-
Reportase Berimbang
DALAM dunia jurnalistik, reportase merupakan bagian yang penting. Reportase adalah bagian awal dari sebuah karya jurnalistik. Tanpa reportase, tidak mungkin ada berita atau tulisan.
Sebelum saya menguraikan hal-hal yang penting dalam melakukan reportase, perkenankan saya untuk menyampaikan beberapa pengalaman saya dalam melakukan reportase, yang hasil akhirnya menjadi berita besar dan menjadi topik menarik berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Pada 1986, hampir semua koran di berbagai negara, termasuk Indonesia, sibuk memberitakan proses dan kejatuhan Rezim Ferdinand Marcos, Presiden Filipina. Waktu itu, saya bekerja sebagai rerporter Harian Sore Sinar Harapan.
Di tengah-tengah maraknya berita dari Filipina itu, saya mendapat tugas dari redaktur khusus, waktu itu dipegang oleh Panda Nababan, untuk menyelidiki keberadaan seorang pengusaha real estate, Endang Wijaya, yang mendekam di LP Cipinang.
Panda tampaknya mendapat informasi, Endang Wijaya yang dijebloskan ke penjara karena kasus Perumahan Pluit, ternyata masih bisa bebas berkeliaran di luar tahanan. Pada siang hari, dia bekerja mengawasi perusahaan, dan malam harusnya kembali ke jeruji besi. Begitu seterusnya.
Saya yang waktu itu sebagai reporter tanpa desk (bidang), sebetulnya sempat bingung juga. Tapi, di sisi lain, saya merasa tertantang. Apalagi Panda waktu itu itu tidak mengarahkan bagaimana melakukan reportase.
Akhirnya. Saya bersama teman forografer, selama dua malam berturut-turut, bergadang di depan LP Cipinang. Langkah awal yang saya lakukan adalah, bertanya kepada penjaga warung di sekitar depan pintu LP Cipinang; apakah sering melihat mobil sedan mewah pada pukul 21.00 WIB atau jam 09.00 malam dan jam 04.00 pagi, keluar masuk LP Cipinang? Jawaban yang saya dapatkan beragam; Ada yang mengatakan tidak tahu dan tidak melihat. Ada juga yang bilang melihat, tapi mobilnya macam-macam.
Lantas, pertanyaan lebih saya arahkan pada peristiwa pagi hari. Tapi jawabannya nihil. Karena mereka pada umumnya menutup warung pukul 02.00 malam.
Saya tidak kehilangan akal. Sembari begadang, saya pelajari siapa yang sering melakukan begadang di kawasan itu. Ternyata ada sebuah informasi yang tak terduga, dari seseorang yang kerap bergadang di kawasan itu. Dia bilang, setiap sekitar pukul 03.00 dini hari, sering melihat mobil keluar dari LP. Mobilnya gonta-ganti.
Perhatian saya tertuju pada pukul 03.00 dini hari. Benar, suatu dini hari, saya melihat sebuah mobil sedan warna hitam, keluar dari LP Cipinang. Teman fotografer, langsung memotret mobil itu. Kami pun mengikuti lajunya mobil. Sayang, kami kehilangan jejak.
Perburuan berikut adalah perumahan kawasan Pluit Jakarta Barat. Di pagi buta, kami bertanya ke sana-sini, mencari rumah Endang Wijaya. Sekitar pukul 07.00, rumah itu berhasil kami temukan. Mulailah saya bertanya kepada orang-orang yang ada di rumah itu. Tapi, informasi yang kami peroleh, tidak memadai. Mereka cenderung tutup mulut, bahkan ada yang mulai curiga. Lantas, mencari informasi ke kantornya. Sama saja. Tak ada yang mau memberi informasi yang meyakinkan. Saya nyaris putus asa.
Malam sekitar pukul 21.00, kami kembali ke LP Cipinang. Kami melihat beberapa mobil keluar masuk. Informasi kembali samar. Dini hari kami kembali ke depan LP. Juga sia-sia.
Akhirnya, kami langsung kembali ke rumahnya di Pluit. Waktu itu terjadi banjir besar di kawasan itu. Sekitar jam 05.00 pagi, seorang pembantu rumah itu keluar. Langsung saya sergap dengan pertanyaan, Apakah Pak Endang ada di rumah? Pembantu itu menanyakan siapa saya. Saya jawab, saya dokter yang harus memeriksa kesehatannya. Tanpa curiga pembantu itu mengatakan, dia masih tidur.
Nah, informasi dari pembantu itu membawa titik terang. Saya sabar menunggu sang pembantu pulang dari pasar. Ketika dia datang, saya minta agar dia mengecek, apakah Pak Endang sudah bangun. Lama tak ada jawaban.
Tiba-tiba, saya melihat sebuah mobil keluar. Saya berharap itu Endang Wijaya, atau paling tidak orang yang bisa saya korek informasinya. Mobil melaju menuju sebuah perkantoran Pluit. Saya tidak melihat ada sosok seseorang yang turun. Rasa pesimis mulai kembali menyergap.
Saya mencoba mencari informasi dari pembawa mobil. Dugaan saya waktu itu sopirnya. Sambil merokok, saya ngobrol santai dengan si sopir. Ketika saya tanya sedang apa, dia bilang sedang menunggu bosnya, yang ternyata Pak Endang. Mau ke mana? Tanya sya, yang dijawab tidak tahu oleh si sopir. Paling-paling keliling perumahan, ujarnya. Saya terus mengajak ngobrol sopir itu, yang sama sekali tidak curiga. Pertanyaan saya mengarah pada, apakah benar dia memang sering membawa Endang Wijaya. Akhirnya saya dapat kesimpulan: benar. Dia memang sopirnya Endang Wijaya yang saya buru. Sekitar pukul 08.30, melalui telepon umum, saya menghubungi Panda Nababan, bahwa benar Endang Wijaya ada di perumahan Pluit. Saya sudah berbunga-bunga, merasa sebagai wartawan yang sukses dengan reportase yang baik.
Tapi apa jawaban Panda? Informasi itu belum cukup! Saya diminta untuk ketemu langsung dengan Endang Wijaya, dan mendapat fotonya. Luar biasa pusingnya saya. Sudah semalaman tidak tidur, masih ditugasi yang berat. Upaya pun kami lakukan. Tapi hasilnya nihil. Saya memang tidak bisa ketemu. Tapi kepastian bahwa Endang Wijaya ada di kantornya, benar-benar saya jamin.
Sekitar pukul 01.30 siangnya, saya ke kantor. Betapa terkejutnya saya, membaca koran headline Sinar Harapan: Menteri Kehakiman: KEMBALIKAN ENDANG WIJAYA ke LP. Berita itu adalah satu-satunya headline terbitan koran hari itu. Koran lain headline-nya adalah titik-titik akhir jatuhnya Presiden Marcos. Ternyata koran-koran pagi esok harinya pun melanjutkan peristiwa itu, sebagai berita utama. ENDANG WIJAYA KEMBALI ke LP.
Setelah pengalaman memburu berita soal Endang Wijaya, selama menjadi wartawan Sinar Harapan yang berlanjut ke Suara Pembaruan, saya kerap melakukan reportase serupa. Seperti ditangkapnya ONGKO WIJAYA, pimpinan Yayasan Keluarga Adil Makmur atau YKAM (1988), yang menipu masyarakat berlagak meminjamkan dana murah dengan bunga 3% per tahun. Bahkan saya boleh berbangga karena sejak awal saya yang keras memberitakannya. Satu minggu saya melakukan reportase baru menulis. Begitu juga dengan berita adanya dugaan korupsi Rp 7,8 miliar di Puskud Jawa Timur (1993). Terakhir, reportase cukup bernilai yang saya lakukan, adalah terjadinya oplos beras impor dan lokal oleh rekanan Badan Urusan Logistik - Bulog (2000), ketika saya di Majalah KOMODITAS. Semua berita itu menjadi isu panjang, yang berdampak pula pada berbagai kebijakan.
Jangan abaikan Narasumber Kecil
Jika saya mengemukakan pengalaman di atas, bukan berarti saya ingin memaparkan bahwa saya adalah wartawan hebat. Sama sekali tidak. Tapi yang ingin saya katakan adalah, saya telah melakukan reportase, menggali dan mengumpulkan bahan berita yang layak untuk menjadi berita besar, saya telah melakukan investigasi report.
Dalam melakukan reportase, seorang watawan dituntut kerja keras, cerdik dan berani menantang risiko. Wartawan perang, kriminal, hukum atau perjalanan jurnalistik ke suatu tempat yang penuh bahaya, menuntut semua itu. Bahkan tidak jarang wartawan kerap mencuri dokumen yang penuh risiko.
Dalam melaukan reportase, sudah pasti akan bertemu dengan beberapa orang narasumber. Dan, narasumber itu, tidak harus yang resmi, tapi harus yang layak. Pengertian layak di sini, bukan layak kutip, tapi layak mengemukakan kebenaran satu fakta yang akhirnya memang bisa menjadi bahan berita yang layak pula.
Seperti pengalaman saya ketika melakukan investigasi tentang Endang Wijaya, narasumber yang saya gali adalah orang-orang kecil, walau mereka dari segi nama tidak layak kutip dengan alasan tidak memenuhi kriteria prominence dari segi ketenaran.
Soal layak-tidaknya narasumber untuk dikutip, sebetulnya tidak semata-mata harus memenuhi ketenaran, tapi ada pertimbangan lain, karena terlalu banyaknya nara sumber orang-orang kecil.
Namun demikian, dalam melakukan reportase, narasumber orang-orang kecil tidak bisa diabaikan. Walaupun pada akhirnya, ketika bahan reportase itu nantinya akan ditulis, tetap harus mendapatkan narasumber yang layak kutip.
Ketika kita melakukan reportase, bahan reportase tidak hanya berupa hasil wawancara, tapi juga peristiwa yang terjadi dan menarik. Misalnya, dalam peristiwa olahraga sepakbole ketika final piala Champions Eropa antara Manchester United (MU) melawan Bayern Munchen (2000).
Ketika itu, setalah berjalan 90 menit, MU masih ketinggalan 1-0. Tapi pada perpanjangan waktu 3 menit, dalam 118 detik MU berhasil memasukkan 2 gol, dan MU akhirnya juara.
Reportase para wartawan waktu itu, lebih menekankan pada kehebatan dan keajaiban MU dalam 118 detik, yang dihasilkan oleh dua pemain pengganti. Bahkan beberapa koran menuliskan, dalam 118 detik itu, seakan roh salah seorang pemain hebat legendaris MU yang namanya saya lupa, muncul dalam perpanjangan. Jika dicermati banyak berita yang diangkat dari sudut (angle) menarik dan fantastis.
Bagaimana cara wartawan melakukan reportase dan mendapatkan bahan-bahan yang terjadi pada TKP (Tempat Kejadian Perkara), kerap dijadikan ukuran atau jaminan bahwa berita yang bakal dimunculkan adalah berita layak, atau berita besar.
Dalam melakukan reportase, salah satu kunci keberhasilannya adalah, ketika melakukan wawancara (penggalian materi secara langsung dari narasumber). Sering terjadi, bahan lapangan sangat menarik, tapi akhirnya menjadi tidak menarik ketika menjadi tulisan, karena ketika melakukan wawancara dengan berbagai narasumber tidak mendapatkan unsur kebenaran fakta.
Memudahkan Reportase
Bagaimana agar dalam melakukan reportase mudah dan mendapatkan hasil maksimal? Salah satu yang bisa dilakukan adalah, melakukan perencanaan yang matang, untuk berita-berita yang memang bisa direncanakan. Bukan peristiwa yang mendadak.
Dalam menyusun perencanaan, sebaiknya dipetakan dulu masalah yang dianggap layak dan menarik, untuk diangkat dalam bentuk tulisan atau berita. Setelah itu dipersempit lagi, yaitu dengan menentukan topiknya. Setelah topiknya ditentukan, baru ditentukan angle-nya. Satu contoh:
Permasalahannya :
KUD-KUD TERANCAM BANGKRUT, KARENA HAMPIR SEMUA USAHA TIDAK JALAN
Topik : PERSAINGAN USAHA
Angel : TIDAK MAMPU BERSAING DI ERA PASAR BEBAS
Jika kita telah menentukan perencanaan di atas, fokus reportase yang dilakukan adalah mengapa usaha KUD-KUD tidak mampu bersaing di era pasar bebas dari berbagai narasumber. Dari situ, akhirnya diperoleh gambaran yang mendekati kebenaran, bahwa hampir semua usaha KUD tidak jalan, yang mengakibatkan badan usaha itu terancam bangkrut. Setelah itu baru dilakukan tahap penulisan.
Pola di atas memang lebih mudah dilakukan, karena TKP-nya praktis tidak akan mengalami perubahan signifikan, dan penyebab peristiwanya tidak datang secara tiba-tiba.
Tapi, bagaimana jika kita berhadapan dengan satu peristiwa secara tiba-tiba, seperti kebakaran atau kecelakaan dahsyat? Jika berada dalam situasi seperti ini, yang pertama kita lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan yang kasat mata. Baru setelah itu, kita melakukan pelacakan informasi yang memang tidak kasat mata. Misalnya, jumlah kerugian dan penyebab terjadinya peristiwa. Ketika akan menyusun berita, ditentukan angle-nya.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan, dalam hal melakukan reportase, setiap wartawan mempunyai cara tersendiri yang dinilai tepat dan jitu. Jam terbang juga merupakan salah satu faktor penting.
Seorang wartawan senior dan andal, kerap tidak perlu datang ke TKP, tapi bisa mendapatkan berita-berita besar karena berkat jam terbangnya yang sudah tinggi.
Namun jam terbang bukan pula jaminan dari segalanya. Tidak sedikit para wartawan junior yang mampu menuliskan berita besar, karena dia memiliki dedikasi dan semangat tinggi dalam menjalankan profesinya. Gigih dan cerdik ketika dilapangan.
Tapi sebagai pengantar, untuk menjadi seorang wartawan yang baik dan benar, di bawah ini ada penggalan tulisan dari beberapa buku dan makalah yang bisa dijadikan pijakan para wartawan untuk bekerja. Penggalan ini saya ambil dari buku berjudul Jurnalistik Praktis untuk Pemula karya Asep Syamsul M. Romli, S.IP. dan pakar komunikasi Ashadi Siregar.
Oleh: Suyono AGRelated Posts :
0 komentar: