-
Singkong - cassava, Pangan Sumber Energi
Singkong (cassava), merupakan pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Eurphorbiaceace. Di tanah air, biasa diolah sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran. Singkong yang identik dengan rakyat kecil tidak hanya tenar sebagai dalam bentuk singkong rebus, goreng atau produk lain seperti tepung tapioka, kripik, tapai, tiwul dan getuk saja. Juga sebagai bahan energi alternatif.
Singkong, atau yang biasa dikenal juga dengan sebutan ketela pohon atau ubi kayu ini wujudnya berupa umbi atau akar pohon yang panjangnya dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm. Daging pada umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong ini kaya akan karbohidrat sehingga menjadi sumber energi. Tetapi protein yang dihasilkan justru bukan berasal dari umbi melainkan dari daun singkong yang mengandung asam amino metionin.
Umbi akar singkong ini ternyata banyak mengandung glukosa, bahkan dapat dikonsumsi secara mentah karena terasa manis. Umbi akar segar yang manis ini menghasilkan setidaknya 20 mg HN per kilogramnya. Meski merupakan penghasil karbohidrat dan sangat lezat untuk dikonsumsi, tetapi perlu untuk mewaspadai komoditas ini. Sebab singkong ternyata dapat mengakibatkan keracunan jika salah dalam proses pengolahannya. Umbi singkong ini memang tidak dapat dapat disimpan dalam jangka waktu lama, meski dimasukkan ke dalam lemari es sekalipun.
Ciri singkong yang telah mengalami kerusakan berupa umbi yang keluar warna biru gelap karena di dalamnya telah terbentuk asam sianida yang bersifat racun pada manusia jika dikonsumsi. Singkong yang beracun jika dikonsumsi terasa pahit karena terdapat racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida yang berbahaya tersebut. Karenanya singkong manis harus tetap melewati proses pengolahan berupa dimasak untuk menurunkan kadar racunnya.
Produksi singkong dunia tahun 2002 mencapai 184 juta ton. Sebanyak 99,1 juta ton berasal dari produksi Afrika dan sebanyak 33,2 juta ton lagi dihasilkan dari Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.
Dalam sejarahnya, singkong pertama kali dikenal di Amerika Selatan melalui jenis Manihot Esculenta. Selanjutnya pada masa pra sejarah dikembangkan juga di wilayah Brasil dan Paraguay.
Di Indonesia, singkong ditanam secara komersial sejak masih bernama Hindia Belanda atau sekitar tahun 1810 tahun. Pihak Portugis memperkenalkan tanaman ini dari Brasil sekitar abad 16. Selanjutnya tanaman ini menjadi sangat populer di tanah air terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Kondisinya yang dapat tumbuh di mana saja dan tidak membutuhkan pola penanganan ekstra. Produksinya yang cukup melimpah membuat harganya menjadi murah sehingga terkadang dapat dijadikan bahan alternatif pengganti nasi bagi warga yang kurang mampu.
Singkong memang di kenal sebagai bahan makanan pokok ke tiga setelah padi dan jagung. Tetapi di wilayah Amerika Latin, Karibia, Tiongkok, Nigeria dan Eropa singkong dijadikan pakan ternak.
Produksi rata-rata nasional tergolong masih rendah, sekitar 12 ton per hektare dan potensinya mencapai 30-40 ton per hektare. Rendahnya produksi disebabkan rendah kualitas bibit, teknik budidaya belum optimal sementara tingkat kesuburan tanah yang beragam. Alternatif upaya perbaikan teknologi salah satunya saat ini menggunakan bahan organik dan pola pengaturan jarak tanam. Sebagai komoditas substitusi makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, singkong juga merupakan komoditas ekspor. Nilai ekonomis dari singkong ini mampu menggerakkan sektor ekonomi khususnya sebagai bahan baku industri makanan ringan dan juga untuk pakan ternak.
Energi Ramah Lingkungan
Kebutuhan manusia terhadap energi menjadi suatu ketergantungan yang tidak dapat dilepaskan. Hanya saja eksploitasi energi hanya dilakukan pada sumber-sumber energi yang tak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam dan batubara. Karena konsumsi manusia kian hari kian bertambah, maka produksi energi menjadi semakin terbatas. Hal ini kemudian menjadi masalah dunia, ketika kebutuhan akan energi terutama untuk aktivitas industri dan transportasi menjadi tersendat karenanya. Bukan hanya karena terbatasnya produksi tetapi juga menimbulkan lonjakan harga.
Indonesia yang selama ini mampu memproduksi minyak nasional juga mengalami masalah yang sama dengan negara lainnya. Penurunan jumlah produksi minyak nasional tidak sebanding dengan meningkatnya pertambahan penduduk. Ketergantungan negara terhadap minyak impor tentu saja semakin menumpuk masalah di pemerintahan. Sebab pengurangan beban subsidi berdampak terhadap meroketnya harga minyak yang tentu saja berimbas pada gonjang-ganjjing perekonomian negara.
Pemerintah RI sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5 tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional. Dalam upaya mengembangkan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak seperti batubara dan gas. Disamping itu pihak pemerintah juga serius mengembangkan bahan bakar nabati melalui INPRES No 1 tahun 2006 yang dikeluarkan tanggal 25 Juni 2006 tentang penyediaan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan berupa biodisel dan bioethanol.
Sebagai bahan baku hayati untuk biofuel ini berasal dari produk-produk dan limbah pertanian. Teknologi yang dikembangkan saat ini berupa produksi ethanol, karena mengandung oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, serta bernilai oktan lebih tinggi dan ramah lingkungan karena emisi gas karbon monoksida yang terkandung jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar minyak.
Jenis-jenis tumbuhan yang diketahui merupakan tumbuhan penghasil energi diantaranya kelapa sawit (elaeis guineensis), jarak pagar (jatropha curcas), biji kemiri (aleurites fordii), tebu (saccharum officinarum), jarak kepyar (ricinus communis) dan singkong (manihot esculenta). Khusus yang terakhir, yakni singkong, kini menjadi perbincangan serius, karena paling dianggap potensial untuk dikembangkan di tanah air.
Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar ketiga yakni sebesar 13.300.000 ton dari total produksi dunia yang mencapai 122.134 ribu ton per tahun. Posisi Indonesia ini di bawah Brazil (25.554.000 ton) dan Thailand pada posisi ke dua (13.500.000 ton). Sementara negara-negara lain yang juga menghasilkan singkong dalam jumlah besar seperti Nigeria (11 ribu ton) dan India (6,5 ribu ton). Daerah-daerah penghasil singkong di Indonesia diantaranya Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Yogyakarta.
Saat ini produktivitas singkong lokal memang rendah karena masih menggunakan varietas lama dan sistem produksinya masih sampingan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas singkong dapat dilakukan dengan menjalankan teknologi budidaya yang tepat. Teknologi yang memungkinkan untuk di introduksi dalam rangka meningkatkan hasil yakni dengan menggunakan klon-klon singkong yang mempunyai kapasitas sumber yang besar atau dengan kombinasi antara klon yang mempunyai sumber dan lubuk yang besar. Teknologi yang dimaksudkan salah satunya teknologi mukibat.
Singkong mukibat merupakan tanaman dari hasil sambung atau grafting antara ubi karet sebagai batang atas dan ubi biasa sebagai batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai atas karena jenis singkong ini memiliki kapasitas sumber dan daun yang besar serta berwarna hijau tua sehingga tanaman mempunyai luas daun lebih luas dan laju fotosintesis lebih besar.
Rekayasa dalam bentuk ini bertujuan untuk meningkatkan hasil tanaman singkong. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan teknologi mukibat tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih tinggi berupa tanaman yang memiliki struktur tanaman lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI yang lebih tinggi dari tanaman singkong biasa. Selain itu dipastikan produksi akan meningkat minimal sebesar 30 persen dan jika kondisi wilayahnya bagus volume produksi malah akan meningkat sebesar 100 persen.Related Posts :
i love casavva