik bersekolah di Magic Mania, juga bisa mempelajari sulap hanya dengan hitungan menit saja, tergantung dari teknik sulap apa yang ingin di pelajari. Range harga yang ditawarkan untuk belajar sulap instan mulai Rp 10-100 ribu per trik sulap. Makin susah teknik yang ingin di pelajari, makin mahal harganya. Tetapi, harga yang ditawarkan sepadan dengan ilmu sulap yang akan didapatkan.

    Tentang omset yang diraih, Imin menjelaskan, usaha yang dibangunnya ini pada dasarnya untuk charity. Imin yang ditemani sang istri sebagai manajer Magic Mania mempunyai hitung-hitungan yang berbeda dari usaha lain, karena menurut mereka, di dalam rezeki Magic Mania ada sebagian rezeki dari anak-anak yatim piatu yang harus disisihkan. “Kami berusaha menghilangkan kegiatan menghitung omset, agar sebagian omset yang akan kami sisihkan untuk yatim piatu tidak tercampur aduk,” tukas Imin, serius.

    Membludaknya tawaran show kepada Imin D’Masalles dan Magic Mania tidak membuat pria lulusan S2 Universitas Attahiriyah Jakarta ini besar kepala. Dia tetap rendah hati menyikapi hal tersebut. Baginya sukses yang diraih sudah di atur oleh Tuhan YME. “Kunci sukses hanya satu, kita harus punya tujuan yang jelas dan berapa lama target yang harus kita ambil,” kata Imin.

    Harapannya, agar usaha yang dirintisnya itu bisa lebih dikenal banyak orang dan lebih memasyarakat lagi. Jika usaha saya bisa lebih maju, otomatis Magic Mania bisa memberikan lebih kepada orang yang membutuhkan.

    more
  • Usaha Kerajinan Gerabah Bantul-Yogyakarta Gerabah memang sudah tidak populer lagi. Namun, bukan berarti produk warisan budaya ini sepi peminat. Bahkan, berkat kreativitas Walijoko, bisnis gerabah berbahan glassir tetap berprospek cerah.

    Digerus modernisasi zaman, tidak lantas membuat karya kerajinan tradisional seperti gerabah sirna begitu saja dari bumi Nusantara. Bahkan, gejolak modernisasi kian melecut tantangan banyak perajin gerabah untuk mengembangkan karya warisan budaya bangsa ini.

    Berkat kegigihan dan kreativitas para perajin, maka produk kerajinan tradisional seperti gerabah mampu tampil elegan dan menjadi incaran konsumen sebagai barang koleksi yang bernilai seni tinggi.

    Kerajinan gerabah selama ini di­kenal berbahan dasar terakota atau campuran tanah merah dan tanah liat. Namun, Walijoko, seorang perajin gerabah di Bantul, Yogyakarta, berha­sil memodifikasi gerabahnya dengan menggunakan tanah putih atau biasa disebut glassir.

    Berawal tahun 1995, dengan modal awal sekitar Rp 600 ribu hasil pinjaman dari sebuah koperasi, Walijoko melanjutkan usaha gerabah warisan orangtuanya, dengan mengubahnya menjadi usaha keramik glassir.

    Sebagai pemilik Sanggar Loro Blonyo, Walijoko memutuskan untuk membuat gerabah dari tanah putih. “Ini namanya keramik, dulu kita memproduksi gerabah dari terakota, tetapi karena udah enggak laku, jadi kita modif pakai glassir,” kata Walijoko. Dia mengaku, dengan memakai bahan dasar glassir, prospek bisnis pun bisa semakin terlihat kemajuannya, karena yang dicari pembeli sekarang memang barang kerajinan modern.

    Semula, Sanggar Loro Blonyo ha­nya membuat barang kerajinan gerabah sebatas pada pembuatan perlengkapan dapur, seperti tungku, kwali, gentong, layah dan alat-alat rumah tangga lainnya, tetapi seiring berjalannya waktu, Walijoko melahirkan ide kreatif membuat gerabah keramik. “Kami ingin konsumen puas, maka itu kami menyesuaikan keramik buatan Sanggar Loro Blonyo agar tidak ketinggalan zaman,” ujar pria kelahiran Yogyakarta ini.

    Tentang pemasaran, Walijoko me­ngaku pemasaran hanya dilakukan lewat gerainya yang berada di Kasongan RT 06 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, selain lewat pameran-pameran yang berlangsung setiap tahun, seperti Inacraft yang biasanya diadakan di Jakarta Convention Centre (JCC).

    Dibantu 30 karyawan, Walijoko mampu membuat berbagai macam keramik. Dari keramik yang mudah pembuatannya sampai keramik yang sangat sulit. Konsumen juga bisa memesan bentuk keramik sesuai dengan keinginannya. “Biasanya yang memesan keramik aneh-aneh, ada yang mudah dan ada yang susah. Keramik yang detailnya harus benar-benar sama seperti pesanan adalah keramik yang kesulitannya cukup tinggi,” papar Walijoko kepada PIP baru-baru ini.

    Namun, Walijoko tidak menyerah begitu saja. Dengan sikapnya yang gigih, dia selalu bisa menyelesaikan permintaan pelanggannya dengan hasil yang memuaskan. Contohnya, patung setinggi dua meter yang dipesan Hotel Sheraton Yogyakarta. “Itu adalah patung yang paling tinggi yang pernah saya buat” kata dia mengenang.

    Proses Produksi
    Beraneka macam keramik buat­an Sanggar Loro Blonyo, diproduksi dengan proses yang relatif sederhana, mulai dari cetak padat, pembuatan patungnya dan finishing dengan pembakaran, pengeringan, dan terakhir pewarnaan. Semula keramik Sanggar Loro Blonyo adalah handmade alias buatan tangan, yang dicetak hanya body atau badan dari patung itu sen­diri, tetapi jika detail-detail patung seperti tangan, mata, rambut, bibir dan lain-lain adalah murni buatan ta­ngan dari perajin Sanggar Loro Blonyo.

    Tentang harga tidak kalah bersaing dengan toko-toko gerabah lainnya yang ada di sentra gerabah Kasongan, Bantul. Walijoko menawarkan harga cukup relatif tergantung ukuran dan kesulitan dari pembuatan keramik itu sendiri. Keramik termurah seharga Rp 25 ribu dan paling mahal Rp 65 juta per buah. “Kami tidak mematok harga, itu semua tergantung dari kesulitan dan ukuran keramik,” seloroh bapak dengan dua anak ini.

    Akibat ketatnya persaingan, menjadikan omset usaha Walijoko tidak menentu. Dia mengaku omset dari berjualan keramik naik turun. Apa­lagi jika dikaitkan dengan peristiwa gempa bumi di kawasan Yogyakarta tahun 2006 silam. Bukannya untung, tapi kerugian yang lumayan besar. “Kami tidak menghitung kerugian, yang kami tahu showroom Sanggar Loro Blonyo hancur dan rumah produksi keramik retak-retak din­dingnya,” cerita Walijoko.

    Hanya saja Walijoko tidak larut dalam kesedihan. Dia bersama para karyawannya membangun kembali usaha yang telah dirintisnya susah payah tersebut. Meskipun banyak yang memiliki usaha yang sama dengan Walijoko, tetapi dia tidak pernah kehilangan pelanggannya. “Pelanggan tetap Sanggar Loro Blonyo berasal dari seluruh Indonesia dan tidak terkecuali dari luar negeri, seperti Malaysia. “Bia­sanya mereka membeli barang-barang fungsional, seperti mangkuk, asbak, dan tempat lilin,” ujar dia lagi.

    Tidak hanya dari Malaysia, konsumen juga datang dari Prancis. “Kalau pembeli dari Prancis, tidak selalu rutin tapi lumayan sering walaupun sedikit,” kata pria 42 tahun ini.

    Kiat usaha sukses Walijoko dalam menjalankan usahanya adalah jujur terhadap pelanggan, menjaga kualitas keramik, dan yang terakhir adalah tepat waktu. “Jika kita tepat waktu dalam membuat pesanan, maka pelanggan akan puas,” papar dia.

    Harapan tentang usaha Walijoko ke depan adalah semakin maju dan usaha keramik menjadi yang terdepan di Indonesia. “Kan sayang usaha tradisional kita jika sampai dilupakan. Maka itu, sebagai pelaku bisnis saya menginginkan usaha ini khususnya dan usa­ha keramik pada umumnya menjadi lebih maju,” papar Walijoko. Dengan begitu produk warisan budaya Indonesia tetap eksis, dan tidak diakui oleh negara lain.

    more
  • Souvenir Etnik Ken Aam Bepergian keluar kota atau keluar negeri tidak lengkap tanpa membawa buah tangan atau oleh-oleh. Namun ada kalanya oleh-oleh yang kita bawa malah merepotkan karena memakan tempat. Jangan khawatir, toko Ken Aam punya solusinya.

    Bagai sayur asam kurang garam, sepertinya pepatah tersebut cocok digunakan jika kita tidak membawa souvenir atau oleh-oleh dari daerah yang kita kunjungi. Indonesia sepertinya sudah kental dengan tradisi membeli buah tangan untuk keluarga, teman maupun kerabat. Bahkan menunaikan ibadah haji pun harus membawa oleh-oleh untuk dibagi-bagikan, tetapi jangan khawatir sentra oleh-oleh pergi haji sudah ada di Tanah Abang. Kalau urusan souvenir Nusantara Ken Aam jagonya.

    Usaha yang dirintis oleh Amanah Abdulkadir pada 2007 lalu ini ternyata sangat membantu dalam menyediakan buah tangan khas Indonesia. Berawal dari kegemaran Amanah dalam mengkoleksi barang-barang etnik dari Indonesia, maka timbulah ide untuk membuat bisnis toko yang menyediakan souvenir. “Dulu saya kalau keluar kota, suka bawa oleh-oleh berupa barang khas dari kota yang saya datangi,” ujar Amanah. “Lalu teman-teman saya ternyata banyak yang suka juga, jadi saya jadikan usaha,” tambahnya.

    Di awal keberadaannya hingga sekarang, produk Ken Aam banyak diminati oleh para kolektor dan pecinta seni baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang sedang berburu benda seni di Indonesia. “Sebenarnya Ken Aam berdiri untuk menyediakan berbagai produk yang mengabadikan kenangan dari berbagai provinsi di Indonesia, sehingga Anda dapat memberikan souvenir kepada keluarga atau rekan tanpa perlu repot mencari dan membawanya selama berwisata, dan perjalanan wisata andapun menjadi lebih nyaman dan berarti,” jelas Amanah.

    Dengan modal awal berkisar Rp 35 juta, Amanah bisa membeli barang keperluan toko, bayar sewa kios dan menggaji karyawan. Ken Aam hadir bukan sekedar hanya menyediakan souvenir saja melainkan ada misi khusus yang dituju oleh Amanah, yaitu membantu pengembangan kerajinan ekspor nusantara (KEN) juga demi menjadikan produk kerajinan Indonesia diminati dan terpandang di kalangan dunia. “Maka dari itu saya memberi nama Ken yang berarti kerajinan ekspor nusantara dan Aam yang berarti Amanah yaitu nama saya sendiri,” jelas Amanah.

    Griya Ken Aam yang bertempat di Ruko Tugu Mutiara Jl. RTM Raya Kelapa Dua Depok tersebut mempunyai 4 karyawan yang bertugas sebagai administrasi dan penataan barang, Ken Aam berniat membuka usaha lain yang berseberangan dengan usaha souvenir. “Kami punya rencana akan membuka kafe di lantai 3 mba,” papar Amanah kepada PIP. “Tapi ini masih dalam tahap rencana,” tambahnya lagi.

    Di dalam melakukan pemasaran, tidak perlu susah-susah, pasalnya Ken Aam sendiri sudah banyak dikenal oleh peminat benda seni dan kolektor, jadi Ken Aam hanya menyediakan brosur, karena salah satu karyawannya ada yang masih kuliah di Universitas Indonesia, selain mudah juga menghemat waktu.

    Produk-Produk Ken Aam
    Berbagai barang etnik khas Nusantara tersedia di Ken Aam. Mulai dari yang paling kecil yaitu gantungan kunci sampai benda etnik yang paling besar. Bukan hanya benda etnik yang dijual di Ken Aam, lukisan, keramik, juga tas wanita tersedia di Ken Aam.
    Range harga yang ditawarkan pun beragam, tergantung dari bentuk dan barangnya. Untuk sebuah dompet koin, Amanah menawarkan harga yang tidak menguras kantong kita, hanya Rp 1500. tetapi untuk satu set meja kursi, Amanah mematok harga Rp 6 juta. “Satu set meja kursinya dari akar kayu jati, jadi memang harga yang ditawarkan pantas,” ujar wanita lulusan Oklahoma State University AS ini.

    Beragam produk artistik dari Jogja, Jepara, Solo, Lombok, Bali bahkan dari luar negeri seperti Korea dan Vietnam ada di sini. Usaha yang dirintis Amanah juga telah membuahkan hasil, keuntungan sebesar Rp 17 juta bisa diraupnya. Bukan itu saja, pelanggan tetap yang rutin memesan kepadanya pun tetap setia. “Alhamdulillah, saya tidak menyangka berawal dari hobi, malah bisa menghasilkan,” ucapnya bersyukur.
    Untuk produk-produk yang ada di gerai Ken Aam, Amanah mendapatkannya dari pensuplai dari berbagai daerah di Indonesia. Tetapi juga ada yang Amanah buat sendiri dibantu oleh para karyawannya.

    Walau begitu, bukan berarti tidak ada kesulitan yang dihadapi Amanah dalam menjalankan bisnisnya. Minat pembeli dan pengetahuan yang kurang akan barang-barang etnik Nusantara menjadi salah satu kendala. “Minat pembeli memang cukup banyak, tapi kan hanya orang-orang tertentu saja,”tutur Amanah.

    Bukan hanya barang-barang untuk oleh-oleh, Ken Aam juga menyediakan pesanan souvenir khusus, baik untuk acara kantor, sekolahan maupun pernikahan. Dan mantapnya lagi, Ken Aam juga sudah mempunyai pelanggan tetap untuk souvenir pesanan ini. “Disini memang bisa memesan souvenir cantik, kebanyakan untuk acara di kampus atau sekolah,” ujar wanita yang pernah menjadi dosen Universitas Indonesia ini.

    Amanah belum berniat untuk mengekspor barang-barang yang ada di Ken Aam, karena misi awalnya memang untuk memperkenalkan souvenir khas dari Indonesia. “Agar orang Indonesia pada umumnya dan turis mancanegara pada khususnya tahu bahwa Indonesia itu kaya akan budaya dan barang-barang etnik yang tidak kalah dari luar negeri mba,” paparnya.

    Kiat-kiat usaha sukses yang diterapkan mantan Ketua Stima Kosgoro ini sangatlah sederhana. Dimulai dari pemasarannya terlebih dahulu, menurutnya jika pemasaran produk Ken Aam sukses, maka semuanya juga ikut sukses.

    Harapan Amanah pun tidak muluk-muluk, dia berharap usaha yang telah dijalankannya selama tiga tahun ini bisa lebih sukses dan maju, masyarakat bisa mengenal produk asli Indonesia dan yang terpenting banyak orang tahu agar menjadi pelanggan di tokonya. (Chindya Citra Mutiara)

    more
  • Kerajinan Seni Ukir Dayak Jika dilihat dari koleksi patung-patung serta aneka ukiran kayu yang terserak di galerinya, Mohammad Bakri Udin mungkin bisa menyandang seniman seni ukir khas Kalimantan. Tetapi, ia hanya mengaku sebagai pedagang barang antik. Konsumennya datang dari berbagai negara.

    Seni Ukir Bahati Jaya, Jual Beli Barang Antik dan Produksi Kerajinan khas Kalimantan. Demikian Bakri Udin memasang merek dagang usahanya yang terletak di Samarinda Seberang, Kalimantan Timur. Sepintas hanyalah sebuah toko yang khusus menjual cindera mata khas Kalimantan. Namun saat memasuki bagian dalam toko yang merangkap pabrik itu, terlihat koleksi barang-barang antik di tengah sejumlah perajin yang tengah serius mengukir aneka kayu menjadi benda seni yang berharga.

    “Ini ukiran burung khas Dayak Kenyah, yang ini Topeng khas Dayak Benoa, dan yang itu patung hidung betet khas Dayak Punau,” sergah Bakri Udin saat menemani PIP meninjau galerinya yang merangkap toko, pertengahan Agustus lalu. Hampir seluruh jenis kerajinan ukir khas Kalimantan tersedia di situ, mulai dari koleksi barang antik yang dicari perantau dari Bugis ini hingga ke pedalaman suku-suku dayak hingga koleksi yang ia buat sendiri bersama puluhan perajin. Harganya, sangat bervariasi, ada seni ukir yang hanya dijual Rp 50.000 tapi ada juga yang mencapai ratusan juta.

    Di etalase tokonya, Bakri Udin menggelar aneka macam ukiran burung dan patung ukuran kecil (20-30 cm) untuk cindera mata khas Kalimantan dengan harga mencapai Rp 150.000. Tetapi bagi peminat barang antik yang serius, ia mengajak sang tamu ke bagian dalam tokonya yang menyimpan berbagai jenis ukiran dan barang antik.

    Orientasi Ekspor
    Untuk mengerjakan aneka ukiran khas tersebut, pria kelahiran Jeneponto, Sulawesi Selatan pada 1954 ini merekrut 30 perajin, dan 10 orang di antaranya adalah karyawan tetap. Jumlah perajin tersebut, sambung ayah delapan anak ini bisa membengkak jika ada permintaan pesanan barang dari luar negeri.

    Selain membuat seni ukir khas Dayak Kalimantan, Bahati Jaya acap kali mendapat pesanan dari berbagai negara. Di ruang kerja yang relatif sempit itu, misalnya terlihat sejumlah patung berwajah seram pesanan dari Amerika Serikat. Untuk mengerjakan patung setinggi dua hingga tiga meter itu, Bakri Udin memasang tarif Rp 15 juta per patung. Selain Amerika, peminat patung-patung seram itu juga berdatangan dari Eropa, seperti Swiss yang sudah membukukan 0rder-nya untuk pengiriman tahun depan.

    Pesanan lainnya yang sedang dikerjakan Bakri Udin adalah aneka perabot rumah tangga berbahan kayu untuk dikirim ke Jepang. Barang-barang berupa meja, kursi, sendok, sumpit hingga lemari itu dikirim secara rutin setiap tiga bulan ke Jepang. Setiap kali barang dikirim, Bakri Udin menerima pembayaran sekitar Rp 200 juta.

    “Saya bekerja sesuai pesanan. Ada yang pesan patung-patung, ukiran kayu maupun perabotan rumah tangga berbahan dasar kayu, semua bisa saya layani,” tutur penerima penghargaan Upakarti tahun 1990 ini.

    Untuk memproduksi ukiran serta pesanan dari mancanegra itu, Bahati jaya menggunakan bahan baku berupa kayu Ulin dan Bangkirai dengan pemakaian sekitar tiga meter kubuk per bulan.

    Dukungan Pemda
    Bahati Jaya hanya salah satu saja dari sejumlah usaha seni ukir kayu Kalimantan yang ada di Samarinda, tetapi perusahaan milik Bakri Udin ini tercatat sebagai yang paling sukses dan acapkali mengikuti pameran ke luar negeri.
    Selain booming usaha akibat dampak reformasi, Bakri Udin mengaku dukungan dan fasilitas usaha yang diberikan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kelangsungan usahanya. Bentuk dukungan itu antara lain, pelatihan pemasaran yang rutin diadakan oleh Pemda. Selain itu, kata Bakri Udin, sejumlah penghargaan yang diterimanya dari berbagai instansi merupakan modal besar dalam mengembangkan usaha seni ukir kayu Kalimantan. Paling tidak, tandas Bakri Udin, usahanya itu diakui ikut memperkaya khasanah seni dan budaya nusantara.

    more
  • Usaha dan Bisnis Boneka Salma Boneka, mainan satu ini sudah tidak asing di telinga anak-anak perempuan. Tapi, boneka yang bernuansakan Islam masih jarang ditemukan. Berkat ide Sukmawati ini, produk boneka Salma sukses di pasar dan turut menanamkan makna kesopanan.

    Mendapat ide dari sang buah hati yang menggemari boneka barbie, Sukmawati Suryaman lalu berinisiatif membuka usaha produksi boneka yang lain dari biasanya. “Saat itu kebetulan saya lagi nyari ide untuk usaha, Alhamdulillah saya terinspirasi dari anak saya,” ujar dia kepada PIP baru-baru ini.

    Sukmawati juga ingin membuka usaha yang tidak jauh dari dunia anak-anak. Kebetulan pula, saat memulai usaha ini, masih jarang orang menjual boneka yang memakai kerudung.

    Bukan itu saja, keprihatinan melihat boneka dengan memakai busana minim, yang secara tidak langsung mempengaruhi anak-anak yang memainkannya, juga menggugah keinginan Sukmawati menciptakan boneka dengan pakaian yang tertutup dan sopan. Dan, sukmawati berharap dapat menularkan semangat untuk memakai busana muslimah ke anak-anak yang memainkan boneka buatannya.

    Melengkapi kebutuhan boneka yang berbeda dari yang biasa dijumpai, baik di toko maupun di emperan jalan, Sukmawati serta merta memulai usahanya tersebut pada Juni 2006. Dengan bermodalkan Rp 5 juta, Sukmawati bisa membeli mesin jahit, kotak boneka, kain, dan boneka barbie.

    Untuk keperluan bahan-bahan, ibu satu anak ini sudah mempunyai toko langganan tersendiri, dia tidak merasa kesulitan mendapatkan bahan baku pakaian boneka-bonekanya. Dia hanya perlu membuat rancangan, lalu dilanjutkan dengan pembuatan pola yang dicetak pada kain yang telah dipilih sebelumnya. Lalu dilanjutkan dengan proses pengguntingan dan penjahitan. Bahan kain yang dipakai untuk pelengkap boneka yang dibuatnya pun beragam, mulai dari katun, satin, songket sampai batik.

    Lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) ini sudah memiliki pengalaman dalam berwiraswasta, sebelum membuka usaha mainan boneka yang berjilbab yang diberi label Boneka Salma, dia pernah mempunyai bisnis roti merk Salim di Yogyakarta. Namun, usaha roti yang digelutinya tidak bertahan lama karena Sukamawati harus mengikuti sang suami yang berpindah tugas ke kota lain. Setelah Sukmawati tinggal di Jakarta pun, dia tidak meneruskan usaha rotinya karena alat-alat untuk pembuatan roti tidak dibawa. “Alat-alat untuk membuat rotinya saya tinggal di rumah orangtua saya, karena alatnya juga berat-berat,” ujar Sukmawati.

    Ternyata banyak konsumen yang menyenangi boneka berbusana muslimah produksi Sukmawati. Agar boneka buatan Sukmawati semakin digemari, dia selalu berinovasi dan berpikir kreatif dengan ide desain baju yang dipakai boneka Salma.

    Awalnya, Sukmawati hanya merancang pakaian boneka yang terdiri dari 12 variasi, namun kini telah berkembang menjadi 50-an rancangan pakaian dengan berbagai jenis, antara lain jenis mukena, gaun, pakaian tradisional Indonesia dan kasual, yang kesemuanya berformat busana muslimah. Menurut Sukmawati, ide pakaian boneka Salma didapatnya dari seluruh keluarga yang memberi sumbangan ide untuk pakaian boneka buatannya, dan ide-ide tersebut tentu saja diterima Sukmawati dengan gembira, karena baginya hal tersebut adalah suatu bentuk dukungan untuknya dan usahanya.

    Lantaran banyak konsumen yang menyukai produk buatannya, maka omset yang didapat Sukmawati pun turut menggelembung. Dalam satu bulan usaha ini mampu mencetak penjualan Rp 15 juta hingga Rp 25 juta. Usaha Sukmawati bisa mempekerjakan empat karyawan, tiga karyawan tetap dan satu orang karyawan lepas. Masing-masing karyawan punya tugas berbeda-beda, misalnya menjahit pakaian, membuat kotak, dan lainnya.

    Juara Satu
    Bagi Sukmawati, mempunyai usaha Boneka Salma adalah impiannya sejak dulu. Selain bisa mencari penghasilan sendiri, juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan. “Saya ingin lebih banyak melibatkan orang dalam usaha saya, bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak, agar saya berguna bagi lingkungan,” tutur Sukmawati.

    Namun, impian itu tampaknya harus tertunda, karena faktor sumber daya manusia. Sebab, membuat boneka berkerudung relatif tidak mudah, karena butuh ketekunan dan kesabaran. “Baju Salma kan kecil-kecil, jadi kalau dibuat asal-asalan, hasilnya akan jelek. Itu berbeda dengan pakaian kita. Jadi, dalam membuat busana Salma harus memperhatikan detail, teknis menjahit bajunya, dan lain-lain,” ujar perempuan 30 tahun ini.

    Mengenai kiat usahanya, Sukmawati dengan merendah mengaku kalau bisnisnya belum sepenuhnya sukses. Dia merasakan masih sering terjatuh pada lubang yang sama. Namun, Sukmawati tetap bersemangat dan belajar dari pengalaman. “Saya masih meraba-raba dalam menjalankan usaha ini, masih belajar dari pengalaman dan bagaimana caranya agar tidak jatuh di lubang yang sama,” paparnya.

    Bagi Sukmawati, Ramadhan benar-benar bulan yang penuh berkah, karena jumlah pesanan boneka Salma meningkat tajam. Banyak pelanggan tetap yang memesan boneka ini untuk dijual kembali. Harga yang dibandrol untuk boneka Salma tidak menguras kantong. Satu buah boneka Salma dihargai Rp 50 ribu. Namun, untuk partai besar, misalnya 50 buah, harga boneka dibandrol Rp 30 ribu per buah.

    Pemasaran yang dilakukan Sukmawati cukup sederhana. Dia juga memanfaatkan kecanggihan teknologi, yaitu melalui website www.bonekasalma. Selain tidak memakan biaya banyak, jangkauan internet pun luas, sehingga siapa saja dari seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia bisa melihat usaha boneka Salma.

    Untuk lebih memantapkan usaha tersebut, Sukmawati rajin mengikuti pameran-pameran dan pelatihan-pelatihan manajemen. “Kan saya basic-nya bukan di ekonomi yah mbak, jadi saya ikut pelatihan manajemen untuk menambah pengetahuan saya mengenai ilmu untuk bisnis saya,” papar Sukmawati.

    Berkat ketekunan, kegigihan, dan kreativitas Sukmawati, produk boneka Salma meraih penghargaan dari Kementerian Koperasi dan UKM (melalui Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha) tahun 2008 untuk kategori pemanfaatan TIK oleh UKM. “Saya saat itu juara 1,” ujarnya bangga. (Chidya Citra Mutiara)

    more
Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post