• Koperasi SAE Pujon Malang-Jatim

    Pujon adalah sebuah wilayah dingin yang dikelilingi gunung dan bukit dengan suhu rata-rata 19-26 derajat celcius dan curah hujan 2.310 mm per tahun Sebelum dan sampai dengan tahun 1962 wilayah yang sangat bagus untuk lahan pertanian ini belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memproduksi komoditi pertanian seperti sayur-sayuran ataupun hasil-hasil bumi yang lain.

    Hal ini disebabkan karena petani tidak mampu membiayai proses produksi, sehingga jatuh pada kontraktor-kontraktor maupun penyewa-penyewa tanah bermodal kuat yang berasal dari luar wilayah Pujon.

    Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang mampu mengelola lahan yang dimiliki, sehingga banyak yang terpaksa menjadi buruh tani. Karena pendapatan sebagai buruh tani tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka masyarakat yang tinggal di ketinggian 1.100 m dari permukaan air laut ini, mulai merambah lingkungannya.
    Pohon-pohon lebat yang seharusnya dilestarikan ditebang. Kayunya dijual dan sebagian dijadikan arang. Akibatnya, lingkungan hutan di seputar wilayah Pujon rusak berat. Saat itu pemerintah daerah setempat (Muspika) berusaha memberikan penerangan pentingnya pelestarian ling­kungan, namun himbauan tersebut tidak dihiraukan. Akhirnya Muspika terpaksa turun tangan menangkap para penebang liar.

    Kebangkitan Peternak
    Selain bekerja sebagai buruh tani dan penebang liar, sebagian kecil warga masyarakat Pujon ada yang berusaha mencukupi beban hidup sebagai peternak sapi perah. Usaha beternak sapi perah sebagai mata penca­­harian di Pujon sebenarnya sudah berlangsung pada abad perte­ngahan ke 19 dengan adanya dua buah stal (milkcray).

    Stal adalah usaha beternak sapi perah yang diambil air susunya untuk dijual. Sedangkan stal itu sendiri sebenarnya tempat untuk memelihara sapi. Dua buah stal yang ada di Pujon salah satunya milik Mr. Pochert dan lainnya milik Mr.Swarthuten, keduanya bangsa Belanda. Mereka menjalankan bisnis dengan memperkerjakan penduduk Pujon dengan system upah.

    Buruh-buruh Mr. Pochert dan Mr.Swarthuten bekerja sebagai pengem­bala sapi perah, membersihkan dan menjaga kandang serta ternak, memerah, dan sebagai voorloper (mengantar susu ke pelanggan/pema­saran). Sekitar tahun 1942 Mr. Pochert dan Mr.Swarthuten mening­galkan Pujon beserta harta benda termasuk ternaknya karena situasi politik pada saat itu. Kemudian usaha ternak sapi perahnya dilanjutkan oleh bangsa Jepang dan sebagian lagi diteruskan warga Pujon sendiri. Sayangnya usaha ini tidak berkembang. Ketika Jepang me­ning­galkan Pujon karena situasi politik, selanjutnya usaha beternak sapi perah sepe­nuhnya berada di tangan beberapa masyarakat Pujon secara individu.

    Dalam memasarkan susu sapi perahnya, para pengusaha sapi perah terus bersaing. Persaingan mereka menurunkan harga susu guna merebut pasaran. Akibat persaingan harga menyebabkan beternak sapi justru membuat mereka rugi dan semakin melarat. Usaha beternak sapi perah menjadi tidak diminati. Sebenarnya usaha beternak sapi perah saat itu merupakan potensi yang bisa diandalkan jika ditangani secara terpadu. Melihat potensi yang ada saat itu, sebenarnya usaha beternak sapi perah perlu digalang, dibangkitkan dan dikembangkan. Sebab, tidak mungkin masyarakat Pujon terus menerus sebagai buruh tani atau menjadi buron karena sebagai penebang liar.

    Pemikiran untuk menggali potensi lewat pengembangan peternakan serta menata pemasaran diprakarsai oleh drh. Memet Adinata, Kepala Dinas kehewanan Malang Selatan. Beliau mendirikan koperasi sebagai jalan pemecahan bagi peternak sapi. Maka pada 30 Oktober 1962 sebanyak 23 orang peternak sepakat mendirikan koperasi susu yang diberi nama Koperasi Susu Sinau Andandani Ekonomi (belajar memperbaiki ekonomi) di Pujon, dengan populasi ternak 35 ekor dengan jumlah produksi 50 liter per hari.

    Pada awal berdirinya koperasi SAE beranggotakan 23 orang, ternak sebanyak 35 ekor dengan produksi susu 50 liter per hari dipasarkan ke wa­rung-warung. Pada tahun 1963 Koperasi SAE mendapatkan bantuan pe­me­rintah lewat Direktur Jendral Peternakan berupa sapi impor sebanyak 90 ekor.

    Bantuan ini bersifat penggaduan; yaitu peternak mendapat bagian berupa anak sapi yang menjadi hak karena memelihara sapi induk. Dengan bantuan tersebut dalam tempo lima tahun anggota koperasi SAE ber­kembang jadi 150 orang pada tahun 1967 dan berstatus badan hukum No. 2789/II/12-1967 pada tanggal 16 Agustus 1968. Selama tahun 1968-1970 Koperasi SAE mengalami kemunduran yang mengancam pada suatu kegagalan total.

    Jumlah anggota pada tahun 1970 menyusut menjadi 34 orang yang semula berjumlah 150 orang. Sapi-sapi perah milik anggota banyak yang dijual dan hasil penjualan dipergunakan untuk usaha lain. Demikian juga dengan produksi susu Koperasi SAE hanya menampung sekitar 200 liter sehari dari 2.000 liter per hari. Anggota Koperasi SAE banyak yang keluar karena disebabkan kurang cakap dan kreativitas pengurus, dalam hal ini manajemen pengelolaan koperasi. Pola manajemen yang dijalankan pengurus sangat tidak mencerminkan manajemen usaha Koperasi SAE. Di samping itu ada unsur-unsur politik yang masuk ke dalam organisasi Koperasi, sehingga gerak langkah koperasi tidak membawa aspirasi dari seluruh anggota melainkan aspirasi golongan tertentu.

    Analisis lain menyebutkan, kehancuran Koperasi SAE disebabkan pengurus menjadikan koperasi ini sebagai ladang mengeruk keuntungan pribadi. Perkembangan situasi ekonomi pemerintah juga tidak memungkinkan program yang memperhatikan perkembangan koperasi berjalan baik. Sebagai titik terendah keadaan Koperasi SAE pada usianya yang ke 8 tahun (1962-1970) mempunyai utang kepada anggota akibat dari kegagalan pengelolaan koperasi sebesar Rp 809.500, sementara piutang tidak ada sama sekali.
    Pada 23 Mei 1970 sekalipun pengurus periode II (1968-1971) belum habis masa jabatan, terpaksa direformasi melalui rapat anggota. Atas kepu­tusan rapat anggota tersebut ditunjuk Kalam Tirtorahardjo sebagai ketua Koperasi SAE dengan anggota pengurus enam orang. Selanjutnya ketua pengurus mengajukan pendapat kepada Kepala Kantor Koperasi Kabu­paten Malang yang didukung oleh camat, Dansekpol dan Danramil.

    Manajemen Profesional
    Koperasi SAE berusaha mengembalikan kepercayaan anggota dan masyarakat umum. Caranya, dimulai dengan langkah-langkah pembinaan dan mengadakan berbagai pembenahan baik organisasi maupun mana­je­men serta pengembangan usaha yang lebih efektif, intensif dan terpadu. Selang waktu 3 tahun (1970-1973) Koperasi SAE telah menun­jukkan keber­­hasilannya dengan berhasil melunasi semua utang pada anggota. Keberhasilan ini juga menunjukkan peran pemerintah yang terus-menerus memberikan pengarahan serta pembinaan di bidang organisasi maupun bidang lainnya.

    Keberhasilan yang telah dicapai oleh pengurus pada periode III (1970-1973) menyebabkan mereka dipilih kembali pada periode IV (1974-1977). Berdasarkan misi koperasi yaitu harus dapat menyejahterakan anggota, maka Koperasi SAE bersama pemerintah melalui Dinas Peternakan mulai membenahi managemen beternak sapi perah pada anggota, baik mengenai perkandangan, pakan, genetik dan sebagainya sampai cara penanganan pasca panen. Sedangkan pemasaran susu produk Koperasi SAE masih berkisar di lingkungan Pujon, Batu dan Kodya Malang.

    Pada pertengahan 1974 timbul masalah baru yaitu produksi susu me­ningkat dengan pemasaran yang kurang memadai. Saat itu produksi susu mencapai 2000 liter per hari sedang yang dapat dipasarkan 1500-1600 liter per hari. Sisanya 500 liter diberikan kepada anak sekolah (Sekolah Dasar), masyarakat yang mau dan selebihnya dibuang karena telah rusak.

    Pembuangan susu terpaksa dilakukan karena pada saat itu Koperasi SAE belum mempunyai peralatan yang dapat menyelamatkan susu. Bulan Januari 1975 pengurus menawarkan produk susu anggotanya ke PT Nestle di Surabaya dan sebulan berikutnya pihak PT Nestle dengan diwakili Soe­­seno dan Mister Enggal mengadakan penjajakan. Mulai 1 Mei 1975, PT Nestle mau menerima dan membeli produksi susu Koperasi SAE de­ngan pengiriman perdana sebanyak 160 liter perhari dengan harga Rp 90.

    Pada tahun 1977 anggota Koperasi SAE mencapai 416 orang dengan po­pulasi ternak 1.664 ekor, produksi susu 1.233.908 liter. Perkembangan mo­dal mencapai Rp 367.900, simpanan pokok dan simpanan wajibnya men­capai Rp 988.191 serta volume permodalan meliputi Rp 88.120.370 untuk penerimaan dan pengeluaran sebesar Rp 74.094.510.

    Memasuki tahun 1977 Koperasi SAE mampu menyetor susu ke PT Nestle bervolume 3.000 kg per hari. Tetapi harga susu mengalami penurunan dari Rp 90 per kg menjadi Rp 62 per kg. Dengan harga tersebut, perjalanan perkembangan Koperasi SAE kembali tersendat. Masalah harga baru yang ditetapkan PT FSI tidak mencukupi pengeluaran yang harus ditanggung anggota.

    Keguncangan yang mengancam Koperasi SAE saat itu didengar oleh Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil Arifin. Pada pada 12 Juni 1978, ia berkunjung ke Koperasi SAE dan berdialog dengan pengurus dan anggota koperasi. Hasilnya, Koperasi SAE akan dibantu modal untuk penyelesaian pembangunan gedung perkantoran sebesar Rp 10.000.000.
    Namun pihak Koperasi SAE lebih memilih agar pemerintah turun tangan untuk ikut menangani pemasaran dan harga susu koperasi. Dari informasi yang dikemukakan oleh pihak Koperasi SAE, disimpulkan bahwa koperasi susu di Indonesia perlu membentuk organisasi untuk menyatupadukan gerak koperasi susu. Sedangkan masalah pemasaran susu ke PT Nestle akan segera dipecahkan di Jakarta dengan mengimbau para pimpinan Industri Pengolah Susu (IPS) bersama industri yang terkait dengan persusuan.

    Aliansi Strategis
    Pada 22 Mei 1979, Bustanil Arifin mengirim utusan ke India untuk mempelajari koperasi persusuan di sana. Kemudian dibentuk tim Teknis Peneliti dan Pengembangan Koperasi Susu Indonesia untuk menganalisis tiap-tiap industri pengolahan susu, pembelian susu import dan penjualan susu hasil IPS, serta menelaah izin-izin usaha yang ternyata pada umumnya mereka berjanji untuk menerima susu segar produksi dalam negeri.

    Pada 19-21 Juli 1978 di Pusat Koperasi Jakarta diadakan Temu Karya Koperasi Susu ke I yang dihadiri 14 koperasi susu terbesar di seluruh Indonesia. Pertemuan itu bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan pemecahannya serta membuat program kerja. Selanjutnya pada 29-31 Maret 1979 diadakan Temu Karya ke II untuk mengevaluasi kerja sama dengan IPS dan membuat rencana kerja lebih mantap dalam organisasi koperasi, peningkatan produksi susu, juga dilakukan penyesuaian wadah koperasi susu dari Badan Koordinasi koperasi Susu Indonesia (BKKSI) menjadi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

    Tugas pertama GKSI adalah mengusulkan kepada Menteri Muda Urusan koperasi supaya meninjau kembali harga susu yang telah ditetapkan IPS. Dan akhirnya harga susu disepakati menjadi Rp 165 per kg dengan standart fat 3,0% mulai tahun 1980.
    Koperasi SAE pada program I tahun 1979-1982 mendapat kredit Krekop sebanyak 700 ekor. Sedangkan kredit program USP di tahun yang sama mendapat 630 ekor dan bantuan presiden 130 ekor, semua sapi tersebut berasal dari Newzeland dengan jenis sapi Fresent Holtand (FH). Pada 1988 yaitu program Kredit koperasi, tahun 1987-1989 Koperasi SAE mendapat kredit sebanyak 216 ekor sapi yang berasal dari Amerika Serikat. Jumlah sapi baru yang impor sejak tahun 1978-pertengahan 1988 sebanyak 1676 ekor sapi kredit.

    Perkuat SDM
    Pada 1979 pengurus Koperasi SAE dikirim ke luar negeri untuk men­dalami manajemen beternak sapi perah secara modern, dan belajar ma­nagemen perkoperasian. Dalam waktu relatif pendek ilmu yang telah didapat ditularkan kepada peternak sapi perah di Pujon. Hasilnya, produksi rata-rata susu Pujon menjadi 10-12 liter per ekor per hari. Tahun 1979, jum­lah populasi ternak yang bergabung dengan Koperasi SAE ada 3592 ekor. Produksinya sekitar 2.605.914 liter dengan jumlah peternak 820 orang. Setahun ke­mudian populasi membengkak jadi 5.556 ekor, pro­duksi susu 3.305.688 liter de­ngan jumlah peter­nak tetap.

    Dalam tempo se­puluh tahun yaitu pa­da tahun 1990, ter­jadi perkembangan drastis, jumlah ang­gota koperasi men­capai 3.601 orang dengan populasi ter­nak 16.774 ekor dan produksi susu 20.371.512,5 liter. Tahun 2005 jumlah sapi mencapai 21.069 ekor dengan jumlah anggota 7.243 orang. Jumlah simpanan sukarela anggota koperasi juga meningkat dari Rp 214.417.353 tahun 2001 menjadi Rp 2.046.800.184 pada tahun 2005.

    Tercatat pada awal tahun 2005 warga masyarakat yang bekerja sebagai peternak sapi perah anggota Koperasi SAE Pujon sebanyak kurang lebih 7.243 kepala keluarga (kk). Setiap keluarga di Pujon, rata-rata terdiri dari 5 jiwa. Kalau sekitar 7.243 kk bekerja sebagai peternak sapi perah, berarti jumlah jiwa yang menggantungkan hidup­nya dari ternak sapi perah sekitar 36.215 jiwa. Kalau dihitung setiap kk mempunyai pekerjaan, maka angkatan kerja di Pujon bekerja sebagai peternak sapi perah sangat besar di 10 desa di Pujon.

    Maka tidak mengherankan kalau segenap aktivitas perekonomian didominasi oleh peredaran hasil dari ternak sapi perah. Sehingga kecamatan Pujon dikenal sebagai kota susu di Jawa Timur khususnya di wila­yah Kabupaten Malang. Sebutan tersebut ditandai dengan didirikannya monumen yang melukiskan dua ekor sapi perah dan seorang ibu yang sedang duduk memerah susu sapi.

    Monumen yang terletak di dusun Sebaluh desa Pandesari tersebut, dapat diartikan bahwa masyarakat kecamatan Pujon bekerja sebagai peternak sapi perah. Sedangkan kantor SAE Pujon bertempat di jalan yang strategis, yaitu jalan Brigjen Abdul Manan Wijaya 16 Pujon Malang Jawa Timur.

    Modal Anggota
    Koperasi SAE Pujon mempunyai komposisi modal sangat besar dibanding modal luar. Hal ini menunjukkan koperasi ini mampu mengelola dana yang berasal dari dalam koperasi seperti terlihat pada Tabel 1 diatas. Sedangkan pada Grafik 1 terlihat perkembangan simpanan sukarela anggota koperasi yang juga meningkat. Partisipasi anggota koperasi untuk memperkuat dana koperasi terlihat dengan ke­percayaan ang­gota dengan menanamkan uang dalam bentuk simpanan sukarela.

    Faktor produksi yang merupakan titik fokus Koperasi SAE Pujon yaitu sapi mengalami peningkatan. Jumlah sapi yang meningkat menun­jukkan kemungkinan pro­duksi susu meningkat pula. Pada tahun 2003 jumlah sapi meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya, karena menda­pat bantuan sapi perah dari pemerintah seperti terlihat pada Grafik 3. Selain itu jumlah anggota selalu meningkat sehingga Koperasi SAE dapat dikatakan sebagai usaha masyarakat Pujon seperti terlihat pada Grafik 4.

    Perkembangan koperasi ini menun­jukkan pengelolaan produksi oleh koperasi dapat dilakukan dengan baik. Usaha tersebut memerlukan pengorbanan anggota, pe­ngurus untuk mempertahankan kekuatan daya tawar sehingga kesejahteraan Pujon tetap lestari.

    Dan yang paling penting Koperasi SAE Pujon sebagai koperasi produsen, memiliki peran yang strategis bahwa koperasi ini harus diakui peranannya dalam ikut serta perbaikan gizi, dalam mencerdaskan kehi­dupan bangsa.

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post