• Mungkinkah Membangun Koperasi Raksasa

    Mungkinkah membangun koperasi raksasa atau kope­rasi milik kong­lomerat? Pertanyaan ini, bisa diartikan “kemungkinan membangun koperasi rak­sasa yang (hanya) dimiliki/beranggotakan konglomerat”, tapi bisa juga diartikan “ke­mungkinan dapat membangun kope­rasi raksasa” dan/atau “kemungkinan da­pat membangun koperasi yang dimiliki/beranggotakan konglomerat”, dalam 2 pe­ngertian yang terpisah. Untuk dapat memahami tentang berbagai kemungkinan tersebut kita perlu memahami salah satu prinsip koperasi yang berlaku universal.

    Salah satu prinsip koperasi menurut UU No 25/1992 tentang perkoperasian adalah “keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka”. Prinsip ini senada dengan prinsip pertama dari Jatidiri Koperasi ICA (ICIS=1CA Cooperative Identity Statement) tahun 1995 yang menyatakan “keanggotaan sukarela dan terbuka” (Voluntary and open membership) dengan penjelasan: “Koperasi adalah perkumpulan sukarela/terbuka bagi semua orang yang mampu menggunakan jasa-jasa perkumpulan dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan/tanpa diskriminasi jender, sosial, ras, politik atau agama”.

    Orang masuk koperasi tidak bisa dipaksa, tapi atas kehendak sendiri (suka­rela). Disamping ada kebutuhan yang di­rasakan (felt need) pada umumnya dari segi ekonomi (tetapi juga bisa dari segi sosial/budaya), orang yang menjadi anggota diharapkan sudah mempelajari dan memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga saat menjadi anggota dapat terlibat secara penuh, apakah sebagai pemilik, pemodal, pengguna jasa atau pengawas. Kecuali itu, keanggotaan kope­rasi juga terbuka bagi siapapun dan dapat memanfaatkan jasa-jasa koperasi, dan di lain pihak siapapun yang menjadi anggota juga harus bersedia menerima tanggung jawab, sebagai pemilik, antara lain ikut dalam pengambilan keputusan dan mengawasi pelaksanaannya, memberikan modal serta menggunakan jasa-jasa koperasinya. Dengan demikian siapapun yang bersedia untuk menggunakan jasa koperasi dan telah memenuhi kewajibannya tidak boleh ditolak keanggotaannya, dengan alasan agama, sosial, ras atau politik.

    Dengan ketentuan/prinsip keanggotaan tersebut maka tidak menjadi masalah bahwa koperasi itu menjadi milik konglomerat, dalam arti koperasi itu didirikan/beranggotakan konglomerat, dan kemudian menjadi perusahaan raksasa, sepanjang ke­giatannya tetap dalam “koridor Koperasi’’, yang antara lain menyatakan: i) Hanya koperasi yang bertujuan untuk melayani kebutuhan anggotanya dan melakukan berbagai usaha untuk membuktikan/melaksanakan tujuan ter-
    ­se­but, adalah koperasi yang berada dalam koridor koperasi. ii) Hubungan usaha/transaksi dengan pelanggan bukan anggota hanya dapat diterima, apabila transaksi tersebut meru­pakan usaha sampingan dan tujuan utamanya, yaitu melayani anggota, serta untuk menarik anggota baru. Dalam hubungan ini sasaran koperasi adalah menjadikan pelanggan bukan anggota menjadi anggota (Munkner/2001).

    Meskipun prinsip “keanggotaan sukarela dan terbuka” sangat terbuka bagi konglomerat untuk mendirikan koperasi, namun ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian: i) Dengan prinsip terbuka tersebut apakah para konglomerat juga bersedia menerima anggota dari golongan bukan konglomerat? ii) Jika bersedia, apakah para konglome­rat juga bersedia jika hak-haknya disamakan dengan yang bukan konglo­merat. Misalnya hak suara “satu anggota satu suara” sebagai refleksi “pengawasan secara demokratis”?

    Meskipun demikian lebih dari sekedar alasan normatif terkait prinsip “keanggotaan sukarela dan terbuka”, yang memungkinkan para konglomerat dapat membentuk koperasi, perlu dipertanyakan alasan yang lebih substantif, mengenai motivasi mereka untuk berkoperasi. Pada umumnya orang-orang berkoperasi di latarbelakangi oleh keterbatasan aksesnya ke sumber-sumber ekonomi/keuangan, yang sulit diatasi secara sendiri-sendiri, sehingga diperlukan suatu organisasi yang mempersatukan kekuatan kecil/lemah menjadi yang mampu mengatasi berbagai kendala: apakah dalam mendapatkan sumber permodalan, mendapatkan bahan baku untuk proses produksi, atau memasarkan hasil produksinya. Bahkan motivasi anggota berkoperasi tidak hanya terbatas pada ekonorni, tetapi juga berkembang pada motivasi politik. Dengan anggotanya yang cukup besar koperasi dapat mempenga­ruhi (sebagai pressure group) kebijakan pemerintah, bahkan organisasi dunia, seperti ditunjukkan anggota Koperasi Pertanian Jepang dan Korea Selatan. Lalu apa motivasi para konglomerat mendirikan koperasi, sementara mereka telah memiliki segalanya: akses ke sumber permodalan, pemasaran (bukan pada tingkat nasional maupun internasional) teknologi, bahkan ke pusat-pusat kebijakan/politik negara.

    Koperasi Sebagai Perusahaan Raksasa
    Tentang koperasi dapat berkembang menjadi perusahaan raksasa, jawabnya je­las: sangat mungkin. Pada Oktober 2007, dalam General Assembly-nya di di Singapura, ICA telah meluncurkan daftar 300 koperasi kelas dunia (Global 300 List 2007) yang memuat 300 koperasi-koperasi raksasa, yang bervolume usaha (turn over) dari USD 654 juta dan beraset USD 467 juta hingga turn over USD 63.449 juta dan asset USD 18.357 juta (Zen Noh). Koperasi-koperasi yang termasuk daftar 300 koperasi kelas dunia ini umumnya koperasi tingkat nasional yang beroperasi secara internasional, beberapa di antaranya sudah berusia lebih satu abad. Meski demikian, sasaran utama mereka itu tetap pada pelayanan anggota perorangan. Ke-300 koperasi tersebut terdiri bermacam jenis: jasa keuangan (bank, asuransi, credit union) sebanyak 40%, pertanian (33%), eceran/grosir (25%) dan sisanya yaitu ko­perasi kesehatan, energi, manufaktur, media dsb. Beberapa di antara mereka ini, bahkan masuk daftar perusahaan raksasa kelas dunia versi Forbes atau Fortune bersama perusahaan-pemsahaan multi nasional, antara lain koperasi perbankan Credit Agricole (Perancis) dan Rabobank (Belanda), Land O’lake (koperasi susu, Amerika Se­rikat).

    Pada tingkat negara berkembang, dalam kesempatan yang sama di Singapura tersebut, ICA juga meluncurkan daftar koperasi besar di negara sedang berkembang, (Developing 300 Project) dengan ukuran volume usaha dari USD 512.000 dan asset USD 399.000 hingga volume usaha sebesar USD 504.681.000 dan aset sebesar USD 222.893.000. Dalam daftar ini masing-masing negara sedang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin menyumbangkan 5 koperasi besarnya. Sayangnya, koperasi dari Indonesia tidak ada yang masuk, padahal jika dilihat dari volume usaha maupun asetnya, terdapat beberapa koperasi yang layak masuk dalam daftar ini. Semisal Koperasi Jasa Pekalongan, volume usahanya mencapai Rp 5 triliun dan asetnya Rp 1,25 triliun, yang berarti sama dengan USD 500.000.000 dan USD 125.000, sehingga dapat masuk 3 besar. Selain itu masih ada beberapa koperasi, seperti: Koperasi Warga Semen Gresik (Rp 970.472.000.000). Koperasi Nusantara (Rp 926.847.000.000), Koperasi Indosat (Rp. 647.207.000.000). (Majalah PIP Juli 2009)

    Dalam kelompok koperasi berprestasi ini, Koperasi Kredit juga telah menjadi contoh koperasi yang dikembangkan secara benar, dirintis sejak 1969/1970 telah dapat menjadi kekuatan ekonomi sosial yang cukup besar. kini Kopdit telah tersebar di seluruh Indonesia dengan struktur 3 tingkat: Kopdit primer (950), Puskopdit (30) dan Inkopdit di tingkat nasional. Total anggota 183.227 orang, secara kumulatif volume usahanya yang hanya melayani anggotanya ini, pada 2008 telah mencapai Rp 4,6 triliun dan aset Rp 5,6 triliun.

    Dengan demikian pertanyaan: apakah koperasi bisa menjadi perusahaan raksasa, uraian di atas sudah menjawab. Masalahnya, bagaimana koperasi-koperasi besar/raksasa tersebut masih tetap dalam “koridor koperasi” dalam arti tetap berpijak pada nilai dan prinsip-prinsip yang menjadikan anggota sebagai kekuatan utama­nya (member based organization), sebagai subyek sekaligus obyek pelayanannya.

    Koperasi-koperasi besar/raksasa seperti koperasi pertanian di Korsel atau Jepang, koperasi susu di Denmark, AS atau Selandia Baru, koperasi konsumen di Inggris, Swedia atau Singapura, koperasi jasa keuangan di Perancis atau Belanda, atau koperasi pekerja di Spanyol, dibangun dalam waktu puluhan tahun, bahkan beberapa yang sudah satu abad, jadi tidak instant. Koperasi-koperasi tersebut dibangun oleh para petani, buruh, pekerja, pedagang, konsumen dsb, benar-benar dari bawah, ditunjang dengan manajeman dan tehnologi modern. Setelah menjadi besar pun koperasi-koperasi tersebut tetap menjadi milik mereka.

    Demikian koperasi-koperasi besar di Indonesia seperti Kospin Jasa, Koperasi Kredit, Koperasi Warga Semen Gresik, Koperasi Nusantara, Koperasi Indosat, Kodanua dan sebagainya, mereka tetap menjadi milik anggota, ada pedagang kecil/me­nengah, karyawan, pegawai negeri, pedagang kaki lima dan sebagainya. Dengan latar belakang ini, terhadap pertanyaan: “Mungkinkah membangun koperasi raksasa yang dimiliki/beranggotakan para kong­lomerat?”, saya cenderung memberi jawab­an: sulit membayangkan koperasi yang hanya mengandalkan modal besar milik konglomerat, akan dapat menjadi koperasi yang besar, kuat dan sehat, dalam arti masih tetap berpijak pada nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya.

    Betapapun niat baik mereka untuk ikut terlibat dalam pembangunan koperasi, yang berarti ikut meratakan hasil pembangunan, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan menciptakan masyarakat madani yang demokratis, layak kita hargai, sepanjang tetap mengikuti ketentuan yang berlaku dalam masyarakat koperasi. (Oleh Djabaruddin Djohan, Praktisi Koperasi)

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post