-
Koperasi Jasa Keuangan Syariah
Terwujudnya perkembangan lembaga keuangan syariah, selain karena ada kebutuhan di masyarakat juga karena berlakunya dual banking system dalam perbankan nasional. Sistem perbankan nasional telah menempatkan subsistem syariah sebagai alternatif dari subsistem konvensional, khususnya dalam pelayanan baik dalam untuk memenuhi kebutuhan (permintaan) dana maupun memanfaatkan kelebihan (penawaran) dana di masyarakat.
Sebagai suatu sistem, perbedaannya terletak pada kaidah dan prinsip syariah yang digunakan sebagai landasan transaksinya. Mudahnya dalam sistem syariah tidak dikenal transaksi yang memakai dasar “perkiraan” maupun perhitungan “bunga” (yang umumnya menjadi dasar perhitungan dalam bisnis keuangan – simpan pinjam secara konvensional).
Konsep bunga dalam ajaran Islam dianggap mengandung aspek (riba) yang diharamkan. Demikian pula dilarang untuk mengaplikasikan perlakuan transaksi yang sifatnya mengandung spekulasi dan juga ketidakjelasan.
Dengan demikian dalam konsep syariah semua aplikasi transaksi yang berkaitan atau berhubungan dan bersinggungan dengan komponen “bunga” dihindari, dan sebagai gantinya dalam rangka memperoleh pendapatan melalui transaksi keuangan, harus dilakukan berdasar kesepakatan perjanjian (akad) yang umumnya bertumpu pada konsep “bagi hasil”.
Konsep itu secara luas telah mendorong terwujudnya “kesetaraan” bagi semua pihak yang terlibat dalam kesepakatannya. Untuk itu kesepakatan yang dibangun dengan prinsip saling menguntungkan (menanggung risiko secara proporsional) dan rasional di antara mereka yang melakukan akad harus dapat dilakukan berdasar kaidah-kaidah yang dihalalkan menurut ketentuan al Quran dan as Sunnah.
Cara tersebut dianggap dapat membantu menghindarkan proses eksploitasi oleh satu pihak pada pihak lain. Demikian pula risiko harus dapat diterima sebagai suatu kondisi, yang perlu dikendalikan secara bersama, namun tetap harus diterima (tidak boleh diingkari) sepenuhnya apabila ternyata risiko itu terjadi.
Dampaknya, dalam transaksi syariah diperlukan pemahaman tentang apa yang disepakatinya, khususnya dalam setiap produk jasa syariah yang tersedia.
Pemahaman itu di antaranya harus dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan lingkup dari komponen, berupa tujuan, manfaat yang diperoleh, risiko yang mungkin dihadapi, serta ketentuan yang harus diikuti atau dipenuhi serta diawasi.
Berbagai produk layanan syariah itu didefinisikan dan diatur oleh Dewan Syariah Nasional melalui sejumlah fatwanya. Aplikasinya harus didukung oleh pemahaman kedua belah pihak yang bekerja sama, dan hasilnya diwujudkan melalui keputusan yang tercantum dalam “akad keuangan syariah”.
Dalam kelembagaannya, koperasi jasa keuangan syariah secara rasional juga dituntut untuk bertindak hati-hati (prudent), karena mereka mengemban amanah pengelolaan “milik anggotanya”, melalui penyelenggaraan berbagai upaya memanaj usahanya dengan efektif.
Mengapa harus demikian, karena mereka juga akan dan dapat menghadapi masalah, sebagai dampak kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Untuk itu para pengelola Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau Unit Jasa Keuangan Syariah, perlu menyadari dan memberikan perhatian secara cukup dan cermat terhadap pola manajemen usahanya.
Polanya harus dapat membantu mereka untuk peka dan sekaligus dapat mengarahkan pada terwujudnya prinsip kehati-hatian, itu berarti bahwa pola manajemennya harus dapat mengendalikan dan mengarahkan setiap pelaku dalam lembaga koperasi jasa keuangan syariah untuk bertindak berdasar prinsip dan tata aturan yang ditetapkan.
Evaluasi terhadap efektivitas pola manajemen usahanya perlu pula dilakukan dengan konsisten, karena mereka sangat tergantung pada ketepatan dan “kepekaan” keputusan dan tindakan dalam memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia serta akad yang dibuatnya.
Faktor Kritis Usaha Syariah
Berdasar hal tersebut rangkaian upaya penerapan kaidah-kaidah usaha syariah dalam praktik merupakan faktor kritis dalam pengembangan koperasi maupun unit jasa keuangan usaha syariah.
Namun demikian harus diakui bahwa pendekatan sistem syariah justru memiliki kesesuaian dalam mendukung aplikasi nilai-nilai kebersamaan dan “tanggung jawab” anggota dalam prinsip koperasi.
Untuk itu pola manajemen usaha syariah yang komprehensif dan berkemampuan mengakomodasi kaidah dan prinsip syariah harus dapat disandingkan dengan aplikasi nilai-nilai dan prinsip koperasi yang mencirikan identitas koperasinya. Perlu dicatat bahwa konsep syariah diterapkan sebagai alternatif sistem pelayanan dalam proses pemenuhan kebutuhan dana dan pemanfaatan dana berlebih dalam masyarakat.
Pola manajemen usaha syariah, karena itu bukan saja diharapkan mampu mengaplikasikan kaidah dan prinsip syariah sebagaimana diharapkan, melainkan juga dapat memotivasi atau mendorong terlaksananya nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi dalam operasionalisasi langkah, tindakan serta sikap dan perilaku para anggota koperasinya.
Dengan model syariah, upaya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan anggota dan pengelolaan kelebihan dana di masyarakat diharapkan dapat dilakukan secara konsisten dengan berbagai ketentuan syariah, sehingga para pengelola maupun para anggota yang akan melakukan akad sesuai dengan perjanjian yang dipilihnya juga diharapkan berfikir dalam konteks syariah, apabila diharapkan langkahnya dapat konsisten.
Dengan demikian diperlukan sekali tersedianya pembina dalam membantu mengawal dan mengarahkan aplikasi konsep syariah dalam lembaga koperasi jasa keuangan syariah, yang berbeda operasionalisasi dan tata cara pelayanannya dengan umumnya lembaga perbankan syariah.
Apa yang serupa adalah prinsip dan kaidahnya, namun aplikasinya ada ketentuan dan pola koperasi yang harus diterima sebagai cirinya. Mingkin fungsi dan tugas Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah akan bertambah kompleks dengan adanya lembaga koperasi jasa keuangan syariah serta unit jasa keuangan syariah ini.
Faktor kritis lainnya dalam aplikasi prinsip syariah adalah keberhasilan proses tranformasi yang terjadi. Bagi lembaga koperasi atau lembaga keuangan lainnya yang sudah menerapkan kaidah dan prinsip syariah, masih memerlukan berbagai penyesuaian sehingga aplikasi konsep syariahnya tidak hanya sekadar mengambil sistemnya saja tanpa menerapkan kaidah-kaidah yang melandasi proses pengambilan keputusannya.
Contoh yang menarik dan menjadi tantangan, adalah menetapkan nisbah maupun marjin yang dapat memberikan pendapatan bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad. Apakah ada referensi atau ketentuan pembanding untuk menetapkan nisbah, dalam pengertian sampai berapa jauh informasi itu diketahui oleh khususnya anggota. Hal itu dapat menjadi bahan kajian, karena kalau salah satu pihak tidak memiliki informasi yang setara luas dan dalamnya, membuat akad tidak sah.
Pola Manajemen Usaha yang Mana?
Kalau bicara manajemen tentu harus berlaku untuk aplikasi semua sistem, karena konsep manajemen adalah konsep untuk mewujudkan efisiensi kerja dalam menggunakan sumberdaya dan mencapai efektifitas melalui orang lain. Namun, aplikasinya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut dan digunakan oleh kelompoknya. Itu berarti bahwa kaidah syariah, yang memuat dasar ketentuan “bagi hasil” sebagai sarana memperoleh pendapatan dalam akad pembiayaan (pinjaman, pembiayaan bersama maupun pembelian barang) harus memberi warna dominan dalam proses manajemen usahanya. Warna itu akan mempengaruhi orientasi visi dan misi lembaganya, yang pasti tidak untuk mencari “laba” dalam arti luas, sehingga harus dicari wujud keunggulan lainnya.
Dalam hal itu konsep syariah seharusnya dapat menjadi lebih efektif, mengingat organisasi koperasi juga tidak dimaksudkan untuk mencari laba, Lembaga ini lebih dimaksudkan (secara konseptual) untuk membantu mengembangkan kemampuan para anggotanya, baik dalam berusaha maupun dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya. Karenanya pengurus koperasi bekerja untuk menampung dan mengarahkan serta membangun kemampuan dalam memenuhi tuntutan dan kehendak pelayanan rasional dari para anggotanya. Beban yang ditanggung pengurus adalah amanah anggota. Karena itu pengurus koperasi juga “tidak boleh” ditempatkan “berlawanan” dengan anggota. Mereka harus menjadi motor dan sekaligus ujung tombak kelompok anggota dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk itu berlaku nilai-nilai demokratis dalam koperasi sehingga ada rasa kebersamaan, kesetiakawanan maupun kekeluargaan.
Jadi, kalau referensi ini digunakan maka dalam menyusun perjanjian (akad) untuk menerapkan kaidah dan prinsip syariah, sudah semestinya tidak tidak terlalu sulit. Pengurus dapat mewarnai pola dan proses aplikasi manajemen syariahnya berdasar hal-hal yang memang harus diterapkan dalam koperasi. Karena itu rumusan berbagai bentuk aturan, seperti satu suara untuk satu anggota, atau rapat anggota sebagai lembaga tertinggi (kekuasaannya, absolut) dalam koperasi dapat selaras dengan aplikasi kaidah dan prinsip syariah yang mengatur bagaimana perjanjian itu dilakukan menurut ketentuan hukum Islam.
Sebagai satu sistem, maka kegiatan usaha syariah memiliki tujuan menghasilkan pendapatan yang memadai bagi kelompoknya. Dalam kaitannya dengan bisnis keuangan yang dilakukan maka sistem tersebut diharapkan dapat mendukung terwujudnya dinamika organisasi koperasi bersangkutan yaitu terlayaninya para anggota secara komprehensif. Jadi, jangan sampai kaidah dan prinsip syariah digunakan sekadar untuk “pemanis” atau mengikuti tren. Karena itu hal tersebut harus nampak dalam pola manajemennya, yang hendaknya berorientasi pada kepentingan “musyawarah mufakat” dengan dasar syariah. Selain itu semua pelaku dalam penyelenggaraan manajemen lembaganya, juga harus menunjukkan sikap patuh pada setiap akad yang dibuat, baik dalam kaitan pemenuhan kepentingan internal maupun lebih lagi ke pihak eksternal.
Pola manajemennya harus menunjukkan dan benar-benar menjunjung tinggi nilai “kejujuran” dan “keterbukaan” dalam meraih pendapatan. Tidak boleh ada informasi yang tertutup diantara pihak yang membuat akad, dan sekaligus diamankan kerahasiannya diantara mereka. Hal-hal dimaksud dalam kaidah syariah diartikan sebagai menerima “nilai-nilai luhur yang diberlakukan” di wilayah tertentu, sehingga wujud aplikasi syariahnya dapat lebih adaptif tanpa harus meninggalkan ketentuan dasarnya. Dengan demikian syarat yang harus dipenuhi yaitu bahwa materi pokoknya (zat) harus halal, selain tata cara untuk memperoleh atau mengelolanya juga harus halal, serta penggunaan hasilnya juga harus halal dapat dipenuhi secara operasional.
Untuk menjaga nilainya secara sungguh tentu diperlukan proses pembinaan, melalui pendidikan yang berkaitan dengan penjelasan dan aplikasi kaidah dan prinsip-prinsip syariah, misalnya dengan menjelaskan berbagai produk maupun ketentuan fatwa tentang produk syariah dari Dewan Syariah Nasional Halal di sini mempunyai pengertian tidak mengandung aspek-aspek yang diharamkan menurut syariat Islam. Persyaratan semacam itulah yang menurut hemat kami, menjadi landasan utama dari Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan tugasnya.
Untuk itu pengembangan pola manajemen bagi lembaga koperasi jasa keuangan syariah maupun unit koperasinya dapat dikembangkan secara bertahap dengan melakukan pengembangan di masing-masing manajemen fungsinya.
Apa pernyataannya, baik untuk menetapkan fatwanya, maupun dalam proses melakukan pengawasan kegiatan, dengan maksud agar tidak menimbulkan penyimpangan. Dengan fatwa tersebut berdasar landasan sistem, model syariah sudah dapat dikatagorikan sebagai model yang dapat mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Tentu perubahannya akan terjadi selama perkembangan selanjutnya berlangsung, sehingga kehadiran fatwa dari Dewan Syariah Nasional atau petunjuk dan perbaikan dari Dewan Pengawas Syariah sangat diharapkan sama cepatnya untuk diwujudkan, sehubungan dengan adanya perubahan yang terjadi akhir-akhir ini dalam lingkungan bisnis. Kondisi seperti itu sangat diharapkan untuk dapat dijelaskan bagi masyarakat awam, guna tidak menimbulkan keraguan, khususnya di kalangan umat Islam tentang citra dan prestasi lembaga keuangan syariah.
Itulah sebagian faktor kritis yang terkait dengan proses penerapan dan pengembangan kaidah-kaidah syariah dalam aplikasi distribusi dan penampungan dana masyarakat yang kecil-kecil.
Oleh: Soebroto Hadisoegondo
Tenaga ahli Kantor Kementerian Koperasi dan UKMRelated Posts :
0 komentar: