• KSU Cipta Mandiri-Pulau Buru Maluku

    Menyebut Pulau Buru, tampaknya begitu sulit mele­paskan ingatan kita pada ribuan tahanan politik yang dibuang ke pulau itu. Kemasyhuran Buru sebagai pulau hutan kayu putih terluas di dunia seolah lenyap begitu saja ketika orang lebih mengenal sepotong desa berna­ma Savanajaya sebagai sentra instalasi rehabilitasi (inrehab) tahanan politik.

    Seiring lewatnya waktu, Buru kini merupakan wilayah kabupaten yang kaya dengan potensi ekonomi. Savanajaya pun lebih populer dengan sebutan daerah pertanian subur, yang jadi andalan Provinsi Maluku mencapai predikat daerah lumbung padi nasional di timur.

    Ketika inrehab Buru pulih dan dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku pada 15 November 1978, yang tersisa adalah bentangan persawahan produktif hasil karya para tapol. Areal tersebut makin menjanjikan saat datangnya para transmigran dari Pulau Jawa. Tradisi pertanian padi pun menjadi icon baru perekonomian pulau dengan jumlah penduduk men­capai 112 ribu jiwa.

    Predikat Buru sebagai pulau pangan (beras), erat korelasinya dengan kehadiran para transmigran dari Jawa yang umumnya para petani padi. Kendati sebagian besar penduduk asli di pulau seluas 9.000 km2, terbesar di Maluku setelah Halmahera dan Seram itu, adalah penyuling minyak kayu putih. Namun kontribusi ekonomi di sektor pertanian dan perkebunan menempati angka signifikan, yaitu mencapai 70%.

    Untuk sektor perkebunan, dengan kontribusi 27% (data 2003) dihasilkan dari komoditas Kelapa (dengan produksi 8.769,46 ton), Kakao (4.893,18 ton) Pala (281,06 ton), Cengkeh (4.559,21 ton), Jambu mete (1.049,40 ton), dan Kopi (69,71 ton).

    Sedangkan kontribusi terbesar dari sektor pertanian, didominasi oleh produksi padi yang mencapai 2.500 ton per tahun. Bagian terbesar pemainnya adalah Koperasi Unit Desa (KUD) dan sejumlah pemain lainnya, seperti Bulog dan para tengkulak. Bahkan, seperti halnya di Jawa, posisi tawar para tengkulak jauh lebih besar ketimbang para petani.

    Selain KUD, salah satu koperasi yang memasang core business di pengadaan beras adalah Koperasi Serba Usaha (KSU) Cipta Mandiri, di Waeapo. Di wilayah kecamatan berpenduduk terpadat di Buru ini (sekitar 33.000 jiwa), KSU Cipta Mandiri (KCM) boleh dibilang pusat bisnis paling bergengsi dengan bangunan Rice Milling Unit (RMU) nya menjulang paling tinggi di antara bangunan lainnya.

    Ketika didirikan pada tahun 2003, segenap pengurus KCM mem­punyai tekad kuat untuk membuktikan, bahwa koperasi adalah bangun usaha yang mampu meningkatkan nilai tambah ekonomi rakyat. Tekad itu dipicu oleh sulitnya para pendiri KCM ketika hendak bergabung menjadi anggota KUD Sumber Rejeki.

    KUD yang merupakan satu-satunya di Waeapo ini sudah sejak lama mengalami mati suri. Sehingga menggugah sejumlah anak muda untuk bergabung dan membangun kembali citra KUD. Sayangnya, tawaran berkolaborasi itu mengalami jalan buntu. Pengurus KUD me­nolak kehadiran para pendatang baru, kaum muda yang relatif kaya dengan gagasan-gagasan baru.

    Apalagi ada anggapan, para anak muda itu kurang matang berusaha melalui KUD karena latar belakang aktivitas mereka yang umumnya berasal dari organisasi massa seperti remaja masjid, karang taruna dan organisasi kepemudaan lainnya.

    Ketika perselisihan menghangat, Kepala Dinas Koperasi Kabupaten Buru, Abas Pelu, menyarankan agar kelompok anak muda yang dipimpin oleh petani transmigran bernama, Slamet Haryono itu membentuk koperasi baru. Gagasan Abas Pelu sebelumnya memang sempat mengemuka, namun mereka diingatkan bahwa hanya boleh satu koperasi saja, yaitu KUD yang boleh berdiri di kecamatan. Ketentuan itu berdasar Inpres No 4/1984.
    Beruntung Abas Pelu sebagai pejabat koperasi pertama di pulau itu menegaskan peraturan itu sudah dicabut. Wilayah pedesaan, pasca refor­masi bukan lagi monopoli KUD. Koperasi lainnya boleh berdiri asal mam­pu menggalang bisnis dan menjaring anggota.

    Boleh jadi, karena faktor wilayah yang jauh dari Ibu Kota negara, sosialisasi Inpres No 18/1998 (mencabut Inpres No 4/1984) tidak sampai ke kabupaten seluas dua kali Pulau Bali itu. Inpres yang lahir di masa pemerintahan BJ Habibie itu, membuka kran seluas-luasnya bagi pendirian koperasi baru di berbagai wilayah.

    Sebagai catatan, jumlah koperasi yang dipenghujung pemerintahan Orde Baru mencapai 53 ribu unit, lewat inpres baru itu, meningkat hingga 80 ribu unit. Melalui advokasi Dinas Koperasi setempat, berdirilah KCM dengan ketua terpilih, Slamet Haryono (35). Bebannya memang tidak ringan, karena harus mampu bersaing dengan KUD Sumber Rejeki yang sudah lama eksis.

    Pertama berdiri, jumlah anggota tercatat 23 orang. Dengan modal terkumpul dari simpanan pokok dan simpanan wajib sebesar enam juta rupiah, dimulailah usaha pertama, waserda. Kegigihan pengurus koperasi ini mencari terobosan bisnis, membuah­kan hasil. Dua bulan berselang mereka diundang Dinas Pertanian setempat untuk dipertemukan dengan Divisi Regional Bulog Provinsi Maluku. Dari pertemuan tersebut, KCM dipercaya menjadi kontraktor pengadaan beras sebanyak 50 ton per musim.

    Sebagai koperasi yang berdiri belum seumur jagung, tawaran itu sungguh tidak nyaman. Tetapi bagi Slamet, petani asal Banyuwangi yang bertransmigrasi ke Pulau Buru pada 1981, tantangan itu harus dijawab dengan kreativitas tinggi. Meski permodalan minim, ia mampu merekrut sejumlah mitra yang berasal dari 14 kelompok penggilingan padi mem-back-up kontrak pengadaan beras dengan Divre Bulog. Ketika pekerjaan itu menuai sukses, KCM mulai mendapat tempat di Waeapo. Jumlah anggota meningkat hingga 67 orang.

    Jika dilihat dari total penduduk desa Waekasar, lokasi koperasi ini beroperasi yang mencapai 2.000 jiwa, anggota sebanyak 67 orang itu relatif sedikit. Tetapi menurut Slamet, jumlah pendaftar dengan sebutan ‘calon anggota’ sebenarnya cukup banyak. Mereka yang berminat jadi anggota tercatat hingga 300 orang. Persoalannya, ia tidak berani asal terima anggota yang integritasnya berkoperasi masih rancu. Maka, kilah Slamet, jika pihaknya tidak selektif menerima anggota, sasaran akhir menuju kesejahteraan anggota bakal sulit dicapai. Hingga RAT 2005 lalu, keanggotaan koperasi ini tercatat sebanyak 18 orang calon anggota dan 135 orang anggota dilayani.

    Akan halnya, perkembangan KUD Sumber Rejeki, yang boleh dibilang saingan utama KCM, secara perlahan menyurut dan tidak lagi terdengar. Hilangnya KUD warisan tempo dulu itu, tidak semata karena lahirnya KCM, tetapi sejak awal memang sudah tidak memiliki aktivitas usaha. Bisnis KUD yang di masa lalu hanya menjalankan program pemerintah dan sarat dengan proteksi dan subsidi, tentu saja sangat sulit menembus pasar ketika program itu dicabut dengan alasan tututan pasar bebas. Wajar saja jika KUD Sumber Rejeki terbenam dan ditinggalkan anggotanya.

    Besarnya per­hatian Pemda me­lalui Dinas Koperasi Kabupaten Pulau Buru merupakan faktor yang dominan bagi kelanjutan KCM. Keseriusan pengurus mengelola usaha, membuat Di­nas Koperasi tidak segan-segan me­re­komendasi pinjaman bergulir dari dana Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) senilai Rp 50 juta pada 2004. Bantuan pihak luar lainnya adalah Kredit Panen Raya senilai Rp 170 juta.

    Ketika guliran dana tersebut sukses tanpa bermasalah, Abas Pelu, menyarankan KCM berkonsentrasi di sektor pengadaan beras. Karena Kabupaten Pulau Buru sudah di set-up jadi daerah lumbung pangan nasional di timur. Kebijakan tersebut tentunya merupakan peluang bisnis yang amat menjanjikan bagi core business KCM. Olehnya, sarana usaha inti berupa mesin penggilingan padi (RMU) juga harus diperbesar. Gagasan mengajukan bantuan pengadaan RMU pun muncul.

    Bak gayung bersambut, proposal pengadaan RMU tersebut direspon pemerintah pusat. Melalui Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM, KCM berhasil mendapatkan dana pembangunan RMU senilai Rp 1,120 miliar. Puncak penyerahan bantuan ditandai dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Pulau Buru dalam rangka pencanangan lumbung pangan tersebut.

    Komitmen pembangunan RMU juga mendapat respon Pemda Kabupaten Pulau Buru yang mengalokasikan dana sebesar Rp 780 juta untuk pengadaan gudang, lantai jemur dan pagar. Maka berdirilah RMU setinggi 30 meter di Waeapo, kecamatan seluas 78,963 ha mencakup 17 desa dan 42 dusun. RMU tersebut tidak saja menjadi gedung koperasi tertinggi, namun sekaligus mampu meningkatkan produksi beras KCM hingga rata-rata 4 ton per hari (produksi beras Pulau Buru rata-rata 7 ton per hari).

    Sukses demi sukses yang dilalui KCM, tak membuat pengurus berpuas diri. Langkah berikut, menjadikan KSU sebagai Bank Padi. Guna mencapai sasaran itu, KSU yang semula punya banyak unit usaha (multi purpose) harus fokus pada satu jenis usaha (single purpose).

    Konsentrasi pada satu jenis usaha, pada dasarnya merupakan tuntutan manajemen modern. Misalnya, usaha kredit, usaha pembelian bersama, usaha konsumsi atau kebutuhan sehari-hari, masing-masing punya keahlian khusus. Berdasar pertimbangan keahlian (skill) itulah, sejumlah koperasi maju makin condong pada sistem single purpose berdasarkan spesialisasi.

    Atas dasar tuntutan manajemen profesional, unit simpan pinjam KCM diubah menjadi Koperasi Simpan Pinjam Cipta Mandiri (KSP). Nakhoda KSP dipercayakan kepada Slamet Haryono. Sedangkan untuk mengisi posisi ketua baru KSU yang kosong maka diadakan rapat anggota khusus yang memilih Mad Tohir (39) sebagai Ketua KCM yang baru.

    Jika dilihat pada neraca per Desember 2005, total aktiva KSU ini tercatat sebesar Rp 399,227 juta dengan kekayaan bersih Rp 251,619 juta. Sedangkan perolehan SHU (Sisa Hasil Usaha) tahun berjalan Rp 5,43 juta (tahun 2004 SHU sebesar Rp 17,56 juta).
    Deretan angka-angka tersebut boleh dibilang relatif kecil, namun keberadaan koperasi berusia tiga tahun ini justru mampu membentuk magnitude perekonomian di Waeapo, terutama desa Waekasar.

    SHU tampaknya bukan sasaran akhir bagi pengelola di koperasi ini. Apalagi sukses koperasi memang tidak melulu diukur pada besar kecilnya SHU. Tapi lebih ditentukan pada kondisi objektif sosial ekonomi anggota. Apakah semakin lebih baik dibandingkan dengan sebelum menjadi anggota koperasi.

    Demikian pula yang terlihat di KCM, bahwa komitmen pada pelayanan dan kemudahan anggota memperoleh kebutuhan dan jasa koperasi lebih prioritas ketimbang keuntungan untuk koperasi itu sendiri. Upaya membangun koperasi yang genuine menjaga kepuasan konsumen (anggota), merupakan salah satu kiat koperasi ini untuk tetap bertahan.


    Penerapan praktis terhadap nilai-nilai ko­perasi tampak me­non­jol di KCM. Proses de­mokra­tisasi sebagai sa­lah satu pilar dari jati diri koperasi ber­lang­sung dalam suasana kese­harian. Anggota kerap memberi ma­suk­an dalam setiap ke­sem­patan berkumpul, baik dengan sesama ang­gota maupun pertemuan periodik tiga bulanan dengan pengurus.
    Dari sejumlah wawancara yang dilakukan secara acak (random) terhadap anggota, (sampling n :17), hampir seluruh responden menjawab ikut aktif dalam pengambilan keputusan untuk koperasi. Tingkat keaktivan tesebut berlangsung dalam beberapa pertemuan yang diadakan KCM, yaitu saat Rapat Anggota Tahunan (RAT), musim panen dan persemester (triwulan). 53% responden (9 orang) memberi masukan ke koperasi pada setiap pertemuan triwulanan. Lima orang (29%) saat pertemuan musim panen, dan tiga orang (18%) saat RAT.

    Beberapa saran yang disampaikan anggota berkisar pada upaya-upaya memajukan usaha, peningkatan produksi padi, mekanisme penjualan gabah, pengembangan unit usaha waserda, simpan pinjam dan evaluasi kinerja pengurus.

    Partisipasi terhadap koperasi se­bagai member based-association, atau perkumpulan orang yang bertujuan memenuhi kebutuhan anggota, terlihat dari aktivitas yang memanfaatkan koperasi sebagai sarana pertemuan dan kebutuhan pasar bersama.
    Responden mengaku dapat manfaat dari keberadaan koperasi. Namun satu responden menjawab tidak mendapat manfaat karena ia hanya melulu berorientasi pada besarnya SHU.

    Di tengah carut marut terhadap kinerja Perkoperasian secara nasional, bagi masyarakat desa Waekasar, koperasi justru diyakini mampu men­ciptakan kesejahteraan ekonomi, seperti terlihat pada data survai pada tabel 2 dan 3.

    Di bawah pimpinan Mad Tohir, kinerja KCM tampak masih belum menyamai prestasi yang ditoreh ketua sebelumnya. Jika acuan sukses koperasi mencapai kesejahteraan anggota, maka tugas KCM boleh dibilang selesai. Namun, dalam pengembangan akses pasar di luar anggota, koperasi ini mulai mengalami kendala. Pembelian gabah anggota misalnya, mulai sulit dilaksanakan. Kendala tersebut bukan pada soal modal tetapi pemasaran yang belum stabil.

    Sebelumnya, KSU mendapat kontrak pengadaan beras dari Bulog, kondisi itu kini justru berbalik. Bulog sudah terjun langsung mengirim tim satgasnya membeli gabah ke petani. Selain tim satgas Bulog yang ‘terjun lapangan’, peranan para tengkulak juga ikut mengacaukan pemasaran gabah di Kabupaten Pulau Buru. Kondisi seperti itu, kata Abas Pelu memang sangat disesalkan, untungnya Pemda Kabupaten Pulau Buru tanggap dengan membentuk tim khusus antar instansi.

    Tetapi hambatan pasar seperti itu hanya temporer. Seperti kata Abas Pelu, pihaknya tidak akan mengorbankan lembaga ekonomi rakyat yang sudah dibangun dengan susah payah itu. Ke depan, KCM memang harus memetakan ulang potensi-potensi ekonomi dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Sebab, pencanangan Pulau Buru, sebagai lumbung pangan nasional di timur merupakan peluang besar yang tidak boleh terlewatkan.

    Seperti diakui Mad Tohir dalam wawancara, kendala yang harus diatasi KCM adalah pendidikan anggota. Dari kuesioner yang dibagikan kepada responden, hampir sebagian besar mengaku tidak pernah menda­patkan sentuhan pendidikan dari pihak luar, termasuk pemerintah atau BUMN. Jika bantuan pendidikan anggota itu dapat difasilitasi pemerintah setempat, boleh jadi kiprah KSU ini ke depan makin menor. Sebab memiliki keunggulan pada solidaritas anggota.

    Benarkah pendidikan anggota belum sepenuhnya tersentuh? Untuk sebagian wilayah karena faktor wilayah yang sulit terjangkau, memang iya, kata Abas Pelu. Tetapi bukan berarti tidak ada pendidikan sama sekali. Dinas Koperasi misalnya, melakukan pelatihan secara periodik untuk sejumlah peserta yang masih terbatas. Persoalannya, hanya terletak pada kendala biaya dan waktu saja yang menyebabkan belum sepenuhnya mampu memberikan layanan pendidikan pada anggota koperasi.

    Kendati begitu, tegas Abas Pelu, komitmen untuk memajukan kope­rasi sudah menjadi tekad yang kuat. Karena ini salah satu upaya mem­perbaiki perekonomian rakyat Pulau Buru. Pada awalnya, ia memang agak ragu mengingat citra koperasi di Waeapo kurang menarik.

    Ketika ikut memprakarsai kelahiran KCM, Abas melihat pengurus koperasi ini serius. Modal awal bisa berputar dengan baik, lalu bantuan PKBS BBM Rp 50 juta juga mulus dikembalikan. Abas menilai KCM bisa jadi contoh dan andalan koperasi Pulau Buru. Kendati begitu, konsentrasi binaan Abas Pelu tidak hanya KCM, sejumlah koperasi lain juga tak luput dari kunjungan pejabat yang menjadi Kadinaskop Pulau Buru sejak 2001. Masalahnya ia mengakui tidak banyak koperasi yang bisa berkembang dengan mulus. Dari sekitar 150 unit koperasi yang terdapat di Pulau Buru, paling banter yang aktif hanya 35% saja. Sementara guliran dana yang sudah disalurkan sejak tahun 2001 hingga 2006 sudah mencapai Rp 7 miliar.

    Abas yang asli Ambon ini sudah sejak lama bergelut dengan Per­koperasian. Itu sebabnya, jebolan Fakultas Sosial Politik Universitas Pattimura ini tidak surut ketika melihat pembinaan terhadap koperasi belum sepenuhnya berhasil. Baginya membina koperasi butuh kesabaran, karena yang dibina adalah manusianya.

    Mengacu pada besarnya potensi lahan pertanian di Waeapo, maka sasaran KCM untuk menjadi Bank Padi pertama di Timur tidak berlebihan. Apalagi sejak kunjungan SBY ke Pulau Buru dalam rangka Panen Raya dan pencanangan lumbung pangan nasional, membuat petani anggota KCM semakin semangat meningkatkan produksi.

    Konsep Bank Padi, pada dasarnya adalah upaya mempermudah para petani menggulirkan roda usahanya. Caranya, produksi padi petani sepenuhnya akan ditampung oleh koperasi bank padi, untuk dicarikan pasarnya. Kendati padi milik petani itu belum terjual, namun mereka boleh meminjam uang untuk mengelola lahan pertaniannya. Hasilnya mereka bayarkan ke bank padi, sehingga dana tersebut dapat bergulir berke­lanjutan.

    Sukses KCM menjadi Bank Padi dan penyokong utama pencapaian lum­bung pangan nasional di timur, agaknya sangat ditentukan pada kebi­jak­an pemda mengatur tata niaga beras. Manakala kebijakan hanya berpihak pa­da persaingan pasar bebas, maka keberadaan RMU milik KCM berka­pa­sitas produksi 1,6 ton per jam, hanya akan tinggal monumen sejarah saja.

    KCM adalah salah satu fenomena di timur. Seperti kebanyakan koperasi umumnya, polesan sukses koperasi ini tidak lepas dari peran serta pemerintah. Betapapun kelangsungan koperasi tidak bisa di­lepaskan dari campur tangan banyak pihak. Karena kapasitas sumber daya manusia yang rata-rata bermukim di pedesaan. Yang serba sempit dengan akses modal, pasar dan pengetahuan. Olehnya, perlindungan ter­hadap koperasi sesungguhnya bukan ‘barang haram’. Yang terjadi selama ini kita terbuai oleh credo globalisasi yang menjanjikan de­mokratisasi pasar.

    Semua itu, nonsens kata Josef Stiglitz. Karena kemakmuran ekonomi yang dijanjikan penguasa ekonomi dunia (IMF, World Bank) itu tidak pernah terbukti. Sebaliknya, negara-negara yang mendapatkan bantuan keuangan IMF, seperti Indonesia, justru semakin miskin. Para kritikus globalisasi menuduh —dan mereka benar— bahwa negara-negara Barat munafik. Mereka menuntut penghapusan subsidi bidang pertanian negara-negara berkembang. Tapi diam-diam justru menyubsidi petani kapas dan gandum mereka hingga miliaran dolar. Mereka teriak tentang perusakan hutan di negara berkembang, tetapi mereka pula yang paling rakus meminta bahan baku pulp (bubur kertas). Barat memaksa negara-negara miskin menghapuskan hambatan perdagangan, tapi mereka mempertahankan blok niaga versi mereka. Mereka pun mencegah negara berkembang mengekspor hasil pertanian.

    Penelantaran terhadap koperasi, agaknya sudah harus diakhiri. Karena lem­baga ini justru merupakan sektor ekonomi paling menentukan di pede­saan. Terlebih di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pemerintah Pusat.

    KCM dengan segala aktivitasnya, memang belum apa-apa, bahkan pencapaian materi yang diperoleh koperasi ini masih jauh dari hitung-hitungan ekonomi. Masalahnya, selama ini kita sering terbentur pada penilaian materi tersebut, dan itu sebabnya keunggulan koperasi sering ditakar dengan perolehan SHU. Yang terjadi pada KCM bukan pada besarnya lompatan angka, tetapi ia membangun sebuah kesadaran ekonomi di lapis pinggiran.***

    Related Posts :



0 komentar:

Leave a Reply

Bookmark and Share

Recent Comment


ShoutMix chat widget

Random Post