• Koppontren Utsmani Putukrejo Gondanglegi, Malang-jatim

    Kalau seandainya Belanda masih bercokol maka perkebunan tebu nasibnya tidak seperti sekarang ini. Tidak hanya pemilik modal saja yang menikmati manisnya tebu tapi juga petani tebu pribumi juga sekarang merasakan manisnya tebu. Petani tebu di Putukrejo Gondanglegi ketagihan menanam tebu karena telah merasakan manisnya tebu setelah bergabung dalam Koppontren Usmani.

    Koppontren Utsmani berada di Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang bagian dari 33 kecamatan di wilayah Kabupaten Malang dengan jumlah penduduk 70,637 jiwa yang terdiri dari 34,215 laki-laki, 36,422 perempuan. Potensi tanaman tebu di Kabupaten Malang tersebar di beberapa kecamatan seluas sekitar 25.000 hektare. Produksinya di Gondanglegi mencapai 255.603 ton/tahun, Jabung 97.229 ton per tahun, Bululawang mencapai 128.990 ton/tahun, Ngajum 63.830 ton/tahun, serta di Kecamatan Bantur 72.645 ton setiap tahun. Mayoritas petani tebu dengan tanah yang tidak terlalu banyak, menyebabkan petani tidak dapat memproduksi tebu dengan maksimal dan akhirnya terlibat dalam lingkar kemiskinan.

    Sejarah mencatat perkebunan tebu merupakan usaha kolonial untuk memenuhi pasar dunia. Sejak zaman pendudukan Jepang pasar dalam negeri makin berkembang sedangkan pasar luar negeri semakin kecil. Dalam hal komoditi tebu di Jawa, tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebi­jaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemi­likan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Tebu sebagai bahan baku untuk gula harga­nya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa.

    Dalam kondisi semacam itu mulai muncul keinginan agar petani tebu dapat berproduksi dengan standar baik dengan perlakuan memadai. Bahan pupuk dan pestisida sangat diperlukan petani tebu agar panen tebu sesuai keinginan pabrik gula dan harganya memadai. Pesantren yang selama ini selalu berhubungan dengan masyarakat sekeliling terutama petani tebu berinisiatif mendirikan koperasi agar menjadi jembatan yang baik untuk petani dan pabrik tebu PG Krebet. Konflik kepentingan petani tebu dan pabrik tebu dapat dikurangi dengan pemecahan pabrik tebu mencarikan kredit ke bank untuk jaminan produksi bagi petani tebu. Dengan status Badan Hukum No.09/BH/KDK.13.13/X/1998 maka koperasi Usmani dapat menjembatani kepentingan petani tebu.

    Petani tebu yang selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan kredit akhirnya mendapat kredit melalui koperasi. Koperasi bernegosiasi dengan pabrik gula untuk mengkoordinasi petani tebu untuk mendapatkan fasilitas kredit, pupuk dan pestisida.

    Petani tebu mendapatkan kemudahan yang sebelumnya sulit diperoleh karena jumlah tanah yang dimiliki juga semakin sempit. Peran kiai memudahkan dalam proses perjanjian dengan pihak pabrik gula. Kepercayaan lembaga pesantren mengakibatkan petani tebu mengorganisasikan dalam kopontren agar mudah dalam mencapai kepentingan bersama yaitu kredit lunak untuk produksi tebu. Kepercayaan petani tebu dan pihak pabrik gula memudahkan kerjasama saling mengun­tungkan dalam bidang ekonomi dengan menggunakan ketokohan kiai se­bagai pemuka agama. Akhirnya Koppontren Utsmani yang beralamat di Kantor Jalan Sunan Ampel 02 B Putukrejo Gondanglegi Malang men­jadi tempat para petani tebu bergerak menanam tebu dengan lebih baik.

    Kepentingan Anggota
    Kekuatan Koppontren Utsmani adalah memfokuskan usaha pada kepen­tingan anggota yang kebanyakan petani tebu. Jenis usaha kopontren sesuai dengan lapangan pekerjaan anggota yaitu petani tebu. Koperasi juga mengan­­dalkan hubungan baik antara petani, kiai dan pabrik gula dengan melakukan administrasi yang tertib. Koppontren tidak tergesa-gesa untuk memperluas jenis usaha dan memfokuskan pada pendapatan yang tetap. Koppontren mendapat fee dari tiap kilogram tebu dan pupuk sehingga operasional koperasi dapat berjalan baik dengan menghasilkan Sisa Hasil Usaha yang relatif besar bagi anggota koperasi. Jenis usaha yang belum beranjak dari tebu sebagai komoditi memang tidak besar tapi merupakan awal koperasi untuk memperluas usaha dengan bukti semakin banyaknya anggota koperasi mulai dari 70 orang pada tahun 2001 menjadi 120 orang pada tahun 2005.

    Koppontren Utsmani adalah komposisi modal yang terlalu banyak modal luar dibanding modal dalam. Modal luar kopontren Usmani tahun 2005 adalah sebanyak Rp 810,7 juta sedangkan modal dalam adalah Rp 49 juta. Koppontren mendapat kepercayaan untuk mengelola dana luar yang berupa kredit untuk pendukung penanaman tebu para anggota.

    Kebangkitan koperasi pesantren sebagai wadah petani tebu untuk memperbaiki kehidupan dengan mendapat fasilitas kredit sesuai dengan prinsip kebersamaan. Petani tebu merasa nyaman menyatukan aspirasi ekonomi melalui koperasi untuk mendapat dana bagi kelangsungan tebu yang menjadi andalan kehidupan. ***

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post