• Reportase Investigatif

    Apakah reportase investigatif itu?
    Siapa dan bagaimanakah reporter Investigatif itu?

    Definisi investigative reporting atau reportase investigatif ini, sejauh ini masih, terjadi silang pendapat di antara banyak ahli. Robert Greene dari Newsday menyatakan liputan investigasi merupakan karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan.

    Ada tiga elemen dasar—sebagai persyaratan minimal—tentang liputan investigasi: bahwa liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasli investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.

    Reportase investigatif merupakan jurnalisme “membongkar kejahatan”. Ada suatu kejahatan yang biasanya terkait dengan tindak korupsi yang ditutup-tutupi. Wartawan yang baik adalah wartawan yang akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen yang bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan dibelakangnya.

    Apakah ini berarti semua wartawan dapat menjalankan fungsi investigasi? Apakah semua wartawan dapat menjadi reporter investigatif?
    Jawabannya bisa ya bisa tidak. Sebagian mengatakan bisa dengan alasan sederhana. Bahwa jika obyek investigasi adalah segala masalah di segala tempat dan waktu, yang penting berbau kejahatan, maka semua wartawan dapat menjadi reporter investigatif. Sebaliknya sebagian yang lain mengatakan tidak bisa. Alasannya bahwa untuk menjadi reporter investigatif harus memiliki karakter-karakter khusus. Paling tidak reporter investigatif adalah orang yang mempunyai “kepribadian yang agresif”.

    Lebih daripada itu, tuntutan yang paling dasar adalah apa yang oleh William Lambert disebut “suatu ambang kegusaran yang rendah,” atau suatu kemampuan untuk marah. Jika ini tidak anda miliki, rasanya sulit bagi anda dapat membongkar kejahatan-kejahatan yang menjadi obyek investigasi anda. Mengutip Ben J. Wattenber, “Reporter investigatif memiliki kecenderungan seperti ikan piranha—mereka akan mengejar apa saja yang mengeluarkan darah.”

    Selain itu, tidak jauh berbeda dengan wartawan lainnya, yaitu memiliki skill jurnalistik yang baik, vitalitas dan mau bekerja keras. Film “All The President Man” yang bercerita tentang kerja dua wartawan Washington Post dalam mengungkap kasus Watergate di Amerika Serikat, merupakan contoh yang baik. Dari film itu terlihat reportase investigatif memang lebih berat dari rata-rata pekerjaan jurnalisme sehari-hari.

    Apa yang perlu diingat adalah bahwa anda tidak bisa menerima mentah-mentah setiap peristiwa dan pernyataan yang anda dapatkan. Anda harus melakukan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak mengenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting. Di sini anda juga tidak bisa hanya mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah LSM.

    Bagaimana dengan masalah waktu? Sebuah laporan investigasi biasanya memakan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut.

    Apa beda reportase investigatif dengan bentuk reportase lainnya, seperti reportase dasar, reportase madya atau reportase lanjutan?
    Bedanya dengan reportase lanjutan atau reportase analisis terletak pada kemudahan dan kesukarannya mengumpulkan data dan menembus narasumber. Reportase analisis, dalam kebanyakan kasus, tidak menemui banyak masalah, sebab biasanya ia memberi penjelasan mengenai kejadian-kejadian umum dan bisa mendapatkan banyak narasumber yang dengan senang hati membantunya. Bahkan, dalam reportase analisis bidang politik, misalnya satu bahaya utama yang harus divermati adalah terlalu banyaknya narasumber yang ingin memberikan informasi yang berlebihan demi kepentingan mereka sendiri.

    Sebaliknya, pada reportase investigatif reporter cenderung mengalami banyak kesulitan. Itulah mengapa reportase investigatif disebut sebagai pekerjaan membuka pintu dan mulut yang ditutup rapat.

    Bedanya dengan in-depth-reporting? Menurut Andreas Harsono, direktur eksekutif ISAI, Investigative Reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth-reporting. Dalam melakukan in-depth-reporting seorang wartawan bsia berangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya—setelah melakukan banyak wawancara, membaca tumpukan dokumen serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya—saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan inilah yang bersifat investigatif.

    Bagaimana riwayat reportase investigatif?
    Merujuk ke negeri Paman Sam, istilah reportase investigatif mulai populer pada tahun 1975 ketika di Columbia didirikan Investigative Report dan Editor Inc. Sebe­lumnya ada istilah muckraking journalism antara tahun 1902 hingga 1912 ketika majalah McClure asuhan Lincoln Steffens, Ida M. Tarbell, dan Ray Stannard Baker ini menerbitkan artikel-artikel yang membongkar politik uang elit Washington.

    Di Asia, kembali menurut Andreas Harsono, Filipinalah yang pertama kali memiliki organisasi semacam Phillipines Center for Investigative Journalism ketika sekelompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat setelah diktator Ferdinand Marcos melarikan diri dari Filipina.

    Dan pada November 1998 di Cambridge, Amerika Serikat, juga diadakan pertemuan perdana dari International Consortium of Investigative Journalist yang memberikan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya dengan baik di bidang investigasi. Dan untuk pertama kali penghargaan ini diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang berpangkalan di Hongkong atas jerih payah dan prestasi Thayer dalam mewawancarai pemimpin Khmer Merah Pol Pot.

    Bagaimana dengan Indonesia? Tidak cukup jelas kapan istilah ini mulai populer. Namun setidaknya saat ini ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun 1990-an menggunakan kata “investigasi” dalam liputan mereka; majalah Tajuk dan TEMPO adalah dua contoh yang dapat dikedepankan. Sebelumnya, laporan investigasi yang terkenal di Indonesia adalah liputan harian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Kini, sudah tak terhitung lagi berapa banyak laporan investigasi yang telah dihasilkan wartawan-wartawan Indonesia, salah satunya yang paling menarik adalah apa yang dilakukan wartawan Freelance, Bondan Winarno tentang skandal emas Busang.

    Apa saja langkah-langkah menjalankan reportase investigatif?
    Sheila Coronel, direktur Phillipines Center for Investigative Journalism (PCIJ), secara singkat membagi proses investigasi kedalam dua kali tujuh bagian. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi. Ini akan mempermudah seorang wartawan investigasi dalam mengatur sistematika pekerjaannya.

    Langkah Pertama:
    - Petunjuk awal (first lead).
    - Investigasi pendahuluan (initial investigation)
    - Pembentukan hipotesis (Forming an investigative hypothesis)
    - Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
    - Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts)
    - Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
    - Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)

    Langkah Kedua:
    - Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
    - Pengorganisasian file (organizing files)
    - Wawancara lebih lanjut (more interviews)
    - Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
    - Penulisan (writing)
    - Pengecekan fakta (fact checking)
    - Pengecekean pencemaran nama baik (libel check)

    Trik-trik Mengajukan Pertanyaan dalam Wawancara Investigasi:
    Cara-cara wawancara dibawah ini tidak serumit kedengarannya. Apa yang terpenting adalah ajukan sebuah pertanyaan yang tajam, tapi ingat sepatah katapun dapat membedakan sebuah pertanyaan bisa berhasil membuahkan informasi atau tidak!

    1. Pertanyaan dalam wawancara investigasi tidaklah diperlakukan sama seperti layaknya sebuah pertanyaan. Artinya bahwa informasi yang sedang kita korek harus dianggap sebagai fakta yang sudah diketahui. Seorang reporter bukannya akan bertanya, “Apakah anda pergi ke New Orleans bulan yang lalu?”, melainkan ia akan bertanya, “Mengapa Anda pergi ke New Orleans bulan yang lalu?”. Walaupun sederhana teknik serupa sangat produktif.

    2. Versi yang lebih canggih dari teknik ini, reporter menyembunyikan bagian pertanyaan yang dianggap paling genting pada awal kalimat, dengan menempatkannya di bawah sebuah tuduhan yang mematikan: “Apakah betul bahwa ketika Anda pergi ke New Orleans bulan lalu Anda menghabiskan akhir minggu Anda di yacht milik Sneaky Oil Company?”

    3. Versi yang lebih rumit lagi, yang dirancang untuk mengarahkan keseluruhan wawancara, dijelaskan oleh Brit Hume dalam Inside Story (Doubleday, 1974). Intinya Anda memulai dengan menuduh seseorang (yang diwawancarai) melakukan sesuatu yang Anda sendiri tahu bahwa ia tidak mungkin terlibat didalamnya. Biasanya, dalam usaha menyangkal tuduhan Anda yang semena-mena itu ia akan mengakui yang sebenarnya. Ini seperti sering dilakukan oleh para penagih hutang. Jika mereka kesulitan menagih seseorang yang berutang 100 dolar, mereka mengirimi orang itu surat yang menyatakan bahwa ia hutang 600 dolar dan harus melunasinyau ntuk menghindari tindakan oleh pengadilan. Bisa dijamin ia akan menjelaskan jumlah hutang yang sebenarnya. Taktik ini juga sering dilakukan oleh polisi, dengan menuduh seseorang telah melakukan pembunuhan berencana padahal mereka mempunyai dugaan kuat bahwa pembunuhan itu tidak direncanakan. Dalam keadaan semacam itu kebanyakan orang akan memutuskan untuk lebih baik mengatakan yang sebenarnya daripada harus menghadapin lebih banyak lagi tuduhan yang lebih berat.

    4. Versi lain yang mencakup serangkaian pertanyaan ditandaskan Jack Anderson. Ia selalu mulai dengan mengajukan pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya. “Saat orang bersangkutan mulai bicara, saya berkata, ‘Tunggu dulu. Bukti-bukti pengadilan menunjukkan bahwa...’ itu akan membuatnya gelagapan.” Taktik seperti ini niscaya mampu membuat subyek merasa bimbang: seberapa banyakkah yang diketahui oleh reporter ini?
    5. Versi lain adalah wawancara “gertak”. Bersikaplah bahwa anda mengetahui sesuatu secara pasti. Reporter yang memperlihatkan ketidaktahuannya justru akan melumpuhkan dirinya sendiri. Namun demikian, ini menuntut persiapan yang matang.

    Jenis-jenis Pengakuan:
    1. On The Record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama serta gelar orang yang membuat pernyataan tersebut. Kecuali bila disepakati lain, semua komentar dianggap boleh dikutip.
    2. On Background. Semua pernyataan boleh langsung dikutip, tetapi tanpa menyebutkan nama atau gelar tertentu orang yang memberi komentar itu.
    3. On Deep Background. Apapun yang dikatakan boleh digunakan, tetapi tidak dalam suatu kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan. Reporter harus menggunakan informasi yang diperolehnya untuk dirinya sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya, apakah dari sebuah departemen atau pejabat pemerintah.
    4. Off The Record. Informasi yang diberikan hanya untuk reporter dan tidak boleh dicetak atau disebarluaskan dengan cara apapun. Informasi itu juga tidak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan bahwa informasi itu kemudian boleh dikutip. Secara umum dimengerti bahwa rencana penyampaian berita secara off the record harus disepakati terlebih dulu oleh reporter. Kebanyakan reporter tidak mau menerima informasi yang off the record.
    5. Affidavit. Adalah pernyataan tertulis—biasanya oleh para saksi mata—yang dibuat dibawah sumpah dihadapan notaris publik. Fungsinya sangat besar dan penting. Pertama, narasumber Anda tidak bisa lagi berkata bahwa dirinya telah dikutip secara keliru. Kedua, affidavit memperkuat berita. “Demikianlah, sesuatu dengan affidavit dari lima pegawai negara bagian....”

    ***

    Mengapa harus wawancara? Jawabannya sederhana, karena dengan wawancara seorang wartawan bisa menggali opini dan informasi tentang sebuah peristiwa/masalah. Wawancara adalah jalan pintas. Karena wartawan tidak bisa selalu memperoleh semua berita secara langsung sekalipun peristiwanya terjadi di sekitarnya. Di sinilah perlunya seorang wartawan melakukan rekonstruksi peristiwa/masalah melalui saksi mata, mereka yang terlibat, atau pakar. Untuk melakukan wawancara ada beberapa hal yang perlu diingat:

    SEBELUM WAWANCARA
    1. Menentukan Nara Sumber yang Tepat
    Yang penting anda tahu siapa yang anda butuhkan. Tidak harus orang besar, orang penting atau orang terkenal. “Orang biasa” pun menjadi menarik dan berharga jika ia berada pada saat yang tepat. Hanya saja, apa yang perlu kita ingat kemudian adalah bahwa pembaca lebih respek pada jawaban-jawaban yang diperoleh dari sumber atau tokoh yang lebih dekat dengan berita dan tahu tentang permasalahan.

    2. Mempersiapkan Pertanyaan yang Cerdas
    Pertanyaan yang cerdas tidak datang dengan tiba-tiba. Ia muncul dari otak yang selalu diasah dan diisi. Seorang wartawan harus benar-benar tahu kata kunci sebuah permasalahan dan mampu memetakannya. Dan itu pada dasarnya da­pat dipersiapkan dengan melakukan diskusi dan penggarapan tema yang intens.

    Apa keuntungan dan kerugian dan mempersiapkan dan tidak mempersiapkan pertanyaan yang cerdas?

    - Anda tidak perlu memboroskan waktu anda untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu.
    - Menjadikan anda tidak mudah dibodohi oleh nara sumber. Anda akan lebih gampang mengetahui bagaimana sikap nara sumber: enggan menyinggung topik yang anda bicarakan atau hanya memberi jawaban sepihak dari suatu permasalahan?

    Apa akibatnya jika pertanyaan yang cerdas itu kurang dipersiapkan? Dijamin anda akan terlihat seperti seseorang yang blo’on, karena muncul sikap ketergantungan terhadap jawaban-jawaban nara sumber.

    Ingin tahu banyak hal seperti anak kecil adalah suatu hal yangp ositif, tapi sikap seperti itu harus diletakkan pada tempatnya, kalau tidak, anda akan mengalami kesulitan untuk mendeteksi mana ungkapan yang baru, penting atau kontroversial.

    Wartawan yang baik akan menyusun daftar pertanyaan berdasar urutan logis agar nara sumber bisa menjawab secara berurutan dan sistematis. Caranya bisa dengan membuat “bandul pertanyaan”. Pada saat wawancara atau selesai wawancara usahakan mencek pertanyaan-pertanyaan yang belum dan sudah dijawab. Anda tidak perlu malu menanyakan ulang pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab atau dijawab dengan tidak jelas.

    Dalam membuat pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya, kita tanyakan pada diri kita sendiri; “Apakah para pembaca juga akan menanyakan pertanyaan yang saya sampaikan? Mana fakta-fakta yang baru, penting dan manakah yang kira­nya paling disukai dan diminati pembaca pada umumnya?”

    3. Membuat Janji
    Caranya, bisa langsung dengan bertatap muka dengan nara sumber atau melalui telepon. Di sini yang dibutuhkan adalah kemampuan lobby (merayu) seorang wartawan. Untuk itu anda harus terbuka dan jujur dalam menerangkan identitas diri anda.
    Jangan memakai jam karet. Datanglah tepat waktu. Kadang kesempatan tidak datang dua kali. Dan untuk beberapa nara sumber yang sulit diwawancarai anda seperti perlu untuk “bermain-main”, menggunakan “trik-trik” khusus. Pengalaman adalah guru yang terbaik.

    4. Mempersiapkan Alat-Alat
    Ini mudah tapi jangan disepelekan, bukan tidak mungkin hanya karena tape-recorder yang macet atau kehabisan baterai, seluruh wawancara Anda gagal total. Apa yang harus dipersiapkan: Tape-recorder, kaset, block note, ball-point atau kamera.


    KETIKA WAWANCARA
    1. Basa-basi
    Sebelumnya, perlu diingat, sebagai seorang wartawan, paling tidak anda selain harus datang tepat waktu, adalah anda harus berpakaian pantas, sopan dan berpenampilan menarik dan meyakinkan. (Saya tekankan ini!)

    Dan untuk menghangatkan suasana dengan nara sumber, pertama-tama seorang wartawan perlu memperkenalkan diri secukupnya, ngobrol santai tentang masalah-masalah yang sedang menghangat, sebelum akhirnya masuk ke topik permasalahan yang ingin kita tanyakan.

    Ini tidak saklek. Lihat saja situasinya. Kalau nara sumber punya banyak waktu, bolehlah cara ini anda lakukan. Jika tidak, usahakan pertanyaan-pertanyaan pen­ting anda ajukan terlebih dahulu, sehingga kalau kehabisan waktu, yang tersisa adalah pertanyaan yang dianggap kurang penting.

    2. Melontarkan Pertanyaan yang Cerdas
    Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang cenderung pendek, singkat, jelas dan relevan. Di samping itu, usahakan spesifik. Pertanyaan umum cenderung akan menghasilkan jawaban yang umum pula.

    Untuk itu, sebaiknya anda menghindari pertanyaan-pertanyaan yang hanya dijawab dengan jawaban “ya” atau “tidak”, kecuali untuk masalah-masalah tertentu (baca: trik-trik mengajukan pertanyaan).

    Dan jika diperlukan anda bisa meminta nara sumber untuk menunjukkan dokumen atau angka statistik yang mendukung argumentasinya. Atau meminta sumber menggambarkan suatu bagan atau bahkan memperagakan bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Sekali lagi, tidak perlu malu-malu!

    3. Mengemudikan Wawancara
    Seorang wartawan harus bisa mengontrol wawancara: mulai dari pengajuan pertanyaan-pertanyaan, mengarahkannya dan memutuskan untuk pindah ke perta­nyaan yang lain. Sehingga diharapkan informasi dari sumber benar-benar terkorek habis.

    Wartawan yang baik juga harus menjadi pendengar yang baik. Anda harus mende­ngarkan dengan seksama untuk meyakinkan bahwa nara sumber telah menjawab pertanyaan yang diajukan—dan untuk meyakinkan bahwa anda telah memahami jawaban yang diberikan. Anda juga dapat meminta kepada nara sumber untuk me­ngulangi atau menjelaskan kembali jawaban-jawaban yang dirasa kurang jelas.

    Anda juga harus tanggap ketika nara sumber menyampaikan fakta-fakta baru yang menarik. Kejar terus sedetail mungkin meskipun itu berada di luar penugasan.

    Dalam pengertian tertentu, anda tidak perlu berdebat dengan nara sumber. Anda hanya perlu mendorong nara sumber untuk mengungkapkan sejelas dan selengkap mungkin pendapat dan informasinya. Dan jika nara sumber berbicara terlalu cepat, anda dapat memintanya untuk memperlambat pembicaraan atau meminta mengulanginya.

    Anda juga harus bisa menganalisa bahasa non-verbal nara sumber anda: gerak tubuh, mimik wajah, marah atau tertawa. Ini sangat penting ketika penulisan.

    4. Mencatat atau Merekam
    Ini problem yang cukup serius, khususnya bagi pemula. Wartawan senior biasa­nya punya saran: “Jangan menulis apapun selama wawancara berlangsung!”. Alasannya, mereka khawatir jika anda menulis, sumber menjadi sungkan dan kurang bebas mengungkapkan sesuatu. Juga, anda sendiri mungkin akan ke­sulitan dalam mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Jalan keluar terbaik adalah merekam wawancara. Ini juga penting untuk jadi bukti.

    Namun demikian, ada juga beberapa wartawan yang anti-rekaman. Alasannya, “anda akan kerja dua kali!”, yaitu anda harus mentranskrip ulang. Logis juga sebe­narnya.

    Bagaimana dengan anda? Jalan keluar yang optimal adalah merekam sekaligus mencatat. Wartawan mencatat secara cepat—terutama kata-kata kunci, ungkap­an-ungkapan menarik, angka dan nama. Belakangan, ketika membuat laporan, dia bisa mengecek ulang ketelitiannya dengan memutar kembali rekamannya tanpa harus mendengarkan seluruh rekaman.

    Segera setelah wawancara, seorang wartawan dapat memeriksa catatannya dan menuliskannya ketika segala sesuatunya masih segar diingatan. Jangan ditunda, semakin lama anda menunda, semakin banyak hal yang dilupakan.

    Oleh Dwitri Waluyo

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post