• Ketika Kita Terluka

    Ketika menghadapi masalah besar, perhatian kita sering kali seluruhnya tercurah pada masalah tersebut, sehingga menutup peluang lain.

    Seekor singa di kawasan hutan lindung, kakinya parah terluka karena terkena batu tajam saat melompat di sebuah bukit, memburu mangsanya. Singa itu seperti kehilangan keganasannya, lantaran berjalan de­ngan menyeret salah satu kakinya yang terluka. Untung saja ada jagawana (penjaga hutan) yang melihat.

    Sebuah tim kecil pun bergerak, mengepung singa, untuk diobati. Tidak terlalu sulit menangkap singa yang berjalan pincang. Kesulitan besar justru terjadi ketika lukanya akan diobati. Sang raja hutan terus meronta, karena curiga akan mendapat luka lebih menyakitkan lagi. Dengan mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya, dia meronta hebat hingga bisa melepaskan diri.

    Karena proses pengobatan tidak maksimal, luka di kaki singa pun tidak kunjung sembuh. Singa malang itu pun memfokuskan seluruh perhatiannya pada luka itu. Setiap kali melihat jagawana yang akan kembali menangkapnya untuk memberikan pengobatan, dia lari menerabas belukar, hingga lukanya makin parah. Dalam kesendiriannya, singa terus mengaum, mengamuk, semua aktivitasnya menjadi kacau karena hanya terpaku pada luka­nya. Seminggu kemudian, seorang jagawana menemukan si raja hutan mati mengenaskan.

    Pembaca, kita kadang sering bersikap seperti singa terluka itu. Ketika kita mengalami luka, baik luka fisik maupun non-pisik, lantas seluruh perhatian kita pun terfokus pada luka itu, sehingga menutup berbagai peluang lain. Kita lebih suka mengaduh dan mengeluh, bahkan menyesalkan nasib yang apes.

    Misalnya, kita mengalami luka pisik. Ketika ada orang bertanya sudah diobati apa saja atau berobat ke mana saja, kita langsung menukas, “Wah, sudah ratusan obat saya coba. Semua dokter di kota ini sudah saya datangi. Tapi hasilnya nihil.”

    Padahal, kita baru mencoba satu atau dua jenis obat, dan mendatangi dua dokter saja.
    Terlebih, kalau kita mengalami luna non-pisik, seperti kebangkrutan usaha atau kena PHK. Kita kerap mengerahkan seluruh perhatian dan emosi, untuk menyesali kejadian yang menyakitkan itu, sehingga muncul ungkapan hiperbol seper­ti, “Habis, sudah,” atau, “Kiamat!” Orang-orang yang bunuh diri, tak pelak lagi, adalah mereka yang hanya fokus pada kegagalan atau penderitaannya secara ekstrem.

    Tentu, kita tidak akan pernah bersikap seekstrim itu. Tapi, tetap saja, jika dalam keadaan terluka, hendaknya kita tidak mencurahkan seluruh perhatian pada luka tersebut. Bukan untuk mengabaikan, tapi memberi peluang berbagai alternatif lain yang membentang.

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post