-
Penyalahgunaan Profesi Wartawan
Pernyataan Dewan Pers
Nomor: 12/PDP/X/2001
Tentang Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan
Kebebasan pers dan kredibilitas wartawan di Indonesia akhir-akhir ini berada dalam sorotan masyarakat dengan munculnya sejumlah penerbitan liar dan praktik penyalahgunaan profesi wartawan (dikenal dengan istilah “wartawan bodrex”).
Munculnya “pers” liar, yang terbit tanpa identitas yang jelas, menjadi tempat bersarangnya orang-orang yang mencoba mencari keuntungan dengan mengatasnamakan sebagai wartawan. Begitu pula munculnya penerbitan pers yang tidak bertanggung jawab, yaitu menggaji wartawannya secara tidak memadai atau bahkan tidak memberi gaji, dan membiarkan serta mendorong wartawannya menggunakan kartu pers untuk mencari uang dan fasilitas.
Dewan Pers akhir-akhir ini menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik wartawan bodrex tersebut. Di tengah suasana kehidupan pers seperti itulah Dewan Pers mencatat sedikitnya dua petistiwa yang menonjol. Kedua kasus tersebut masing-masing dialami oleh satu perusahaan di Surabaya dan kantor instansi pemerintah di daerah.
Pada 26 Juni 2001 satu perusahaan di Surabaya yang sedang menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) gagal menyelenggarakan konferensi pers dan public expose akibat diintimidasi sejumlah wartawan yang tidak diundang. Mereka yang mengaku wartawan itu menyerahkan daftar nama, sebanyak 75 nama, kepada salah seorang pimpinan humas perusahaan tersebut.
Mereka tersinggung karena tidak diundang dan mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan maksud konferensi pers itu, serta menuduh perusahaan tersebut telah melecehkan wartawan karena tidak mengundang kelompok itu. Lebih jauh mereka menuduh perusahaan tersebut telah “melanggar UU Pers”, karena dianggap menghalangi mereka untuk meliput RUPS itu. Mereka juga menuntut perusahaan tersebut memecat pimpinan Humasnya dan memasang iklan permintaan maaf setengah halaman di media mereka. Dua hari kemudian mereka mengadukan perusahaan tersebut ke Kepolisian.
Kasus lain menyangkut surat protes terhadap surat edaran yang dikeluarkan salah satu Kantor Pemerintahan Daerah, berisi daftar wartawan yang direkomendasikan meliput di wilayah daerah tersebut. Surat edaran yang dikeluarkan pada 10 Agustus 2001 itu berisi daftar nama 37 wartawan dan media. Edatan itu ditujukan kepada seluruh aparat Pemda tersebut sebagai acuan dalam menerima wartawan yang meliput di wilayah tersebut. Pembuatan dan pengedaran daftar wartawan ini berdasarkan alasan “banyaknya orang-orang yang mengaku wartawan surat kabar/tabloid tertentu yang mendatangi para pejabat dengan alasan mencari berita, yang berakibat mengganggu aktivitas kerja sehari-hati.”
Surat edaran itu menimbulkan protes dari 90 wartawan—yang tidak masuk dalam daftar—karena merasa hak mereka dikebiri dan mereka diadu domba. Surat edaran tersebut mereka nilai sebagai “tendensius dan melecehkan profesi wartawan, serta bertentangan dengan UU Pers”. Mereka mendesak agar surat edaran tersebut dicabut, pejabat yang mengeluarkannya ditindak, dan Kantor Pemda tersebut meminta maaf secara terbuka kepada pers. Mereka berniat menuntut (melalui jalan hukum) jika protes meteka tidak dipenuhi.
Dua kasus tersebut adalah contoh dan sejumlah masalah yang muncul akibat kesimpangsiuran penafsiran terhadap makna dan praktik kebebasan pers, yang dapat menimbulkan penyalahgunaan profesi wartawan.
Dewan Pers pada kesempatan ini perlu menyampaikan beberapa hal, yang dapat dijadikan pegangan bagi masyatakat dan komunitas pers, berkaitan dengan prinsip kerja kewartawanan:
Wartawan dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip etika. Wartawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menjadi acuan bagi seluruh wartawan di Indonesia.
Wartawan tidak boleh mcnggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta tidak meminta imbalan dalam mencari informasi. Dalam hal peliputan konferensi pers, penyelenggara berhak menentukan wartawan dan media apa saja yang diundang, sebagaimana wartawan dan media yang diundang juga berhak untuk datang atau tidak datang memenuhi undangan tersebut.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers, Pasal 4, yang menjamin kemerdekaan pers serta hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi, harus diimplementasikan sesuai dengan prinsip kode etik. Ketentuan Pasal 18, yang mengatur ancaman pidana penjara dan denda bagi pihak yang menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers (Pasal 4), tidak dapat diterjemahkan secara subjektif. Pasal 18 ini dapat diterapkan untuk informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dan hak publik untuk tahu.
Tidak mengundang wartawan atau media tertentu dalam suatu konferensi pers tidak dapat dianggap “menghalangi kemerdekaan pers.” Jika wartawan atau pers tidak diundang dalam suatu konferensi pers, maka yang bersangkutan dapat menggunakan upaya lain untuk memperoleh informasi yang diperlukan, dengan tetap berpedoman pada prinsip etika.
Adanya perusahaan atau instansi yang mengeluarkan daftar wartawan/media yang boleh meliput di lingkungannya, sejauh hal itu dimaksudkan untuk identifikasi administratif masih dapat ditolerir. Dikeluarkannya daftar wartawan/media oleh sejumlah kantor perusahaan dan instansi pemerintah tersebut bisa dipahami sebagai reaksi yang wajar atas maraknya praktik penyalahgunaan profesi wartawan.
Meskipun demikian, perusahaan swasta atau instansi pemerintah wajib menerima dan melayani dengan sewajarnya wartawan yang tidak tercantum dalam daftar itu, jika wartawan bersangkutan memang jelas identitas, media, dan maksud liputannya. Wartawan/media yang tidak tercantum dalam daftar semacam itu, padahal berhak meliput, wajib melakukan klarifikasi kepada pihak yang mengeluarkannya.
Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktik penyalahgunaan profesi wartawan dengan melaporkan aktivitas-aktivitas tidak proporsional— yang mengatasnamakan sebagai wartawan—kepada Kepolisian.
Kepada anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah diharapkan agar cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Wartawan yang sungguh-sungguh profesional selalu menggunakan cara-cara yang etis dalam mencari informasi.
Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop’) kepada wartawan yang mewawancarai atau meiput. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dengan jelas menyatakan wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita, yang berkaitan dengan tugas—tugas kewartawanannya dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.
Jakarta, 11 Oktober 2001
Dewan Pers
Atmakusumah Astraatmadja
KetuaRelated Posts :
0 komentar: