• Tehnik Reportase

    Seperti halnya bangunan, kegiatan jurnalistik, berdasarkan teknik-tekniknya bisa dikelompokkan kepada tiga jenis :
    1. Reportase Dasar (straight news).
    2. Reportase Madya (news feature).
    3. Reportase Lanjutan (news analysis).

    Semua teknik reportase dasar mutlak diperlukan dalam reportase madya dan reportase lanjutan. Akan tetapi, banyak teknik-teknik reportase lanjutan yang tidak perlu dipakai dalam reportase madya dan reportase dasar. Demikian juga halnya dengan teknik reportase madya dalam reportase dasar.

    A. Contoh reportase dasar.
    Dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun yang mengalami gizi buruk selama Januari-Mei 2005 di Nusa Tenggara Barat, tujuh diantaranya meninggal dunia. Para korban itu meninggal karena menderita kekuarangan kalori dan protein amat parah. Hal tersebut ditandai dengan perubahan fisiknya yang sudah mencapai tingkat ma­rasmus kwarsiorkor atau busung lapar.

    Dari tujuh anak balita yang meninggal itu, enam meninggal di Rumah Sakit Umum (RSU) Mataram, seorang meninggal di rumah penderita. Hal itu diungkapkan dr Mar’i Sanad, Kepala Sub-Dinas Pelayanan Kesehatan dan Gizi Dinas Kesehatan NTB, dalam rapat koordinasi untuk membahas masalah gizi buruk di daerah itu, Rabu (25/5) di Mataram. Rapat koordinasi dipimpin Gubernur NTB Lalu Serinata, didampingi Wakil Gubernur NTB Bonyo Tamrin Rayes.
    Kasus kematian anak balita itu diperoleh dari laporan puskesmas di NTB. Dari 51 anak balita penderita gizi buruk, sebanyak 26 anak berasal dari Kabupaten Lombok Barat. Menurut catatan, setiap bulan rata-rata 100 anak penderita gizi buruk harus dirawat di RSU Mataram.
    Dalam laporan ke Dinas Kesehatan NTB disebutkan, selama Januari-Mei 2005 (dari minggu pertama hingga minggu ke-17) tercatat 245 kasus gizi buruk. Jumlah itu meliputi 1 kasus di kota Mataram, 7 kasus di Lombok Tengah, 20 kasus di Lombok Barat, dan 217 kasus di Lombok Timur.
    (Disarikan dari Harian Kompas 26 Mei 2005)

    Pada berita yang merupakan hasil reportase wartawan ini mengandung enam (6) unsur, yakni :
    1. Peristiwa busung lapar (What : Peristiwa apa yang terjadi)
    2. Siapa yang terlibat (Who : anak-anak balita)
    3. Kapan terjadi (When : Januari-Mei 2005)
    4. Di mana peristiwa itu terjadi (Where : Nusa Tenggara Barat)
    5. Bagaimana kejadiannya (How : Menderita kekurangan kalori dan protein, lalu meninggal dunia)
    6. Mengapa peristiwa itu terjadi (Why : Akibat gizi buruk)


    B. Contoh reportase madya :
    MALANG nian nasib Slamet (5). Dia menderita kekurangane energi protein berat, sekaligus chelof thalmia, yaitu mata kanannya buta, dan mata kirinya kabur karena kekuarangan vitamin A dua tahun lalu. Secara medis, Slamet terancam buta total, bahkan busung lapar, jika tidak mendapat makanan bergizi dan berprotein yang cukup.
    Indikasi ke arah itu memungkinkan melihat kondisi sosial ekonomi, selain kondisi sanitasi dan lingkungan tempat tinggalnya, Lingkungan Jempong Barat, Keluarahan Karang Pule, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dia tingal bersama neneknya, Ali (60), di sebuah rumah beratap seng dan berdinding bata.

    Rumah berukuran 6 x 3 meter itu disekat jadi ruangan tanpa ventilasi, dan sebuah teras memanjang. Lantainya belum diplester dan diceceri kotoran ayam yang mengering. Di depan rumahnya ada kandang kuda penarik cidomo, kendaraan khas di Lombok, sebuah sumur, dan dipan tua.

    Sejak lahir Slamet sudah piatu karena ibunya, Jasmiah, meninggal saat dia dilahirkan. Jasmiah, ketika mengandung Slamet tujuh bulan, diceraikan suaminya, Mustafa. Jasmiah lalu tinggal dengan orangtuanya, pasangan Ali-Masaah. Ayah kandungnya pun tidak pernah menjenguk Slamet.

    Begitu Slamet lahir, Jasmiah pun meninggal. Slamet kemudian dirawat di Rumah Sakit Umum Mataram selama 1,5 bulan. Keluar dari Rumah Sakit, Slamet mendapat air susu ibu alias disusui neneknya, Masaah, atau minum air teh dan air gula.

    Sejak Jasmiah bercerai dan meninggal, Masaah stres berat, yang kemudian menjadi alasan Ali mencerainya. Slamet kini praktis diasuh kakeknya. Untuk me­nyambung hidup, Ali memanfaatkan cidomo dan seekor kuda miliknya yang dibeli seharga Rp 6 juta.

    Uang pembelian kendaraan dan kuda dipinjamkan kepada tetangganya yang pelunasannya dicicil Rp. 10.000 per hari. Hasil jadi sais rata-rata Rp. 20.000 sehari, kemudian setelah dibagi untuk angsuran cidomo dan kuda, Rp 10.000, sisanya Rp 10.000 habis dipakai membeli bahan pangan kuda berupa rumput dan dedak.
    Penderitaan Ali pun lengkap sudah ketika kudanya diboyong pencuri tiga bulan silam, sedangkan cidomo-nya dibakar pada bagian depan sebelah kanan, serta roda kanannya copot dari asnya. Sejak alat tambang nafkahnya hilang, Ali jadi pekerja serabutan, yaitu tukang sabit rumput yang hasilnya dijual Rp 3.000 - Rp 3.500.
    Atas jasanya itu, Ali diupah 20 kilogram gabah kering panen yang diambil bila panen padi. Untuk kebutuhan sehari-hari, Ali mendapatkan dari pemberian tetangga. Tiga bulan terakhir ia malahan berutang tiga kuintal beras buat makan bersama cucunya.
    Sudah kurang beruntung secara ekonomi, Ali dan Slamet rentan pula terhadap serangan penyakit. Pasalnya, sanitasi dan lingkungan tempat tinggalnya buruk. Saluran air yang berada di lingkungan itu menjadi ajang pembuangan beragam limbah, termasuk tempat anak-anak buang hajat. Ampas perut manusia menyatu dengan kotoran kuda yang berkandang di pinggir got itu.
    Tidak heran keluar bau kurang sedap menusuk hidung yang bersumber dari tumpukan limbah di sepanjang saluran saat air tak mengalir. Lingkungan jempong Barat adalah cermin buruk sanitasi dan lingkungan Kota Mataram. Kota seluas 6.130 ha itu terdiri dari 23 kelurahan, 247 lingkungan, 403 rukun wilayah, dan 1.257 rukun tetangga.

    Penduduknya, 340.513 jiwa, tersebar di kecamatan Ampenan (125.832 jiwa berkepadatan 4.800 jiwa per kilometer persegi), Kecamatan Mataram (109.440 jiwa, dengan kepadatan 5.802 per kilometer persegi) dan Cakranegara (105.241 jiwa berkepadatan 5.000 jiwa per kilometer persegi).

    ***

    TINGGAL dan hidup berdesakan di ruang sempit berdampak pada kesehatan, terlihat dari 10 macam penyakit di Kota Mataram diantaranya infeksi saluran pernapasan akut, penyakit infeksi kulit, alergi kulit, diare, demam berdarah, dan pneumonia.

    Penyakit-penyakit itu biasanya jadi petunjuk awal diketahuinya busung lapar bagi anak balita. Kematian delapan anak balita karena busung lapar di NTB antara lain disumbang oleh penyakit tadi. Pertama, Marjanah, anak kesembilan dari 10 bersaudara pasangan Abdulrahman-Rusmini, warga Lingkungan Karang Seme, Kelurahan Karang Pule.

    Menyusul anak balita Nuruljanah (10 bulan), anak kelima M Sa’i-Rumenah, warga Lingkungan Geguntur, Kelurahan Karang Pule, yang dirujuk ke Rumah Sakit Umum Mataram, Sabtu (28/5). Nuruljanah diketahui menderita gizi buruk dengan gejala klinis badan kurus kering dan kulit mengeriput (marasmus). Menurut Rumenah, bayi­nya sebelumnya suka buang air besar disertai darah, kerap kali diberi makan nasi campur garam dan pisang.

    Saat sakit Nuruljanah selalu dibawa berobat ke dukun, tetapi ia tidak sembuh, malah tubuhnya kian mengecil. Kesehatan bocah itu kian memburuk mengingat tempat tinggal orangtuanya tidak sehat, berupa rumah semipermanen, berlantai semen seluas 6 x 5 meter. Rumah yang tanpa ventilasi itu ditempati dua keluarga, dan disekat dindingnya.

    Kondisi tubuh Nuruljanah yang mengecil itu membuat ibunya malu membawanya diperiksa ke puskesmas. Khawatir akan keselamatan anaknya, Rumenah memeriksakan kesehatan Nuruljanah ke Puskesmas Karang Pule, pekan lalu.

    Nasib serupa dialami Lalu Muhammad Fahmi (2,2 tahun). Anak hasil perkawinan Jamiah (30) dan Lalu Sudirman, warga Kampung Bawah Gunung, Kecamatan Sakra, Lombok Timur. Sudirman tiga tahun silam merantau ke Malaysia. Selain kekurangan gizi, anak ini menderita polio sejak tiga bulan lalu.
    Saat ditemui Sabtu, Fahmi mengidap pilek berat sejak tiga hari sebelumnya. Ibunya, Jamiah, belum membawa anaknya berobat ke Puskesmas Sakra karena tidak memiliki uang. Suaminya yang merantau sejak tiga tahun silam tidak pernah me­ngirim kabar, apalagi uang.

    Nasib Slamet, NurulJanah, Fahmi dan anak-anak lainnya di NTB tidak bisa hanya ditangani ibarat petugas pemadam kebakaran: dikunjungi, diberi uang secukupnya, lalu ditinggal. Tak perlu dibicarakan hingga berbusa-busa di hotel berbintang. Sebaliknya, mereka perlu penanganan secara terencana dan konkret bagi masa depan hidupnya.

    Kalau kini banyak orang cenderung ngomong, niscaya mereka akan membalasnya dengan seruan, “Selamatkanlah jiwa kami”.

    Intinya, Reportase Madya mengandung lebih banyak informasi (dari orang-orang atau keluarga penderita busung lapar).

    C. Contoh Reportase Lanjutan :
    Busung Lapar, Ironi Desentralisasi
    LAGI-lagi bangsa ini harus menapaki lintasan ironi sejarah yang sangat me­ngusik hati nurani sekaligus mengerikan. Penyakit perut buncit (marasmus kwashiorkor) atau busung lapar tiba-tiba muncul di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung beras. Fenomena gunung es yang melukiskan kekurangan protein kronis pada anak-anak ini juga muncul di daerah “busung korupsi”, buah dari perubahan politk (baca: reformasi) dari sentralisasi ke otonomi dae­rah.

    Peristiwa ini benar-benar mengerikan karena lost generation menghantui masa depan bangsa ini. Secara nasional, kasus busung lapar yang menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun mencapai angka delapan persen. Sesuai dengan proyeksi penduduk indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta. Itu berarti saat ini ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita busung lapar.
    Dalam pertumbuhannya, otak anak-anak ini tidak akan berkembang, cacat, dan tak akan pernah bisa dipulihkan.

    Di NTB sendiri, anak balita yang menderita busung lapar mencapai 10 persen dari total anak balita. Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr IK Gerudug mengemukakan, sesuai dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), di NTB ada sekitar 498.000 anak balita. Dengan demikian, sekitar 49.000 anak balita di antaranya menderita gizi buruk atau bahkan busung lapar.

    Kejadian luar biasa yang muncul akibat kemiskinan struktural ini tidak seharus­nya terjadi mengingat NTB bukan daerah minus. Tapi, apa mau dikata, peristiwa itu justru merebak di daerah surplus pangan sehingga benar-benar memalukan dan menampar muka bangsa ini, mengingat negeri ini bukan negara yang sangat miskin seperti Afrika.
    “Seandainya ada solidaritas sosial yang kuat, tentu ini tidak terjadi. Lagipula pulau Lombok diketahui telah surplus pangan. Kemiskinan memang masih ada, tetapi tidak absolut,” ungkap Direktur Eksekutif Koalisi untuk Indonesia Sehat Firman Lubis.

    Seperti halnya kasus polio yang tiba-tiba muncul di provinsi vaksin, Jawa Barat, fenomena ini seperti gunung es yang muncul di permukaan laut. Krisis multidimensi telah menurunkan derajat kualitas hidup warga bangsa republik ini. Ironisnya, krisis yang terus berlangsung hingga sekarang ini datang bersamaan dengan semangat reformasi yang salah satunya mengagendakan perubahan sentralisasi ke desentra­lisasi.

    Dalam perjalanan masa, ternyata reformasi itu kebablasan. Segala yang sudah tertata baik di era pemerintahan lalu tidak dilanjutkan karena dianggap Orde Baru. Struktur pemerintahan yang ada dan seharusnya mengatasi persoalan ini justru tidak menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, instrumen pos pelayanan terpadu (posyandu) yang sangat baik untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tidak berjalan.

    Di dalam kartu yang dibagikan di posyandu ada grafik dengan warna merah, kuning, dan hijau yang menjadi indikator gizi anak balita. Setiap bulan anak balita ditimbang dan seharusnya langsung terpantau perubahan kondisi gizi yang ditindaklanjuti pemberian makanan tambahan. Namun, secara nasional kini mekanisme tersebut tidak berjalan, terutama sejak desentralisasi dikampanyekan sedemikian rupa.

    ***
    POLA-pola interaksi dan penyertaan masyarakat di era yang bertujuan me­ningkatkan kesejahteraan masyarakat justru terpangkas. Pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas, posyandu, dan kunjungan dari pintu ke pintu oleh petugas kesehatan yang dikenal masyarakat pada lingkup lokal sekarang malah macet. Kalaupun seluruh petugas kesehatan yang ada pada satu daerah bekerja optimal, tanpa keterlibatan masyarakat, mereka tetap saja tidak akan mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk miskin di daerah itu, karena keterbatasan personal.

    “Ini belum lagi kalau wilayahnya juga memunculkan hambatan geografis,” ujar Triono Soendoro, Senior Associate The Bill and Melinda Gates Institute for Strategic Leadership and Learning Organization, Bloomberg School of Public Health, John Hopkins University, Baltimore, Amerika Serikat.

    Selama ini dalih yang diberikan adalah pusat tidak mempunyai perpanjangan tangan di daerah. “Ini terlalu mengada-ada mengingat di negara federal sekalipun skema layanan kesehatan dan kesejahteraan untuk masyarakat dapat dijalankan,” ungkap Firman.

    Pihak puskesmas harus menajalankan fungsi monitoring dan tidak sekadar menjalankan program sesuai dengan proyek pemerintah. Kondisi ini menjadikan masyarakat—ibu dan anak—hanya sebagai obyek proyek pemerintah. Kebanyakan perempuan di daerah tidak tahu-menahu mengenai masalah gizi dan kesehatan karena tidak dididik. Mereka datang ke puskesmas dan posyandu hanya karena disuruh-suruh tanpa mengetahui manfaatnya.

    Koalisi untuk Indonesia Sehat pernah mendapati di satu daerah pinggiran Jakarta kasus busung lapar dua tahun lalu. Ibunya terlihat sehat dan normal, demikian pula sang suami. Mereka bilang tidak punya uang untuk membelikan makanan bergizi bagi anak, Namun, sang suami dapat mengeluarkan uang untuk sebungkus rokok Rp 4.000 per hari.

    Padahal. Sesuai standar penelitian lembaga Hellen Keller diAS, seorang anak balita cukup mendapat sebutir telur per minggu demi mencukupi kebutuhan gizi. Uang Rp 4.000 yang dibelikan rokok sebetulnya dapat dibelikan setengah kilogram telur yang dapat memenuhi kebutuhan anak selama sebulan.

    Ini terjadi karena minimnya pengetahuan orang tua. Bangsa ini kurang dibina dan dididik untuk memiliki budaya hidup sehat. Penyakit yang diderita anak sering kali diasosiasikan dengan pelbagai sebab yang tidak rasional.

    Minimnya pengetahuan ini semisal didapati di daerah pinggiran Jakarta. Di sana warga setempat berkebun pepaya yang dapat menjadi sumber vitamin bagi anak-anak, tetapi hasil kebun justru dijual untuk “orang kota”. Warga setempat justru me­ngandalkan program pemberian vitamin di posyandu yang terkadang jadwalnya da­pat meleset sehingga kebutuhan vitamin dan imunisasi anak terganggu.

    Faktor lain adalah rapatnya jarak kehamilan dan kelahiran. Anak-anak ini tidak mendapat cukup perhatian dan air susu ibu (ASI) dari sang ibu yang sangat sibuk mengurusi demikian banyak anak. Maka, perlu diatur waktu kehamilan dalam ren­tang dua hingga lima tahun. Rapatnya jarak kelahiran turut memicu kasus busung lapar di sejumlah daerah.

    ***

    DI tingkat kebijakan, kesehatan tidak pernah menjadi prioritas. Dari dulu anggaran kesehatan hanya berkisar 2,3 persen hingga 2,4 persen, sedangkan anggar­an militer jauh di atas angka tersebut, bahkan pernah mencapai 10 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan anggaran yang ideal untuk kesehatan ada­lah 5 persen. Kenapa ini terjadi, karena para elite berpikir kesehatan ada­lah soal penyakit, rumah sakit, dan hal yang bersifat kuratif. Persoalan kesehatan tidak dipandang sebagai investasi sumber daya manusia sehingga dihitung sebagai cost belaka. Anggaran kesehatan semestinya dimulai dengan upaya pendi­dikan bagi masyarakat.
    Di Amerika Serikat pun isu kesehatan dapat menjadi faktor penentu dalam kampanye presiden. Namun, di republik ini isu tersebut tidak disinggung; kalaupun ada hanya bersifat normatif tanpat mampu memaparkan garis kebijakan nyata dalam penanganan kesehatan. Isu kesehatan tidak menjadi mainstream seperti terbukti dalam kebijakan anggaran yang demikian minim.
    Karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk mendorong masyarakat hidup sehat dan tidak sebatas menjalankan proyek saja. Beberapa tahun lalu pernah berlangsung program Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijaga), tetapi tidak berlanjut karena tidak ada edukasi bagi masyarakat tentang pen­tingnya kebersihan air. Padahal, tanpa kebersihan air, hal itu dapat memicu diare yang tercatat menjadi penyebab kematian terbesar kedua anak-anak di negeri ini. Dari segi struktural, pemerintah perlu menghargai para petugas di lapangan. Hubung­an atasan-bawahan yang sangat feodal saat ini sangat tidak kondusif bagi upaya pembangunan kesehatan.

    Hubungan yang baik akan memotivasi para petugas lapangan untuk memonitor kesehatan masyarakat sejak dini demi pencegahan merebaknya sebuah kasus kesehatan.
    Sebagai contoh adalah kasus demam berdarah yang selalu terjadi, tetapi tidak pernah terdengar tindakan preventif serta koordinasi semisal dengan dinas pekerjaan umum dalam membersihkan saluran-saluran air serta fasilitas publik.

    Fungsi fasilitator dan organisator tidak berjalan. Departemen terpaku pada orien­tasi proyek dan kuratif. Kegiatan tersebut merupakan sumber komisi dari para rekanan. Lembaga itu dan instansi terkait harus membatasi diri menjadi pengawas dan tidak turut menjadi pemain.
    Ketika orang kaya di Jakarta berani membayar mahal untuk menguruskan badan hingga jutaan rupiah, di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merebak busung lapar. Inilah ironi republik.

    Kesimpulannya, Reportase Dasar itu adalah straight news, Reportase Madya adalah news feature, dan Reportase Lanjutan adalah news analysis. Intinya, tetaplah Reportase Dasar. Yang bisa ditambahkan hanyalah memperdalam atau memperkaya unsur-unsur yang ada dalam Reportase Dasar.

    Oleh Dedi Muhtadi
    Sumber:
    1. Reportase Dasar (Vedemekum Wartawan – Parakitri T Simbolon).
    2. Harian Kompas (26/5, 30/5, 4/6) 2005.

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post