• Budaya Perusahaan - corporate culture

    Tidakpenting apakah Anda memimpin perusahaan dengan gaya seorang ‘Boss’ atau bergaya demokrat dan kekeluargaan. Yang penting apakah perusahaan Anda mampu menjalankan roda usaha dengan baik dan gaji karyawan tetap aman.

    Pendapat seperti itu bisa saja keliru, apalagi bagi karyawan yang sudah mengabdi pu­luhan tahun, sudah pasti ia tidak sudi diperlakukan sewenang-wenang oleh atasan yang nge-‘bossy’. Kendati gaya kepemimpinan me­main­kan peran penting, tetapi kunci terpenting lainnya, apakah perusa­haan mempunyai budaya kerja yang ditaati bersama oleh seluruh karyawan maupun pemilik perusahaan.

    Budaya kerja adalah sebuah sistem yang implementasinya bisa tertulis dan bisa pula hanya berupa sebuah komit­men dengan sanksi moril. Jika seluruh karyawan sepakat dengan komitmen itu, maka sebuah sistem yang disebut dengan corporate culture (budaya peru­sahaan) telah dimulai.

    Memahami budaya perusahaan sebenarnya tidak perlu terlalu serius apalagi sampai kening berkerut. Konsep ini adalah sebuah aturan main yang mengacu pada sistem sosial yang berlaku secara umum. Dan se­tiap perusahaan juga mempunyai standar yang tidak seragam, tetapi umumnya menghasilkan output beru­pa penghargaan dan hukuman (re­ward and punishment).

    Guna mempertegas kelangsungan sebuah budaya perusahaan, maka bagian yang ditugaskan menyusun aspek legal perusahaan menerapkan standar operasional prosedur, sebuah pedoman bagi karyawan untuk mela­kukan pekerjaan sesuai bidang dan jabatan masing-masing.

    Kalau mau dikonotasikan seram, budaya perusahaan bisa menjadi se­buah disiplin yang keras terhadap karyawan, terutama dalam menjaga segala informasi dan rahasia perusa­haan, mematuhi aturan perusahaan yang apabila dilanggar bisa terkena sanksi berupa peringatan pertama, kedua dan ketiga. Dan lebih jauh lagi dipecat tanpa pesangon. Duh kejam nian.

    Tetapi kalau mau gampang dan agak manusiawi, budaya perusahaan bisa diimplementasikan dengan him­bauan yang membuat karyawan me­rasa malu untuk melanggarnya. Con­toh seperti itu pernah saya lihat di sebuah perusahaan yang memasang besar-besar tulisan di setiap dinding ruang kerja karyawannya. Tulisan itu berbunyi tentang rincian mengenai MALU. Isinya antara lain menyebutkan berikut: Saya MALU kalau datang ter­lambat, MALU kalau tidak berprestasi, MALU kalau gagal menyelesaikan pekerjaan, dan sejumlah kata MALU lainnya, yang intinya memacu karya­wan untuk berkompetisi secara sehat.

    Rasa Memiliki
    Setiap karyawan tentu ingin ber­prestasi dalam pekerjaannya. Dan setiap perusahaan akan memacu semangat kerja karyawan dengan berbagai iming-iming gaji dan posisi yang makin baik. Karenanya, perusa­haan yang ingin membangun sebuah budaya kerja yang baik, tentu akan menempatkan karyawannya sebagai personal yang harus dihormati dan dihargai.

    Dengan sikap kerja yang lebih me­manusiakan karyawan (tidak disikapi sebagai mesin) maka motivasi kerja dapat terangkat dan munculnya rasa memiliki yang tinggi terhadap perusa­haan. Mereka menyadari jatuh dan bangunnya perusahaan akan ber­akibat yang sama dengan nasib dan masa depan mereka.

    Selain meningkatkan rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan, hal yang perlu dilakukan adalah pelaksa­naan dengan konsisten pola reward and punishment bagi karyawan. Arti­nya, jika pekerjaan karyawan me­ngun­­tungkan perusahaan, ia berhak men­dapatkan penghargaan (materi dan pujian), dan hukuman (denda dan te­guran) jika melanggar aturan peru­sahaan.

    Untuk dapat melaksanakan pola ter­sebut, diperlukan suatu kondisi kerja sebagai berikut:
    1. Keterbukaan antara pihak mana­jemen dan karyawan tentang se­gala hal terkait dengan maju dan mundurnya perusahaan, terutama keterbukaan mengenai keun­tung­an atau kerugian perusahaan.

    2. Kejelasan antara pihak mana­jemen dan karyawan tentang ukur­an keberhasilan bagi tiap-tiap kar­yawan, yang menjadi dasar peni­laian prestasi kerja, terkait dengan pola reward and punishment.

    Kondisi kerja dimaksud, diciptakan melalui berbagai kebiasaan kerja se­hari-hari, baik pengelola maupun pe­milik perusahaan. Untuk itu, diper­lukan perilaku yang disebut budaya perusahaan dengan memenuhi dua aspek yaitu: Pertama, keterbukaan (transpa­rency), sebagai cara membangun kesadaran bersama bagi seluruh pihak. Kedua, akuntabilitas (accoun­tability), sebagai cara membangun motivasi karyawan untuk mengem­bang­kan perusahaan sesuai posisi dan kapasitas masing-masing.

    Keterbukaan, hanya dapat diba­ngun jika karyawan bahkan seluruh pihak mau menghargai dan berbagi informasi yang berkenaan bagi pe­ngembangan perusahaan. Sedang­kan akuntabilitas, dapat dibangun jika karyawan memiliki kebiasaan meng­hargai perusahaan sebagai kepen­tingan bersama, sehingga siap me­mikul tanggungjawab, memelihara dan mengembangkan perusahaan sesuai posisi dan kompetensi ma­sing-masing.

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post