• Jurnalisme Koperasi tataran strategis dan teknis

    Jika di antara anda, ada yang menjadi wartawan di media umum atau media ekonomi, apa jawaban anda jika ada pertanyaan Banggakah Anda menjadi wartawan koperasi? Mengapa pertanyaan ini saya lontarkan? Tentu ada alasannya. Pengalaman saya yang hampir 11 tahun menjadi wartawan Koperasi di Suara Pembaruan, selalu ditanya? Apa sih enaknya jadi wartawan koperasi? Bangga nggak sih jadi wartawan yang meliput perkoperasian?

    Ketika awal menjadi wartawan perkoperasian , terus terang saya tidak bisa menjawab. Jika pertanyaan itu lebih mengarah, apakah anda bangga jadi wartawan, tentu saya jawab Ya. Tapi begitu ditanya, apakah Anda bangga menjadi wartawan perkoperasian, Saya pun terdiam.

    Baru setelah lima tahun melakukan peliputan di bidang itu, saya baru bisa menjawab. Saya bangga menjadi wartawan koperasi. Saya baru bisa melihat persoalan koperasi secara utuh. Bahwa apa yang saya lakukan tidak salah berada di bidang peliputan ini. Dan, hingga kini menjadi catatan penting dalam perjalanan hidup saya. Mengapa saya bangga menjadi wartawan koperasi? Tentu saya tidak bisa uraikan secara panjang lebar dalam pelatihan ini karena topiknya memang berbeda. Tapi sedikitnya, ada juga kaitan dengan tema pelatihan hari ini.

    Sebagai gambaran dan ini yang saya rasakan, dunia perkoperasian memang tidak masuk prioritas utama dalam pilihan berita. Berita koperasi baru dianggap penting, jika ada kasus soal, korupsi, atau antar pengurusnya berkelahi. Jika me­nyangkut perkembangan usahanya, prioritas pemuatan masih di bawah masalah se­perti perbankan, industri, perdagangan, telekomunikasi, pertambangan, kehutanan, dan sarana dan prasarana. Masalah koperasi umumnya disejajarkan dengan pertanian, UKM, pangan dan perumahan non konstruksi.

    Karena dalam ring menengah, bahkan cenderung di bawah itu, membuat keberadaan wartawan koperasi sering tidak menjadi barisan depan. Berita-berita kope­rasi di luar kasus, jarang menjadi berita halaman I atau head line di halaman dalam.

    Melihat kenyataan ini, lantas apakah telah terjadi diskriminasi terhadap dunia koperasi atau kepada wartawan koperasi? Terus terang saya katakan tidak. Itulah fakta dan realita yang harus diterima. Jika hal ini terjadi karena dikaitkan dengan kontribusi koperasi dalam perekonomian nasional masih sangat kecil. Pengakuan dan pandangan bahwa kontribusi koperasi dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap perekonomian nasional masih kecil (sekitar 5%, seperti yang dikatakan, almarhum Prof Dr Soedarsono Hadisapoetro, Ketua Umum Dekopin era akhir 80-an), juga membuat kalangan pengelola media massa melihat koperasi sebelah mata.

    Belum lagi banyaknya kasus penyelewengan dana, keributan antar pengurus dan pengelola di badan usaha itu, yang membuat koperasi semakin terpuruk di mata kalangan pengelola pers. Sementara fakta yang kita lihat sehari-hari juga demikian. Gebyar dan geliat dunia koperasi teramat timpang jika dibandingkan dengan swasta dan BUMN. Inilah yang membuat prioritas pemuatan masalah koperasi kecil dan wartawannya tidak masuk ke tim barisan depan.

    Kontradiksi

    Tapi jika dilihat dari sisi lain, melihat fakta di atas, ada semacam kesan ketidakadil­an. Barangkali kasus semacam ini hanya terjadi di beberapa negara yang sistem membangun koperasinya tidak baik, termasuk di Indonesia. Dari segi tataran idiil dan strategis dalam bernegara dan membangun perekonomian nasional, keberadaan koperasi sangat penting. Simak Pasal 33 UUD 45, begitu jelas bahwa para negarawan kita dulu dan para pengonsep UUD 45, menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.

    Lantas jika dalam praktiknya seperti yang kita lihat sekarang ini sejumlah pe­ngamat dan praktisi koperasi mengatakan yang salah bukan koperasinya, tapi orang-orang yang meletakkan dasar pembangunan koperasi, khususnya di era orde baru. Di era Orba, pembangunan koperasi lebih didekatkan pada kepentingan politik, dibanding dengan kepentingan ekonomi. Itulah awal dari kehancuran koperasi di Indonesia.

    Wartawan Yang Memihak
    Jika saya memulai tulisan ini dari bahasan di atas, saya ingin menegaskan, adanya pengucilan berita-berita atau tulisan perkoperasian di Indonesia karena dampak jangka panjang dari ketidakadilan dan ketidakberesan dalam meletakkan konsep dasar pembangunan perkoperasian itu. Karena itu, koperasi jarang mendapatkan citra yang baik. Dan, para jurnalisnya, begitu menulis dunia koperasi, berarti ia berada dalam satu sistem dan kehidupan yang berasal dari satu ketidakadilan tersebut.

    Hanya masalahnya, sadar atau tidaklah para wartawan yang bersangkutan? Apakah ia menulis koperasi karena memang mendapat tugas dari medianya yang menerima gaji dan menunggu giliran dirotasi, atau ia memang sadar, bahwa ia berada dalam satu kancah yang lahir dari ketidakadilan yang memang harus dibela. Dan saya salah satu wartawan yang pada tahun 1993 mulai menentukan sikap. Dunia perkoperasian memang harus dibela.

    Bahwa saya teramat sadar berada dalam dunia liputan atau penulisan koperasi yang sesungguhnya sistem yang ideal. Saya sangat meyakini apa yang kita tulis sepanjang konsisten dan penuh kepemihakan apa yang kita tulis bisa membawa perubahan, paling tidak perbaikan. Bahwa, hasil tulisan kita tentang koperasi, walau mungkin porsinya amat kecil, tapi punya arti yang sangat besar karena, di dalamnya terkandung magna-magna keperpihakan terhadap ketidakadilan dalam membangun dunia perekonomian nasional.

    Spesifikasi Penulisan Koperasi
    Terkait dengan hal-hal yang strategis di atas, dalam dunia jurnalisme, penulisan perkoperasian memang memerlukan pengetahuan khusus yang sangat berbeda dengan bidang-bidang lain, seperti perbankan, industri, perdagangan dan lain-lain.

    Pertama-tama yang mesti kita tahu ketika kita memutuskan atau ditugaskan menjadi wartawan koperasi adalah harus tahu, makhluk apa koperasi? Ini sangat penting karena akan berhubungan dengan pilihan masalah dan kata-kata yang bakal kita tulis.

    Ada beberapa hal yang wajib diketahui oleh para wartawan koperasi. (Saya mohon maaf bagi para wartawan koperasi senior. Uraian saya ini tidak begitu penting bagi anda karena sudah makanan sehari-hari). Tapi bagi wartawan pemula, uraian saya ini penting untuk diketahui guna memudahkan bagaimana anda melihat koperasi itu baik atau buruk atau juga bisa dijadikan untuk memilih topik dan angle (sudut pandang).

    Hal-hal penting itu antara lain :
    Asas Koperasi : kelebihan sistem koperasi adalah punya asas, yaitu asas gotong­royong. Di sinilah dalam membangun kebersamaan untuk maju bersama sangat tinggi. Asas ini, lebih menekankan pada akan kebutuhan bersama dalam bebera­pa hal di dalam berkoperasi. Karena itu, wartawan ketika melihat satu koperasi, se­be­rapa jauh para anggotanya menjunjung asas gotong royong ini. Jika di dalam berkoperasi, mereka tidak lagi menjunjung tinggi asas itu, mengisyaratkan kope­rasi tersebut kurang baik.

    Kekuasaan : Kekuasaan koperasi adalah di tangan anggota melalui Rapat Anggota (RA) dan para anggota koperasi khususnya yang aktif, memiliki hak yang sama, yaitu one man one vote. Dengan demikian, pengurus atau pengelola tidak bisa semena-mena menjalankan koperasi. Mereka harus melihat apa yang diputuskan melalui RA.

    Terkadang sistem yang begitu demokratis ini menjadi buah simalakama. Karena anggota punya hak yang sama, kerapkali melontarkan kritik atau ketidaksenang­an dengan seenaknya. Ini kerap menjadi sumber kericuhan dan kericuhan itu makanan empuk bagi pers. Kerap pers terpengaruh oleh suara-suara anggota atau pengurus yang tidak sejalan yang begitu bebas berbicara untuk dijadikan berita atau tulisan. Akibatnya, bisnis koperasi bersangkutan menjadi terganggu. Jika berada dalam situasi demikian, wartawan juga harus hati-hati. Kode etik jurnalistik hendaknya diperhatikan. Kerja check and balance dan cover both side (keseimbangan dalam menggali dan menulis) perlu dilakukan. Jika tidak, ko­perasi itu bisa hancur atau rusak akibat tidak seimbangnya berita itu. Di sinilah tuntutan profesional yang memihak dari wartawan koperasi.

    Sisa Hasil Usaha (SHU) : Saya tidak tahu persis, dasar kalangan koperasi ketika menentukan hasil usaha tidak menggunakan istilah rugi-laba, melainkan Sisa Hasil Usaha (SHU). Mungkin teman-teman dari kalangan koperasi bisa menjelaskan. Tapi itulah salah satu ciri khas koperasi. Dalam pembukuan selalu menggunakan istilah sisa hasil usaha. Yang ingin saya tekankan disini, bukan soal istilah SHU itu, melainkan, sisi lainnya. Bagi wartawan dalam melihat keberhasil­an koperasi jangan semata-mata dari besarnya SHU. Besarnya SHU bukan satu-satunya ukuran koperasi itu sukses. Walaupun keuntungan adalah tuntutan mutlak dalam menjalankan usaha, tapi dalam koperasi ada sisi-sisi lain yang patut diperhatikan. Misalnya dalam pelayanan kepada anggota, penyisihan dana pendidikan, pengobatan dan pendidikan berkoperasi yang baik. Tidak perlu dipersoalkan serius koperasi SHU nya kecil, tapi ternyata pelayanan kepada anggota cukup baik. Hal-hal seperti inilah yang juga patut menjadi perhatian pers.

    Kumpulan Orang : Jika ada pertanyaan di mana bedanya usaha swasta dan koperasi? Salah satu jawabannya adalah koperasi itu kumpulan orang. Sedang swasta itu kumpulan modal. Karena koperasi adalah kumpulan orang, jelas sekali keberadaan dan partisipasi aktif para anggotanya sangat menentukan. Salah satu indikasi ko­perasi itu baik dan sukses jika badan usaha itu cukup memiliki banyak jumlah anggota. Misalnya di sebuah kecamatan, kalau KUD atau koperasi di daerah itu, anggota­nya lebih dari 50% dari jumlah KK dan mereka aktif, ini merupakan indikasi bahwa koperasi itu tergolong sukses. Begitu juga koperasi-koperasi di perkotaan atau kope­rasi karyawan semakin banyak anggotanya yang berpartisipasi aktif merupakan gambaran bahwa koperasi tersebut memang dibutuhkan masyarakat, khususnya anggota. Hal ini juga patut menjadi perhatian teman-teman pers.

    Saya kira contoh-contoh lain masih banyak sekali yang patut diketahui oleh teman-teman wartawan pemula di bidang perkoperasian. Jika saya uraikan satu persatu akan memakan waktu dan kertas berlembar-lembar. Yang penting teman-teman banyak mengetahui prinsip-prinsip koperasi yang dikeluarkan oleh organisasi ko­perasi internasional.

    Selain dari tataran strategis, pada tataran teknis pun idealnya wartawan peliput perkoperasian mengetahui. Misalnya dari cara pembagian jasa SHU, penyelenggaraan RAT sampai ke mekanisme pendirian koperasi serta pemilihan pengurus. Jika wartawan koperasi dari tataran strategis dan teknis telah menguasai, saya yakin bakal menjadi wartawan perkoperasian yang baik.

    Pers pada umumnya, sebagaimana yang saya amati, selama ini, belum melihat koperasi dari beberapa sisi dan aspek. Bahkan ada kecenderungan orang-orang pers, khususnya media umum, cenderung skeptis atau tidak menganggap penting, bahwa koperasi adalah suatu subyek atau obyek yang menarik untuk diangkat untuk mendongkrak oplag atau mendatangkan iklan. Inilah tantangan bagi kita yang telah ada dan menjadikan koperasi sebagai karir jurnalistik.

    Memang diperlukan pandangan atau persepsi tersendiri dalam melihat koperasi dari sisi jurnalistik. Dan, pandangan itu akan berkenan antara hati dan pikiran, jika wartawan yang bersangkutan punya rasa keberpihakan, tanpa mengorbankan profesionalisme sebagai jurnalis. Dan, Majalah PIP, memberi peluang anda-anda untuk menjadi wartawan perkoperasian yang profesional dan berpihak pada yang benar.

    Oleh : Suyono AG

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post